Aku bangun dengan tergagap ketika ada suara dering telpon menguar dari atas nakas. Lalu kupeluk seseorang yang sudah dari semalam menemani begadangku.
"Sayang, bangun. Berangkat kerja," suaraku sambil mengelus punggung telanjangnya yang terasa dingin.
"Aku cuti, Yank," ops lupa. Dia sudah ambil cuti beberapa hari untuk pre wedding kami. Lalu ku elus kembali punggungnya dan aku rasa dia sudah terlelap dalam tidur kembali.
Karena hari ini aku juga ada persipan ke kantor Farhan aku bergegas mandi. Kutinggalkan dia sendiri di apartemen.
"Lho, kok malah ke sini?" tanya Farhan sambil meletakkan berkas di atas meja kerjanya.
"Aku cuma mau lihat kamu, terus ada janji sama teman," ucapku lalu membereskan meja kerjanya yang berantakan.
"Jangan buat aku kembali ke dunia khayalku lagi. Nanti aku nggak bisa move on dari kamu," sekilas aku tersenyum lalu menghampirinya.
"Aku pergi, ya?" ucapku.
"Tunggu!" Kuhentikan langkahku. Menungg
Mampir yuk
Aku masih terengah, mendapatkan perlakuan Ray yang tiba-tiba frontal. Laki-laki itu tersenyum puas melihatku megap-megap begitu. Lalu dia kembali mengecup dadaku yang sudah banyak bekas kepemilikannya."Itu hukuman buat yang sudah meninggalkan aku sendiri di ranjang," ucapnya dengsm dada masih bergemuruh. Sesekali bibirnya mrnyapukam lidahnya di bagian puncak dan gurun ke perut.Aku hanya tersenyum menahan geli dan menggelinjang. Dan seharian itu kami tidak beranjak dari tempat tidur. Bahkan kami berkalu-kali melakukan itu seolah ini honey moon.Badanku seakan hancur oleh serbuan dan serangan Ray yang seakan-akan tak pernah merasa puas denganku dam selalu minta terus dan terus, lagi dan lagi.Sampai bunyi bel pintu 3x aku masih dikungkung oleh Ray."Siapa sich yang ganggu? Padahak aku sudah matiin semua alat komunikasi biar kita nggak ada tang ganggu." ucapnya kesal namun pada akhirnya dia bangun juga."Ma! Ada kok ka
Dengan lembut aku memakaikan baju coupelan untuk acara kawinanku itu ke badan Farhan dan laki-laki tamoan itu benar-benar tak berkedip melihatku. "Ada yang salahkah di wajahku, sampai kamu melihatnya tak berkedip?" tanyaku sambil terus memakaikan baju untuknya. "Kamu cantik," jawabnya. "Dan seharusnya kamu jadi milikku dan hanya milikku bukan milik orang lain meskipun itu saudara kembarku sendiri," ucap Farhan tentu hanya di dalam hati. Aku hanya tersenyum mendengar dia memujiku. "Sudah dari dulukan aku cantik," timpalku lalu menyuruhnya berputar setelah selesai aku memasangkan baju di badannya. Dan decak kagum dari sang mama yang pertama kali keluar dari mulutnya untuk mengomentari ketampanan putra kembarnya itu. Aku tersenyum lalu menyingkir mengapit tangan kekar sang arjuna hatiku menuju ke Pantry. "Mau apa sich, Sayang?" tanyanya sambil memelukku dari belakang ketika aku membuatkan kopi untuk mereka. "Buat kopi. Kan mama-pa
Aku terperangah melihat siapa yang sudah berdiri di hadapanku. Aku menyingsut mundur melihat siapa sosok itu. Ada rasa yang sangat susah aku artikan. Sudah hampir 10 tahun tidak pernah bertemu dan kini kenapa di saat aku akan menjemput hari bahagiaku dia hadir. Apakah akan merusak kebahagiaanku seperti dahulu."Mbak Move nggak kenapa-napa kan?" tanya Renata tanpa canggung."Nggak, Re!" jawabku tegas. Nggak perlu siapapun tahu siapa orang ini."Re, maaf bisa tinggalkan kami berdua," pintaku sambil meninhgalkan dia menuju ke arah pria dewasa itu. Renata sekertaris Farhan itu hanya menarik senyum misteri yang aku sendiri tidak tahu artinya.Intinya hari ini sikap Renata berubah. Ada yang mencurigakan menurutku."Dari mana kamu tahu aku bekerja di sini?" ucapku dingin bahkan tak sedikitpun menatapnya. Laki-laki yang sudah menghancurkan hidupku dan membuatku menghadapi segala penderitaan.Pria yang umurnya setara denganku itu hanya te
"Move di culik!" Berbarengan Ray dan Farhan mengucapkan kata-kata itu membuat petugas di ruang cctv itu terkejut. "Pak! Apa kita nggak seharusnya melapor ke pihak yang berwajib?" "Iya, Pak. Saya msu coba ngecek lewat ponselnya dulu siapa tahu bisa dilacak keberadaannya." kata Farhan. "Oh kebetulan saya bisa, melacak keberadaan ponsel tersebut meskipun sudah mati ponselnya, Pak," "Oh ya. Kalau begitu silakan," Farhan memberi jalan dan menyerahkan poselnya untuk melacak keberadaan Move. Tak lama petugas cctv tersebut sudah mdngembalikan ponsel tersebut. "Di sini, Pak titiknya. Semoga Mbak Move belum di bawa lebih jauh lagi." Dengan segera Ray dan Farhan menuju ke parkiran dan melajukan mobilnya ke arah lokasi yang sudah di temukan. Ray melajukan mobilnya seperti orang membabi buta. Dia nggak ngangka awal-awal dia mau menikah dengan Move masih ada aja orang yang sirik. Ada yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka. Bersama
