Share

4. Putus

Setelah Bu Ratna pergi, aku dan ibu menata kembali barang dagangan yang tadi sempat kocar-kacir, kami memutuskan untuk menutup lapak lebih awal dan bergegas pulang.

Huh ...

Ku sandarkan kepalaku di sofa, ku hela nafas panjang untuk sekedar melemaskan otot yang tegang.

"MBREEEM BREM"

Baru saja ku letakkan pan**t di atas sofa, terdengar suara sepeda motor yang sudah sangat ku kenali berhenti di halaman depan, ku toleh sekilas lewat pintu yang masih terbuka. Ya, aku tahu betul siapa yang baru saja datang.

"Assalamualaikum ... tok tok tok," terdengar suara ketukan di pintu.

"Wa'alaikumsalam," jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Aku malah mengambil remote televisi dan menyalakannya. Sedangkan ibu masih berada di belakang, meletakkan barang dagangan.

Deva bergegas masuk meski belum ku persilahkan. Dia memang begitu, menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri, dan ibuku seperti ibunya sendiri. Dia langsung duduk di sampingku dan membalikkan badanku untuk menatapnya. Hal tersebut tentu saja membuat mataku bersirobok dengan matanya.

Kami menjadi sepasang kekasih sejak tiga tahun yang lalu. Tepatnya setelah kedua orang tua kami membahas mengenai perjodohan kami waktu itu.

Kutatap lekat mata Deva, kulihat ada rasa bersalah yang teramat dari dalam sana. Malas rasanya untuk melihatnya setelah kejadian tadi.

"Mau apa kamu datang kesini?" Tanyaku.

"Ra, aku kesini untuk meminta maaf sama kamu," jawabnya.

"Maaf, maaf untuk apa?"

"Ra, maafkan atas kelakuan ibuku ya, Sayang. Pak Burhan tadi sudah menceritakan semuanya padaku. Tentang apa yang ibu lakukan padamu juga ibu di pasar, aku sudah tahu," ucapnya menjelaskan.

"Lalu, apa aku harus diam saja, Va, saat ibumu menghina dan merendahkan ibuku seperti itu? Bahkan dengan terang-terangan ibumu telah menginjak-injak harga diriku. Bagaimana jika itu terjadi padamu?" Cecarku.

"Aku nggak melarang kamu untuk marah sayang. Kamu marah itu hal yang wajar. Tapi, aku nggak mau kalau kemarahanmu itu akan merusak hubungan kita berdua. Aku nggak mau kalau nantinya kita sampai putus Ra."

"Hufth" aku menghela nafas kasar.

Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana. Bagaimana aku akan melanjutkan hubungan ini jika ibunya saja dengan terang-terangan telah menolak ku. Aku tidak yakin akan bisa melanjutkan hubungan kami hingga ke jenjang pernikahan seperti rencana semula.

"Kinara," suara lirih Deva membuyarkan lamunanku. Pria yang selama ini menemaniku dan bersamaku, menatap lekat ke arahku.

"Ah" kulepaskan genggaman tangannya dari atas tanganku. Dan aku menoleh menatap lurus ke depan. Aku yang menahan gemuruh dan laju nafas yang memburu berusaha untuk tidak memperlihatkannya di depan Deva.

"Deva, maafkan aku..... Tapi sepertinya hubungan ini tidak bisa kita lanjutkan. Aku ingin mengakhirinya cukup sampai disini. Aku tidak akan pernah akan menikah denganmu jika ibumu tak memberikan restu. Namun bagaimana keluargamu akan memberikan restu jika ibumu sendiri yang telah melarang aku untuk bersamamu. Bahkan ibumu juga bilang jika ia mampu mencarikan jodoh untukmu dengan gadis yang lebih setara dengan mu. Bukan dengan aku yang miskin dan tak berpendidikan ini," ujarku meluapkan semua kepadanya.

Sesak!!! Hanya itulah yang dapat mengungkapkan perasaan hatiku saat ini. Dadaku sungguh terasa sangat sesak sekarang ini.

