"Eh, itu dia Deva sudah datang. Panjang umur kamu, Nak, baru juga diomongin udah langsung nongol," Ayah Deva menyambutnya dari kursi ruang tamu saat Deva mulai masuk melangkah memasuki rumah. Akan tetapi Deva hanya menanggapinya dengan senyum yang hambar."Sini, Nak. Duduk dulu disini," Bu Ratna melambaikan tangan kepada Deva dan lantas menyuruhnya untuk mendekat."Ini ada Pakdhe Samsudin loh, sama Budhe Atun. Ayo Salim dulu," Titah Bu Ratna dengan senyum yang lebar. Demi menghormati ibunya, Rafa kemudian mencium tangan pasangan suami istri itu secara bergantian."Klek"Rafa sedikit melirik ke samping tempat duduk Budhe Atun. Disana duduklah seorang wanita cantik berkulit putih yang tersenyum malu-malu saat menatap Rafa."Hayo, inget nggak kamu nak sama Vanya? Iya, ini Vanya anaknya Pakdhe Samsudin dan budhe Atun. Kamu pasti masih ingat kan kalau dulu kalian itu sering bermain bersama?" tanya Bu Ratna.Apa-apaan ini. Untuk sekarang ini Deva benar-benar sedang merasa sesak di dalam dada
"Iiiih kamu nyebelin deh Ra. Besok aku balik ke kota aja lah!" Cebiknya.Ibuku hanya tersenyum saja melihat kami berdua."Nanti aja ya Ren ngobrolnya, ibu mau berangkat dulu, udah kesiangan ini," ibuku berucap dan langsung menepuk pundak ku sebagai kode untuk segera berangkat."Kenapa Reni tadi?" Tanya ibu."Kepo Bu dia, mau tahu kenapa Nara sama Deva putus," jawabku. Dan ibu pun hanya meng OH ria.Setelah sampai di pasar, aku membantu ibu untuk menata barang dagangan. Hingar bingar hiruk pikuk para manusia berlalu lalang didepan kami. Karena lapak sayur ibu berada di ujung jalan masuk pasar, tak ayal pembeli ibu kadang memang terlalu banyak yang mengantri. Mereka lebih mencari yang dekat dan strategis tidak harus jauh-jauh masuk ke dalam pasar.Saat hari mulai terang, kulihat Reni datang."Hei cantiiik," sapanya."Eh ngapain kamu sampai pasar? Nanti alergi loh," jawabku bercanda."Ini, disuruh ibu buat beli ikan, tapi nggak jago nawar. Temeni bentar ya Ra?" Pintanya."Boleh kan budhe
"Plak! Lancang sekali mulutmu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke Bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara! Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan juga bisa untuk membuktikannya, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi dan menjalar hingga ke dalam
"Plak! Lancang sekali mulutmu itu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara!Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan bisa untuk membuktikan apa yang ibu tanyakan saat ini, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu Lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi da
"Aku meminta maaf atas nama ibuku ya, Ra," sebuah ucapan yang sudah kuduga akan keluar dari mulut Deva. Sedangkan Ibu hanya menyimak obrolan kami tanpa sedikit pun menyela. Aku pun kemudian hanya menganggukkan kepala menjawab pernyataan dari Deva."Ibu, Nara, jika saya tidak diberikan waktu untuk lebih banyak bertanya. Maka ijinkanlah saya bertanya di sini saja," ujarnya kemudian."Ra, benarkah apa yang kamu katakan kemarin, benarkah jika kedua orangtuaku memiliki hutang kepada almarhum bapak Budi?" Tanya Deva bersungguh-sungguh. Hal itu dapat ku lihat dari nada bicaranya yang tegas."Untuk apa kamu menanyakan hal itu, Va. Toh kami juga tidak memiliki surat hitam di atas putih seperti yang ibumu harapkan. Seharusnya kami dulu membuat surat bermaterai pada waktu bapak dan ibumu menggadaikan beberapa petak tanah milik Bapak untuk dijadikan modal kampanye Ayah kamu. Oh ya maaf, aku sudah berjanji kepada ibu untuk tidak membahas hal ini lagi," ucapku sambil melirik ke ibu yang terus menata
