"Huh! Dasar anak kurang ajar!" Gerutu Bu Ratna yang pergi meninggalkan kami sembari melangkah dengan menghentakkan kakinya.
Setelah perdebatan panjang yang kami lalui tadi, akhirnya Bu Ratna memilih untuk pergi meninggalkan kami. Hal itu bisa membuktikan bahwa ternyata ia tidak gila. Aku hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya itu.Para pembeli dan juga pedagang yang dari tadi melihat aksi ca ci cu ca ci cu pun mulai membubarkan diri tanpa harus diberi komando.Andai saja tadi ibu tidak menahanku, mungkin pertikaian itu akan terus berlanjut lebih parah daripada hanya sekedar beradu mulut. Aku benar-benar merasa sakit melihat Bu Ratna merendahkan dan menghinaku dan juga ibuku seperti itu. Seolah kami begitu tidak ada artinya, sehina itukah? Tanyaku pada diri sendiri.Apa yang dikatakannya tadi? Tidak selevel? Apakah aku harus mengingatkannya tentang bagaimana ia dahulu selalu datang kerumah setiap harinya? Dengan wajah memelas untuk meminta bantuan kepada almarhum bapak agar mau mau meminjamkan uang pada suaminya.Sebenarnya keluarga kami adalah kerabat jauh. Mereka juga tidak kami anggap sebagai orang lain. Pak Rudi adalah sepupu jauh dari bapakku, mereka masih terikat hubungan saudara dari pihak kakek yang ada di Semarang.Kehidupan keluargaku dahulu tidak pernah merasakan kekurangan. Untuk ekonomi, keluarga kami bisa dibilang orang yang berpunya. Kami bukan termasuk orang yang kesusahan, karena kebetulan almarhum bapakku merupakan anak tunggal dari kakek. Setelah kakek tiada, seluruh warisan, tabungan, tanah, rumah, serta sawah seluruhnya jatuh ke tangan bapak sebagai pewaris tunggal.Namun, entah terbuat dari apa hati mendiang bapakku ini. Kebaikan hatinya seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya, tak terkecuali pak Rudi dan juga Bu Ratna.Almarhum bapak memiliki jiwa sosial yang terlampau tinggi. Dengan sifat tidak teganya itu, beliau tak kuasa menolak saat pak Rudi dan Bu Ratna datang untuk meminjam sejumlah dana untuk melangsungkan kegiatan kampanye sebagai seorang lurah.Dengan beberapa desakan dan juga janji-janji yang diberikan oleh pak Rudi, akhirnya bapak menjual beberapa petak sawah peninggalan kakek untuk mendapatkan sejumlah dana untuk kampanye pak Rudi. Akan tetapi setelah pak Rudi berhasil menjabat menjadi seorang lurah, uang tersebut tak kunjung dikembalikan. Ada saja alasan yang mereka berikan kepada bapakku.Mereka selalu saja mengelak dan berdalih bahwa nantinya keluarga kami akan berbesan dan menjadi satu keluarga. Bukankah sedari dulu Deva dan Kinara sudah saling dijodohkan. Itulah yang selalu mereka katakan, hingga lagi-lagi bapak merasa tak enak hati untuk menagihnya.Hubunganku dan Deva memang semakin dekat setelah itu. Sejak dulu, sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar memang kami sudah sering bersama-sama hingga kami sama-sama duduk di bangku SMA.Kehidupan ekonomi pak Rudi menjadi lebih baik setelah ia menjabat sebagai seorang lurah sejak 3 tahun yang lalu. Namun demikian, hutang yang pernah dipinjamnya tak kunjung juga dikembalikan. Bahkan sampai akhir hayat bapak, sepeserpun mereka tidak pernah mengembalikannya meskipun sekarang pak Rudi bisa disebut sebagai orang yang sukses.Bagaikan roda yang berputar, kehidupan keluarga kami dan kehidupan keluarga pak Rudi seolah tertukar. Aku yang dulu menganggap diriku seorang gadis beruntung yang selalu berkecukupan. Kini harus rela membanting tulang dan membantu ibu berjualan sayur. Harapanku untuk kuliah 3 tahun yang lalu, harus ku pupus. Aku harus merasa puas dengan ijazah tamatan SMA karena memang keterbatasan biaya untuk masuk universitas. Sedangkan Deva, keberuntungan sedang memihak kepadanya hingga dia bisa melanjutkan kuliahnya di kampus ternama yang ada di kota.Bapak yang dahulunya segar bugar, perlahan mulai sakit-sakitan. Tak sedikit waktu, tenaga dan juga biaya yang kami keluarkan untuk biaya pengobatan bapak. Tak apa kami kehilangan semuanya, asalkan bapak diberikan kesembuhan. Satu persatu aset yang ditinggalkan oleh kakek mulai terkikis. Tanah, sawah, bahkan juga usaha pemotongan kayu nya juga ikut habis kami jual untuk biaya operasi bapak pada waktu itu.Namun kembali lagi, seberapa kuat pun kita berjuang, jika yang kuasa sudah menentukan jalannya maka kita sebagai hamba bisa apa selain