Aku tercekat dengan tenggorokan kering, melihat sosok yang sudah tepat berada di hadapanku.
"Astaga! Ini siapa? Ray, kah? Farhan, kah?" Tiba-tiba aku merasa pening mendapati sosok di depanku ini tidak bergeming. Hanya tatapan dinginnya membuatku beringsut ke belakang.
Tanpa diperintah sosok tampan itu berangsur mendekatiku. Mencoba menggapai tanganku. Tapi aku semakin terpojok. Mencari sesuatu yang mampu membuatku tenang.
Ini sebenarnya siapa? Bahkan dalam keadaan seperti ini, pikiranku pun tak mampu ku ajak bekerja sama. Sungguh, aku tak mengenali siapa pria ini?
Terlalu mirip! Sama bahkan. Dari garis rahangnya yang keras, lengkung hidungnya yang mancung, bahkan sinar pendar di matanya, pun sama warnanya. Coklat mengkilat.
Sampai tubuhku menyentuh dinding belakang, laki-laki itu bahkan tak melepaskan ku. Tubuhku gemetar, kaki dan tanganku bergetar. Sesaat panik attack itu menderaku, mengkoyak keberanianku. Dengan bibir thremorku mencoba mencari ta
"Plak-plakk--!" Aku meringis dan mengusap pipi kanan dan kiriku. "Dasar perempuan tak tahu diri!" Kembali wanita itu mengayunkan tangannya namun urung dijatuhkan dipipiku lagi. Aku meregang, mengepalkan tembok mendengar apa yang barusan keluar dari mulut perempuan itu. "Sekarang, kamu puas melihat mereka saling memukul dan membunuh?! Inikah yang kamu inginkan. Kamu mau membalas dendam kepada mereka?!" Bertubi-tubi pertanyaan bernada pernyataan itu. Aku hanya bergeming di tempatku berdiri. Tak kutampik semua yang dikatakan perempuan itu, Aliya mama dari si kembar Ray dan farhan Dinata. Iya! Akulah yang nenyebabkan pertengkaran demi pertengakara mereka. Memang seharusnya aku nggak di sini. Dengan cepat aku berkari menuju ke pelataran gedung perusahaan Dinata Group. Ingin secepatnya aku menghilang dari dunia mereka. Sudah cukup rasanya aku dihina oleh mereka. Tak ingin lagi aku ada diantara meteka lagi. "Move!"
Panggilan itu membuatku tersentak. Aku nggak menyangka ada yang mihatku bersembunyi di balik dinding di lorong koridor ini. Pria itu mendekati aku. Raya Dinata, si kembar yang dingin, panggilan buatnya baru-baru ini. Semenjak munculnya kembarannya yang super ganteng. "Ayok!" Dia menarik tanganku dan sedikit menyeretku untuk mendekati dokter yang menangani jantung Farhan. "Dok, ini yang namanya Move Herdianata." ucapnya pada dokter yang mencariku. "Baik, mari ikut," aku terlongo mendengar kedua orang itu bicara. "Pergilah!" kata dia sambil menatapku penuh harap. Aku hanya membalas tatapannya dengan kebingungan. Ternyata dibalik keangkuhannya terselip kepeduilan yang sangat tinggi untuk saudara kembarnya yang baru pertama kali juga ia temukan selama hampir 30 tahun. Sekilas kulirik tante Aliya, yang begitu sinis menatapku. "Ray! Kenapa di biarkan dia masuk ke ruangan Farhan?" Ray menghela napas mendegar ucapan mam
Baik aku dan semua yang ada di situ, menoleh ke asal suara. Disana, di balik tirai sudah berdiri sosok yang sudah tak asing lagi kecuali di mata Farhan. Nathan, laki-laki yang terakhir melindungiku itu sudah berdiri drngan tenangnya berjalan maju. "Mungkin, kamu tidak mengenalmu tapi aku mengenalmu dengan baik. Aku mohon setelah ini jangan mencari Move. Dia akan pergi denganku." suara itu ternyata mampu membuat Farhan menghentilan aktivitasnya mengisi daya di tubuhnya. Dengan perlahan dia berdiri dan mendekati sosok Nathan. "Tapi dia milikku, dan akan selalu menjadi milikku." Sudah gila kali, ya laki-laki kembar ini. Kenapa tiba-tiba dia berbicara seperti itu. Kulihat Ray tidak nyaman dengan suasana seperti itu. "Farhan! Lebih baik, kamu istirahat. Kamu harus cepat pulih jangan banyak berpikir yang nggak ada gunanya." Suara itu milik mamanya. Hatiku bergetar mendengar wanita itu mengintrupsi anak kembarnya. "Nathan!