Hari terus saja berganti dan waktu pun terus bergulir. Aku mencoba melupakan beberapa sesak di dada yang semakin hari semakin hilang. Hingga pada akhirnya tiba juga saat dimana aku dan juga ibu harus menyibukkan diri dan bergulat dengan asap dapur. Pada hari ini sudah dipastikan jika aku dan ibu akan sangat sibuk mempersiapkan pesanan catering untuk acara hajatan Bu Fatimah esok hari.Bu Fatimah sendiri memesan makanan dengan banyak ragam dan aneka menu. Dengan hanya mengandalkan dua tenaga milikku dan juga ibu sepertinya tidak akan cukup untuk menyelesaikan semua pesanan pada esok hari.Bu Fatimah adalah salah seorang yang dianggap orang kaya di wilayah tempat tinggal kami. Suaminya adalah seorang perwira polisi berpangkat. Meskipun ini hanyalah acara hajatan untuk khitanan anaknya, namun pasangan suami-istri Pak Supriyono dan Bu Fatimah menginginkan acara itu digelar secara meriah. Bu Fatimah sendiri memesan sebanyak 3 ratus lima puluh porsi makanan kepada ibu.Bu Fatimah juga memin
Perlahan, aku pun menoleh ke arah suara yang kurasa sedang memanggil namaku tadi. Ternyata Bu Fatimah saat ini sudah berdiri di belakangku. Wanita yang terlihat sangat anggun dan berwibawa itu mengenakan setelan baju kebaya berwarna coklat susu yang dihiasi manik-manik emas di sekelilingnya. Wanita yang merupakan istri dari seorang Perwira polisi itu selalu saja tampil mempesona di setiap acara apapun. Karena memang wajahnya masih begitu ayu di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Maafkan saya ya, Ra. Maaf kalau saya merepotkan kamu dn juga Ibumu. Terimakasih yo, Nduk. Kamu sudah mau membantu disini. Ini tadi kok yang tadinya mau bantu-bantu tiba-tiba aja telepon kalau nggak bisa datang," ucap Bu Fatimah dengan senyum yang menghiasi wajahnya."Iya, Bu. Tidak apa-apa," jawabku.Setelah menyapaku sebentar, Bu Fatimah pun berlalu untuk menyambut tamu-tamu nya yang akan datang. Sedangkan aku kembali melanjutkan pekerjaan untuk menyusun makanan pada meja prasmanan.Para tamu mulai b
"Oh ... iya, Mbak. Tolong sampaikan rasa terimakasih saya kepada Bu Fatimah ya, Mbak. Karena memang hari sudah siang, tolong sampaikan juga permintaan maaf saya kepada beliau karena tidak sempat berpamitan," ucapku ramah. Bukan karena tidak sempat, namun aslinya Bu Fatimah dan Bu Ratna pada saat ini masih berbincang berdua di sana. Nggak mungkin kan aku mendekat kalau hanya untuk dijadikan bahan hinaan."Kinara!" Kutoleh ke samping ke arah suara yang memanggil namaku. Dia yang di sana berjalan mendekat ke arahku."Ra, biar aku antar kamu pulang, ya," pinta Deva. pada saat ini tentu saja aku merasa sangat terkejut mendengar Deva menawarkan diri untuk mengantarkan ku pulang. Edan ini, bener-bener udah nggak waras."Nggak usah! Aku dianter sama Pak Karto pulangnya. Tolong Kamu menyingkir lah, dan jangan deket-deket aku lagi, Va," tolak ku."Kenapa, Ra? Apa karena kamu takut sama ibu dan juga Vanya?" tanya Deva padaku."Takut? Aku itu bukannya takut sama ibu atau calon istrimu itu, Va. Aku