Tamparan itu terasa keras sekali. Nyatanya dari sudutbibir kanannya sobek dan menetes darah. Laki-laki itu hanya bisa memegangi pipinya yang anas seperti tersengat setrum. Sedang aku dengan mata nyalang dan sot tajam menghujam langsung ke dada Dkmetri Arteca. "Lancang kamu, Dimetri!" seruku sambil menarik laki-laki itu kehadapanku. "Kamu tidak pernah berubah, Dimetri! Tetap aja brengsek!" Makiku penuh dengan kemarahan. Tak bisa dipungkiri aku memang marah dan sangat marah. Tapi laki-laki itu hanya bergeming mendapatkan hadiah tamparan dariku. "Laki-laki menjijikkan!" Belum puas rupanya aku memaki dengan sarkasnya. Tapi ada yang berbeda lho! Laki-lali dewasa ini lebih banyak diem dan sepertinya ada yang menggajal di dadanya. Tapi aku tak peduli. Aku ingin pulang. Aku tahu dia menculikku terang-terangan. Dengan getrakan cepat aku turun dari pembaringan dan menuju ke pintu. "Mau kemana?" tanyanya cepat. "Mau
Aku pulang tanpa diantar. Bukannya tidak mau mengantar tapi aku yang tidak mau diantar. Kusuri jalan dengan kaki lelahku. Tubuh kecilku pun rasanya sudah tak mampu kupaksakan berjalan. Aku terduduk di sebuah halte. Bingung, bagaimana aku bisa pulang. Aku nggak ada uang. Ponselku pun menghilang. Sebuah bus sudah lewat dan aku hanya mampi memandangi kepergian bis itu. Menelungkup kebingungan. Karena gengsi dan jaga image akhirnya semua berantakan. Lihat! Sekarang sudah lewat dari magrib. Aku mau pulang bagaimana? Saat sedang kalut begitu, suara klakson mobil pribadi sangat menggangguku dan semakin kutelungkupkan wajahku ke dalam kedua tanganku. Agak terkejut mana kala ada sentuhan halus di pundakku. Aku mendongak dan seakan tak percaya kalau itu memang benar-benar dia. "Ray," panggilku menyerupai desisan. Dan laki-laki itu menarikku dalam dekapannya dan dipeluknya erat-erat membuatku sesak napas. "Ray, lepasin! Aku nggak bisa napas!" ucapku tersengal. D
Dengan cepat aku membereskan barang-barangku dan ku masukkan ke koper kecilku. Aku sudah bertekad untuk pergi dari kota ini dan menghilang sejauh mungkin agar tidak di temukan lagi. Aku sudah capek dengan sakit hati dan terluka, lebih-lebih rasa kecewa sudah tidak dapat kugambarkan lagi. Kenyataanya, aku harus paham bahwa hidup itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sudah banyak yang kualami bahkan taruhan nyawanerkali-kali. Tapi kenapa aku harus merasakan kecewa dan terluka lagi. Mungkin begitu sayangnya Tuhan denganku atau malah aku begitu banyak melakukan dosa selama ini, makanya aku sekarang sedang menerima balasan dari Tuhan. Aku sudah tak mampu lagi menggambarkan perasaan yang ada di hatiku. Mungkin ini keputusan yang sudah tepat. Membatalkan pernikahan dan berhenti bermimpi untuk bahagia betsama Ray. Orang yang sudah 7 tahun kurang lebihnya mengisi hari-hariku. Kalsu kenyataannya aku harus berpisah dengannya aku bisa apa. Nggak ada yang bisa aku lakukan
Raya Dinata meluruhkan badannya dihadapanku dan seketika itu juga aku terkejut, mataku terpana memandang pria yang dulu angkuh, dingin, dan galak itu bersimpuh di hadapanku. "Ray, apa yang kamu lakukan? Ayo berdiri," ucapku berjongkok di hadapannya. Tapi laki-laki itu masih duduk bersimpuh dengan lututnya. "Ray, Please!" Wajah Ray luruh menatapku seolah memohon padaku. Dan aku typical orang yang mudah meledak-ledak juga mudah melunak. Kuraih tangan itu ke dadaku lalu kutarik tubuh kekarnya ke dalam dekapanku. Spontan pria itu mengungkungku dengan dengan kedua tangannya, dan mengunci dengan tatapan mata elangnya. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku terlalu sulit untuk melupakan segala kisah 7 tahun itu, menampik segala pesona sang ditektur muda itu. Iya! Umur kami berbeda, kasta kami berbeda bahkan ststus kami pun berbeda, namun hati kami sama. Satu rasa dan satu jiwa. Bahkan kami sudah memulai kisah kami 7 tahun yang lalu.