Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees
94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd
BRAK!Terdengar suara keranjang yang berjatuhan dan berserakan di kejauhan."Heh, ngaca dong, Bu! Masa orang macam kamu mau berbesanan sama saya? Mimpi kamu ya?""Anak kamu nggak ada disini, ya? Sekalian aja tolong nanti anaknya dikasih tahu ya, Bu. Jangan lagi deketin anak saya, Deva. Anak saya sudah punya jodoh sendiri. Dan yang pasti bukan anak dari tukang sayur macam Ibu, nggak pantes! Ngaca dong!"Suara keributan di depan mataku ini kusaksikan dengan jarak hanya beberapa meter saja dari hadapanku. Aku hanya bisa berdiri dan terdiam saat melihat di depan sana Bu Ratna sedang marah-marah kepada ibuku. Sedangkan ibuku, hanya bisa menundukkan kepala sembari memunguti beberapa sayuran yang berceceran di bawah kakinya. Dengan perlahan, ibu menaruh kembali sayuran-sayuran itu ke dalam keranjangnya.Dadaku bergemuruh kencang ketika mendengar itu semua. Aku yang baru saja menyusul ibuku ke pasar untuk mengantarkan makan siang, sungguh sangat terkejut saat melihat Bu Ratna datang ke lapak i
"Sabar Kinara sabar ... sabar ..." Ucapku di dalam hati."Tadinya sih, niatnya saya cuma begitu. Eh dianya malah nolak," Bu Ratna berkata dengan menunjuk ke arah ibu."Eh dasar dianya aja yang terlalu berharap, sampai mempertanyakan apa alasan saya membatalkannya. Tentu saja karena saya tidak ingin punya besan seorang penjual sayur," Ucapnya dengan pongahnya."Dan kamu, Kinara. Mulai sekarang saya minta kamu jangan ganggu-ganggu anak saya lagi. Jangan pernah deketin dia lagi, jangan pernah pula kamu mencoba menghubungi Deva. Anak saya akan saya carikan jodoh yang lain. Yang pastinya selevel sama saya. Paham?" Tanya Bu Ratna di akhir kalimatnya."Jadi, hanya karena itu Bu?"Raut wajah Bu Ratna terlihat kaget, dia melipat keningnya tajam menatapku. Sorot matanya tajam, setajam mata elang yang sedang mencari mangsa. Mungkin, jawabanku barusan tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya."Kalau cuma itu yang Bu Ratna mau, nggak apa-apa, Bu, silahkan ibu mencari jodoh untuk Deva yang selevel
"Huh! Dasar anak kurang ajar!" Gerutu Bu Ratna yang pergi meninggalkan kami sembari melangkah dengan menghentakkan kakinya.Setelah perdebatan panjang yang kami lalui tadi, akhirnya Bu Ratna memilih untuk pergi meninggalkan kami. Hal itu bisa membuktikan bahwa ternyata ia tidak gila. Aku hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya itu.Para pembeli dan juga pedagang yang dari tadi melihat aksi ca ci cu ca ci cu pun mulai membubarkan diri tanpa harus diberi komando.Andai saja tadi ibu tidak menahanku, mungkin pertikaian itu akan terus berlanjut lebih parah daripada hanya sekedar beradu mulut. Aku benar-benar merasa sakit melihat Bu Ratna merendahkan dan menghinaku dan juga ibuku seperti itu. Seolah kami begitu tidak ada artinya, sehina itukah? Tanyaku pada diri sendiri.Apa yang dikatakannya tadi? Tidak selevel? Apakah aku harus mengingatkannya tentang bagaimana ia dahulu selalu datang kerumah setiap harinya? Dengan wajah memelas untuk meminta bantuan kepada almarhum
Setelah Bu Ratna pergi, aku dan ibu menata kembali barang dagangan yang tadi sempat kocar-kacir, kami memutuskan untuk menutup lapak lebih awal dan bergegas pulang.Huh ...Ku sandarkan kepalaku di sofa, ku hela nafas panjang untuk sekedar melemaskan otot yang tegang."MBREEEM BREM"Baru saja ku letakkan pan**t di atas sofa, terdengar suara sepeda motor yang sudah sangat ku kenali berhenti di halaman depan, ku toleh sekilas lewat pintu yang masih terbuka. Ya, aku tahu betul siapa yang baru saja datang."Assalamualaikum ... tok tok tok," terdengar suara ketukan di pintu."Wa'alaikumsalam," jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Aku malah mengambil remote televisi dan menyalakannya. Sedangkan ibu masih berada di belakang, meletakkan barang dagangan.Deva bergegas masuk meski belum ku persilahkan. Dia memang begitu, menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri, dan ibuku seperti ibunya sendiri. Dia langsung duduk di sampingku dan membalikkan badanku untuk menatapnya. Hal tersebut tentu
"Eh, itu dia Deva sudah datang. Panjang umur kamu, Nak, baru juga diomongin udah langsung nongol," Ayah Deva menyambutnya dari kursi ruang tamu saat Deva mulai masuk melangkah memasuki rumah. Akan tetapi Deva hanya menanggapinya dengan senyum yang hambar."Sini, Nak. Duduk dulu disini," Bu Ratna melambaikan tangan kepada Deva dan lantas menyuruhnya untuk mendekat."Ini ada Pakdhe Samsudin loh, sama Budhe Atun. Ayo Salim dulu," Titah Bu Ratna dengan senyum yang lebar. Demi menghormati ibunya, Rafa kemudian mencium tangan pasangan suami istri itu secara bergantian."Klek"Rafa sedikit melirik ke samping tempat duduk Budhe Atun. Disana duduklah seorang wanita cantik berkulit putih yang tersenyum malu-malu saat menatap Rafa."Hayo, inget nggak kamu nak sama Vanya? Iya, ini Vanya anaknya Pakdhe Samsudin dan budhe Atun. Kamu pasti masih ingat kan kalau dulu kalian itu sering bermain bersama?" tanya Bu Ratna.Apa-apaan ini. Untuk sekarang ini Deva benar-benar sedang merasa sesak di dalam dada
"Iiiih kamu nyebelin deh Ra. Besok aku balik ke kota aja lah!" Cebiknya.Ibuku hanya tersenyum saja melihat kami berdua."Nanti aja ya Ren ngobrolnya, ibu mau berangkat dulu, udah kesiangan ini," ibuku berucap dan langsung menepuk pundak ku sebagai kode untuk segera berangkat."Kenapa Reni tadi?" Tanya ibu."Kepo Bu dia, mau tahu kenapa Nara sama Deva putus," jawabku. Dan ibu pun hanya meng OH ria.Setelah sampai di pasar, aku membantu ibu untuk menata barang dagangan. Hingar bingar hiruk pikuk para manusia berlalu lalang didepan kami. Karena lapak sayur ibu berada di ujung jalan masuk pasar, tak ayal pembeli ibu kadang memang terlalu banyak yang mengantri. Mereka lebih mencari yang dekat dan strategis tidak harus jauh-jauh masuk ke dalam pasar.Saat hari mulai terang, kulihat Reni datang."Hei cantiiik," sapanya."Eh ngapain kamu sampai pasar? Nanti alergi loh," jawabku bercanda."Ini, disuruh ibu buat beli ikan, tapi nggak jago nawar. Temeni bentar ya Ra?" Pintanya."Boleh kan budhe