menerima ketetapan-Nya. Dan pada akhirnya, bapak pun harus berpulang karena sudah terlalu lelah dan juga menyerah dengan sakit yang dideritanya.Entah kata apa yang tepat untuk aku sematkan kepada bapak dan juga ibuku atas kemalangan yang menimpa kami ini.Di ujung jalan keluar dari pasar ini, masih kudengar beberapa omelan dari mulut pedas Bu Ratna. Perempuan yang tadinya akan berstatus sebagai ibu mertuaku itu berjalan dengan menenteng tas kremes kawe warna hitam. Dia berjalan menuju mobil berwarna putih yang terparkir tepat di samping pintu keluar."Jedharrr"Terdengar suara pintu mobil yang dibanting dengan keras. Mobil berwarna putih tersebut mulai melaju meninggalkan tempat parkir."Nak, harusnya kamu biarkan saja Bu Ratna, nggak usah di ladenin dan nggak perlu kamu berantem kayak tadi, dilihatin banyak orang seperti itu, nanti malah urusannya jadi panjang loh. Kayak nggak tahu aja kamu gimana sifat Bu Ratna," ucap ibu kepadaku disaat suasana sudah mulai tenang.Para pedagang yang sedari tadi melihat pertikaian kami sekarang sudah diam dan kembali melanjutkan aktivitasnya masing-masing."Ibu itu loh, harusnya ibu jangan diem aja Bu dihina dan direndahkan seperti itu. Ibu harus berani melawan Bu Ratna, jangan mau diinjak-injak. Kinara nggak suka jika harga diri kita diinjak-injak seperti itu, apalagi itu karena harta dan status saja. Apa Bu Ratna pernah ngasih makan kita Bu? Enggak kan? Berani-beraninya dia maki-maki ibuku yang baik hati ini,"Ucapku sambil sedikit memainkan alis menatap dengan senyum kepada ibu. Mendengar rayuan maut dari mulutku, membuat ibu langsung tersenyum dan lantas memeluk erat diriku."Aku Kinara Larasati memanglah seorang wanita Jawa asli yang ada gambar badaknya. Dan aku adalah seorang gadis yang suka ceplas ceplos kalau bicara. Apa yang aku suka ya aku suka, tapi apa yang aku tidak suka ya aku selalu bilang tidak suka. Itulah aku!"Kinara Larasati putri dari Pak Budiman dan Bu Wati.-----Setelah Bu Ratna pergi, aku dan ibu menata kembali barang dagangan yang tadi sempat kocar-kacir, kami memutuskan untuk menutup lapak lebih awal dan bergegas pulang.Huh ...Ku sandarkan kepalaku di sofa, ku hela nafas panjang untuk sekedar melemaskan otot yang tegang."MBREEEM BREM"Baru saja ku letakkan pan**t di atas sofa, terdengar suara sepeda motor yang sudah sangat ku kenali berhenti di halaman depan, ku toleh sekilas lewat pintu yang masih terbuka. Ya, aku tahu betul siapa yang baru saja datang."Assalamualaikum ... tok tok tok," terdengar suara ketukan di pintu."Wa'alaikumsalam," jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Aku malah mengambil remote televisi dan menyalakannya. Sedangkan ibu masih berada di belakang, meletakkan barang dagangan.Deva bergegas masuk meski belum ku persilahkan. Dia memang begitu, menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri, dan ibuku seperti ibunya sendiri. Dia langsung duduk di sampingku dan membalikkan badanku untuk menatapnya. Hal tersebut tentu
"Eh, itu dia Deva sudah datang. Panjang umur kamu, Nak, baru juga diomongin udah langsung nongol," Ayah Deva menyambutnya dari kursi ruang tamu saat Deva mulai masuk melangkah memasuki rumah. Akan tetapi Deva hanya menanggapinya dengan senyum yang hambar."Sini, Nak. Duduk dulu disini," Bu Ratna melambaikan tangan kepada Deva dan lantas menyuruhnya untuk mendekat."Ini ada Pakdhe Samsudin loh, sama Budhe Atun. Ayo Salim dulu," Titah Bu Ratna dengan senyum yang lebar. Demi menghormati ibunya, Rafa kemudian mencium tangan pasangan suami istri itu secara bergantian."Klek"Rafa sedikit melirik ke samping tempat duduk Budhe Atun. Disana duduklah seorang wanita cantik berkulit putih yang tersenyum malu-malu saat menatap Rafa."Hayo, inget nggak kamu nak sama Vanya? Iya, ini Vanya anaknya Pakdhe Samsudin dan budhe Atun. Kamu pasti masih ingat kan kalau dulu kalian itu sering bermain bersama?" tanya Bu Ratna.Apa-apaan ini. Untuk sekarang ini Deva benar-benar sedang merasa sesak di dalam dada
