Aku tertunduk dan mulai terisak. Ku coba mebahan tangis itu, tapi aku gagal. Guncangan hebat itu nampak dari puncak punggungku.
Ray sedikit terkejut. Tapi dia sudah tidak ingin menyakiti lebih jauh lagi perasaanku. Dibiarkannya isakku makin terdengar. Dan itu semakin membuat perih hatiku.
"Kenapa kamu tidak oernah bilang, kalau kamu tidak menginginkan hubungan yang terikat. Kenapa kamu tega membiarkan aku menunggumu selama 6 tahun kebih?"
Suaraku masih sedikit serak, ketika beberapa menit aku mencoba menguasai diriku lagi. Tak ada hawaban dari Ray. Dan itu sudah biasa.
"Aku harap kita tidak usah ada hububgan apa-apa lagi. Dan jangan sampai kita kembali menjalin hubungan ini. Aku akan berusaha melupakanmu dan menutup hatiku untukmu." Kalimatku yang agak panjang itu mampu membuat Ray merespon.
Laki-laki itu menolehkan wajahnya yang keliatan berantakan. Dengan pandangan kosong dia menatapku.
"Semoga kamu bisa bahagia setelah aku lepaskan
Karya ku yang lain@Sang Kapten dan Fatamorgana. Terima kasih, selamat membaca
"Mari pulang, Nak." ucap mamanya terluka melihat pertunjukkan yang seharusnya tidak usah dilihat olehnya. Raya Dinata rapuh. Dia ambruk dengan keputusanku untuk berhenti mempertahankan hubungan kami. Bahkan dia sendiri pun tak mampu menolak ketika keputusan itu kuajukan. Dengan ringan laki-laki itu mengiyakan, permintaanku untuk berpisah. Entah sebenarnya ada tabir misteri apa dibalik semua ini. Yang pasti baik Ray dan ibunya, memang benar-benar menginginkan hubungan ini berakhir. Hari itu, aku benar-benar hancur. Dunia seakan tak berpihak padaku. Aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya aku melewati masa sulit ini. Setelah sekian tahun aku lewati dengan berbagai cara. Sedangkan hari ini, aku benar-benar kehilangan dia. Segalanya sudah kupertaruhkan buat dia, termasuk dengan nyawa ini, hampir berkali-kali aku mati hanya untuk dia. Tapi ternyata itu nggak cukup membuatnya untuk mencintaiku. Memberikan pengakuan pada semua orang bahwa aku lay
Aku membuka mata tepat ketika ada sentuhan di keningku. Sama-samar kulihat seseorang itu sudah mengelus rumbai rambut yang menjuntai ke dahiku. Jejak air mata masih kurasakan lengket di wajahku. "Aku sudah menyiapkan air hangat. Mandilah, biar tubuh kamu bersih. Semalaman aku belum semua membersihkannya." "Apa!" Aku berjengkit ke belakang mendengar ucapannya. "Dok-dokter-- membuka bajuku?" Dokter muda itu hanya menganguk pelan. "Daleman kamu belum bisa Aku lepaskan karena, kamu nggak mau ngelepasinnya." Duh! Ku tutup mukaku. Malu rasanya. Bahkan sekarang tanpa sadar aku malah melepaskan selimutku ketika sedang ngobrol sama dokter muda itu. "Move! Jangan sengaja begitu. Aku bisa khilaf nanti." ucapnya sekali lagi tanpa melepaskan pandangannya dari badanku. "Aaaa!" teriakanku nyaring di pagi itu. Aku buru-buru menarik selimut lagi. Dan kulihat dokter tampan itu mendekatiku. Dan menarikku dalam dekapannya. "Aku sud
"Kring--" Suara dering telpon di ponselku itu menunda bibir kokoh itu mengunyah bibir kenyalku. Karena setelah beberapa detik kemudian, aku sudah meraih ponselku yang ada di atas nakas. Namun, secepat kilat dokter Careld sudah merampas benda pipih itu dari genggaman tanganku Terlihat di layar ponsel itu tertulis nama " My Soulmate" yang seketika membuat darah dokter muda itu mendidih. Dengan posesif diangkatnya panggilan itu. "Hallo!" Si penelpon bergeming setelah mendengar sapaan dokter Careld. Beberapa detik yang lalu seakan dia ingin meloncat girang mana kala sang empunya ponsel mau mengangkat panggilan telponnya. Namun sekarang, seperti dicampakkan dengan tusukan ribuan jarum yang menyakitkan ketika faktanya suara itu bukan milik Move. "Tidak seharusnya Move, masih menyimpan nomermu. Karena kalian sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi!" Raya Dinata! Susah payah menelan salivanya ketika mendengar ucapan