"Nggak Ra, nggak semudah itu kamu putuskan hubungan kita. Aku mencintaimu dengan apa adanya Ra. Kamu nggak bisa dong memutuskan hubungan ini dengan sebelah pihak saja," ucapnya.

Aku hanya terdiam, menahan buliran air mata yang sebenarnya sudah memberontak ingin keluar dari tadi. Tapi sebisa mungkin aku tetap menahannya.

Benar apa yang Deva bilang, hubungan ini bukanlah hubungan yang hanya sesaat. Tiga tahun bersama sejak masa sekolah, dan sekarang harus berakhir dan harus saling menjauhi bukanlah suatu hal yang mudah menurutku.

"Deva, baiknya kamu pulang sekarang. Aku nggak mau nanti akan semakin timbul masalah jika ibumu mengetahui jika kamu ada di sini bersamaku. Aku sudah cukup lelah hari ini. Pulanglah, karena aku harus membantu ibu beberes," ucapku dengan berat hati.

"Tolong dong Ra, kamu jangan buru-buru mengambil keputusan seperti ini sendiri. Baiklah, baik aku akan pulang dan segera membicarakan hal ini dengan ibu. Biar bagaimana, yang menjalani hubungan ini adalah kita Ra, bukan orang tua kita. Kita sudah dewasa Ra, cobalah mengerti bahwa kita berhak untuk menentukan jalan hidup kita sendiri.

"Ceessh" tumpahlah juga tanggul pertahanan ku mendengar tutur katanya.

Deva langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku paling tahu jika lelaki di hadapanku ini paling tidak bisa melihat aku menangis.

"Mau kamu berkata apa, sekarang aku sudah tak terlalu peduli Va, terserah saja apa katamu. Bagiku hubungan kita lebih baik berakhir sampai disini. Tak ada gunanya kita memaksakan kehendak. Aku tak mau dicap sebagai wanita yang membuatmu melawan ibumu sendiri" aku berucap terisak di dalam dekap peluk Deva. Lelaki yang sudah mengisi hari-hariku selama tiga tahun terkahir ini.

Kucoba untuk melepaskan pelukannya, kuurai diriku yang berada di dalam dekapannya. Tanpa menunggunya mengeluarkan kata-kata lagi, aku segera beranjak dan sedikit berlari masuk ke dapur untuk membantu ibu.

"Bruuuk" kutabrak tubuh ibuku yang ternyata dari tadi mendengarkan percakapanku dengan Deva. Kutumpahkan semua air mataku di dalam pelukan wanita yang selama ini aku hormati. Bagiku, hubungan yang selama ini telah terjalin bersama Deva sudah berakhir....

"Ibu, maafkan Kinara Bu," lirihku. Dan ibu hanya mengusap dan membelai rambutku sebagai obat penenang.

Kudengar langkah kaki Deva mulai mendekat, aku pun mengurai pelukan ibuku dan menuju wastafel untuk mencuci beberapa gelas dan piring yang kotor.

"Bu, Deva mohon pamit dulu ya Bu," kulirik lewat ekor mataku Deva berjalan mendekati ibuku dan kemudian mencium tangannya. Entahlah, mungkin sekarang dia sedang menatapku, tapi aku terus menyibukkan diri agar dia tak mendekat.

Dan benar saja, setelah itu Deva berjalan keluar.

"Hati-hati ya nak," ucap Ibu.

Setelah mendengar deru mesin motornya di luar, kedua tanganku mencengkeram kuat pinggiran wastafel yang ada di depanku. Air mata tumpah bersama dengan air kran yang masih mengalir. Ibu datang dan mengusap punggungku dari belakang.

"Istirahatlah nak, biar ibu yang lanjutkan," titahnya. Aku yang sedang rapuh langsung berlari memasuki kamar dan melompat ke atas matras tanpa dipan.

"Brrmmm Bremmm tin," ku tajamkan pendengaranku, hingga suara laju motor itu menjauh dan semakin menghilang diantara langit yang sudah mulai berwarna senja.

"Maafkan aku Deva," lirihku dengan bulir-bulir air mata yang menjadi saksi betapa hancurnya perasaanku saat ini.

----

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status