"Iiiih kamu nyebelin deh Ra. Besok aku balik ke kota aja lah!" Cebiknya.Ibuku hanya tersenyum saja melihat kami berdua."Nanti aja ya Ren ngobrolnya, ibu mau berangkat dulu, udah kesiangan ini," ibuku berucap dan langsung menepuk pundak ku sebagai kode untuk segera berangkat."Kenapa Reni tadi?" Tanya ibu."Kepo Bu dia, mau tahu kenapa Nara sama Deva putus," jawabku. Dan ibu pun hanya meng OH ria.Setelah sampai di pasar, aku membantu ibu untuk menata barang dagangan. Hingar bingar hiruk pikuk para manusia berlalu lalang didepan kami. Karena lapak sayur ibu berada di ujung jalan masuk pasar, tak ayal pembeli ibu kadang memang terlalu banyak yang mengantri. Mereka lebih mencari yang dekat dan strategis tidak harus jauh-jauh masuk ke dalam pasar.Saat hari mulai terang, kulihat Reni datang."Hei cantiiik," sapanya."Eh ngapain kamu sampai pasar? Nanti alergi loh," jawabku bercanda."Ini, disuruh ibu buat beli ikan, tapi nggak jago nawar. Temeni bentar ya Ra?" Pintanya."Boleh kan budhe
"Plak! Lancang sekali mulutmu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke Bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara! Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan juga bisa untuk membuktikannya, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi dan menjalar hingga ke dalam
"Plak! Lancang sekali mulutmu itu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara!Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan bisa untuk membuktikan apa yang ibu tanyakan saat ini, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu Lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi da
"Aku meminta maaf atas nama ibuku ya, Ra," sebuah ucapan yang sudah kuduga akan keluar dari mulut Deva. Sedangkan Ibu hanya menyimak obrolan kami tanpa sedikit pun menyela. Aku pun kemudian hanya menganggukkan kepala menjawab pernyataan dari Deva."Ibu, Nara, jika saya tidak diberikan waktu untuk lebih banyak bertanya. Maka ijinkanlah saya bertanya di sini saja," ujarnya kemudian."Ra, benarkah apa yang kamu katakan kemarin, benarkah jika kedua orangtuaku memiliki hutang kepada almarhum bapak Budi?" Tanya Deva bersungguh-sungguh. Hal itu dapat ku lihat dari nada bicaranya yang tegas."Untuk apa kamu menanyakan hal itu, Va. Toh kami juga tidak memiliki surat hitam di atas putih seperti yang ibumu harapkan. Seharusnya kami dulu membuat surat bermaterai pada waktu bapak dan ibumu menggadaikan beberapa petak tanah milik Bapak untuk dijadikan modal kampanye Ayah kamu. Oh ya maaf, aku sudah berjanji kepada ibu untuk tidak membahas hal ini lagi," ucapku sambil melirik ke ibu yang terus menata
Hari terus saja berganti dan waktu pun terus bergulir. Aku mencoba melupakan beberapa sesak di dada yang semakin hari semakin hilang. Hingga pada akhirnya tiba juga saat dimana aku dan juga ibu harus menyibukkan diri dan bergulat dengan asap dapur. Pada hari ini sudah dipastikan jika aku dan ibu akan sangat sibuk mempersiapkan pesanan catering untuk acara hajatan Bu Fatimah esok hari.Bu Fatimah sendiri memesan makanan dengan banyak ragam dan aneka menu. Dengan hanya mengandalkan dua tenaga milikku dan juga ibu sepertinya tidak akan cukup untuk menyelesaikan semua pesanan pada esok hari.Bu Fatimah adalah salah seorang yang dianggap orang kaya di wilayah tempat tinggal kami. Suaminya adalah seorang perwira polisi berpangkat. Meskipun ini hanyalah acara hajatan untuk khitanan anaknya, namun pasangan suami-istri Pak Supriyono dan Bu Fatimah menginginkan acara itu digelar secara meriah. Bu Fatimah sendiri memesan sebanyak 3 ratus lima puluh porsi makanan kepada ibu.Bu Fatimah juga memin
Perlahan, aku pun menoleh ke arah suara yang kurasa sedang memanggil namaku tadi. Ternyata Bu Fatimah saat ini sudah berdiri di belakangku. Wanita yang terlihat sangat anggun dan berwibawa itu mengenakan setelan baju kebaya berwarna coklat susu yang dihiasi manik-manik emas di sekelilingnya. Wanita yang merupakan istri dari seorang Perwira polisi itu selalu saja tampil mempesona di setiap acara apapun. Karena memang wajahnya masih begitu ayu di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Maafkan saya ya, Ra. Maaf kalau saya merepotkan kamu dn juga Ibumu. Terimakasih yo, Nduk. Kamu sudah mau membantu disini. Ini tadi kok yang tadinya mau bantu-bantu tiba-tiba aja telepon kalau nggak bisa datang," ucap Bu Fatimah dengan senyum yang menghiasi wajahnya."Iya, Bu. Tidak apa-apa," jawabku.Setelah menyapaku sebentar, Bu Fatimah pun berlalu untuk menyambut tamu-tamu nya yang akan datang. Sedangkan aku kembali melanjutkan pekerjaan untuk menyusun makanan pada meja prasmanan.Para tamu mulai b