Wanita itu sudah duduk di sofa yang berseberangan dengan seorang laki-laki yang sedang sibuk menghadap layar laptopnya. Berkali-kali dia mengusap wajahnya dengan kasar. Berusaha fokus pada kerjaannya tapi gagal. Menghela napas dan menghembuskannya agar perasaan yang berkecamuk di hatinya bisa hilang. Namun tak kunjung membaik juga hatinya. Dihempaskannya beberapa berkas itu dengan kasar. Lagi-lagi dia melihat ke arah ponselnya. Ada kemarahan yang luar biasa besar di sana. Beberapa foto yang mampu merejam hatinya. Mencabik dapat mengkoyak segala raganya. Dan itu adalah kesalahannya sendiri. "Apakah yang aku lihat itu semuanya benar, Ray? Hubungan kalian sudah berakhir? Pertanyaan itu sungguh tidak ingin dia dengar. Rasanya hanya menyakiti telinganya saja. Merasa sudah tidak mood lagi mengerjakan semua pekerjaannya hari ini, Ray! Sosok itu menyambar jasnya lalu berlalu dari hadapan wanita yang tak lain Feronika Alfarest. Di ruang karyawan tampak
Aku menarik bibirku, namun Ray semakin menjadi. Diciuminya bibirku. Lidahnya yang runcing menerobos ke rongga-rongga mulutku. Dikunyahnya bibirku dengan rakus membuatku semakin tersengal kehabisan napas. Dan akhirnya Ray melepaskan pagutan bibirnya dari bibirku setelah dilihatnya aku batuk-batuk dengan napas tersengal. Tangannya tetap mengunci tubuhku agar tetap dalam kungkungannya. Ditatapnya dalam-dalam wajahku membuatku ciut dan menunduk. Ray menundukkan wajahnya, meraih dagu runcingku dan kembali membenamkan bibirnya ke bibirku, dan mengunyahnya dengan dada berdegub hebat. Entah setan apa yang merasuki aku, kali ini aku hanya terdiam bahkan aku menikmatinya, memejamkan mata dan tanpa sadar mengalungkan tanganku ke lehernya. Itu membuat Ray semakin menjadi, diangkatnya tubuh kecilku dan direbahkan di sofa. Diciuminya bibir dan wajahku bertubi-tubi tanpa ampun dan tanpa memberi kesempatan untukku bernapas. "Aku merindukanmu, Sayang. Sa
Dengan spontan Ray melepaskan ciumannya. Tak kusadari beberapa detik yang lalu aku sudah menamparnya. Dengan tangan kokohnya, Ray mengusap sudut bibirnya yang pecah. Dan menghentikan aktivitasnya. Sesaat hening. Namun hatiku bergulat dengan pikiran yang sedari tadi tidak bisa diam. "Aku bukan murahan, aku bukan murahan!" desisku. Dan mulutku akhirnya dengan jelas menggumamkan kata-kata itu yang membuat Ray menoleh dengan ekspresi terkejut. Ditangkupnya tubuh itu dan dipeluknya dengan hangat. Dia sadar sudah membangkitkan rasa trauma yang bertahun-tahun ini sedang kujauhi. "Maafkan, Aku. Maafkan, Aku!" Begitupun dirinya. Menyadari sebuah kesalahan fatal terhadapku. "Aku nggak bermaksud begitu, aku hanya sangat takut. Takut sekali. Tidak pernah bisa lagi mempunyai kesempatan itu! Kesempatan untuk memilikimu." Air mata itu bukan hanya milikku tapi milik pria yang menjelang dewasa ini. Isak dan sesengguknya membuatku semakin betah berlama-
Farhan Dinata dan Raya Dinata adala dua nama dan dua orang yang berbeda. Hanya tubuh dan muka mereka yang sama. Selebihnya sifat dan karakter juga watak mereka berbeda jauh. Farhan Dinata, Seorang jenius yang mempunyai kemapuan IQ di atas rata-rata, besar di USA dan mendirikan perusahaan di bidang perangkat lunak, 6 tahun yang lalu. Mempunyai saudara kembar yang sudah terpisah dari lahir dan dibesarkan oleh orang tua yang berbeda. Berpisah dari lahir dan baru akan dipertemukan 6 tahun yang lalu dengan saudara kembarnya, Raya Dinata, Seorang CEO perusahaan yang bergerak di bidang pengiriman barang dengan sifatnya yang dingin da arogant. Merupakan putra kesayangan dari keluarga Dinata. Yang akan mewarisi seutuhnya kekayaan Dinata group. Berniat akan mengadakan pertemuan dengan saudara kembarnya untuk pertama kalinya 6 tahun yang lalu. Namun sayang, musibah tidak bisa dihindarkan. Pesawat yang ditumpangi
Ray jalan dengan tergesa menuju ruangan kerjanya, itupun dia berjalan melalui parkiran bassemant. Di pelataran sudah membludak para awak media yang berjejal hanya untuk menunggu kedatangannya.Entah media berita mana yang menerbitkan berita hari ini tentang rahasia besar keluarga Dinata. Berita itu mencuat begitu sensasional. Mengupas tentang pembicaraan yang dilakukannya kemarin dengan saudara sepupunya."Clarissa! Tolong handel semua media berita yang menerbitkan berita tentang keluarga Dinata hari ini! Jangan sampai menyebarluas."Begitu titah Ray kepada seluruh karyawannya hari ini melalui sekertarisnya. Dia tak habis pikir siapa yang mencuri dengar tentang pembicaraannya dengan Careld kemarin hingga di terbitkan ke seluruh media berita.Dari karyawan sampai seluruh media berita dan masyarakat umum pasti sudah rame membicarakan tentang keluarganya.Berkali-kali ibunya menelponnya supaya cepat menghandel pemberitaan itu. Begitupun dengan Careld.