Air mataku tumpah di dalam mobil Nathan. Aku sudah tidak mau berpura-pura kuat lagi. Aku nggak sehebat yang mereka pikir. Aku cuma manusia biasa yang bisa lemah dan menangis. Dan ini adalah perjuangan terakhirku untuk tidak menangis. Aku dah dah capek bersandiwara menjadi wanita kuat dan tangguh lagi. Kalau pada kenyataannya aku sekarang lemah dan rapuh. "Menangislah, kalau itu membuatmu lebih kuat."ucap Nathan tanpa menatapku. Dan memang benar, air mataku tumpah membanjiri pipi tirusku. Ada kekelahan yang sangat luar biasa di sana. Pundakku terguncang kencang, isakku terdengar keras. Senggukku memilukan. Mungkin itu yang membuat Nathan menepikan mobilnya di pinggir jalan yang agak sepi. Dia membiarkan aku dengan segala rasaku. Memberiku waktu menangis sepuas-puasnya. Ada setengah jam aku dibiarkan Nathan dengan kondisi seperti itu. Hingga akhirnya saking capeknya, aku sudah tak ingat apa-apa. Yang kutahu sepertinya aku tertidur lelap di mobil Nathan.
"Move!" suara itu milik Nathan, tapi aku hanya mendenguskan napas halusku tanpa menoleh ke semua orang. Apa lagi melihat wajah sinis dan tak suka wanita paru baya itu. Aku nggak peduli. Toh nantinya kalau benar aku jadi perawat pribadi Farhan aku nggak akan serumah dengannya. "Aku nggak setuju!" Tiba-tiba suara lain memecah ketegangan di ruangan itu. Aku sendiri menoleh ke asal suara dan jujur merasa sangat terkejut setelah tahu siapa orang yang menentang kesediaanku untuk menjadi perawat pribadi Farhan. Ray! Raya Dinata, saudara kembar Farhan. Kenapa tiba-tiba mengemukakan pendapat yang sedikit berbau frontal? "Apa masalahnya Move sendiri sudah menyetujui?" Sanggah Farhan mengecam ketidak setujuan saudara kembarnya. "Intinya, Aku tidak setuju?" Masih dengan kukuhny Ray mempertahankan pendapatnya. Entah, alasan kuat apa yang membuatnya tiba-tiba menyanggah kesediaanku menjadi perawat pribadi Farhan. "Tapi kamu nggak berhak memutu
Masih dengan keterkejutanku aku bergeming di tempatku berdiri. Menatap sosok tamu yang masih berdiri di depan pintu tanpa ku persilakan masuk. Hanya mata kami yang saling berpandangan dengan hati yang saling bertautan. Berkali-kali aku menelan salivaku, dan ku kuatkan agar aku tetap bisa bertahan untuk menatapnya mengamati wajahnya tanpa menundukkan kepala. Demikian juga dengan dia. Mata elang yang sudah lama sekali tak kutemui itu begitu tenang menatapku menguliti wajahku dengan sinar pendarnya yang memancarkan sinar pendarnya. Lama terdiam dan terpaku akhirnya dengan berbaringan, kami bicara. Detik itu juga aku merasakan desiran halus yang dulu sering kerusakan mana kala bertemu dengannya. Ternyata rasa itu masih ada di sini. "Hai, Ray! Masuk! Kok cuma di depan pintu?" suara Farhan menghenyakkan perasaan ksmi masing-masing. Dengan reflek tubuhku menyingsut ke samping ketika kaki Ray melangkah masuk ke dalam apartemen. "Langsung ke meja makan, ya? Ki
"Tolong--gg--!Aku semakin panik. "Farhan! Farhan!" Karena panik aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Dengan kebingungan aku menangis sejadi-jadinya. Meraung-raung tak tahu harus berbuat apa."Move! Hei, Move!" guncangan hebat itu membuatku terkejut. Seketika itu aku membelalakan mataku. Mengerjab liar dan menyapu nanar ke seluruh penjuru ruangan.Seolah tersadar aku langsung terduduk memandang sodok yang ada di depanku."Farhan! Aku memekik tertahan tapi tak menubruknya, hanya menggenggam pundaknya yang kejar. Ada air mata yang sudah mrembes di sudut kiri dan kanan."Hei! Ada apa? Kamu seperti mimpi sangat buruk." ucapnya sambil meraih tanganku yang tadi menggenggam pundaknya."Kamu berteriak dan menangis. Dan juga memanggil-manggil namaku. Ada apa, hem?"Oh! Jujur karena aku ini orangnya gampang baperan kutubruk juga akhirnya pria tampan itu. Kuraba jantung buatan itu. Miris. Laki-laki yang sedang ada dalam pelukanku ini ha
Aku terkulai di pembaringan. Rasanya aku benar-benar tak percaya jatuh lagi ke dalam pelukannya. Sedang Ray masih menindihku dengan napas memburu. Badannya yang kekar penuh dengan keringat. Tak henti-hentinya dia merspatkan bibifnya ke seluruh tubuhku. Wajahku dan leherku jadi sasaran empuknya. Aku masih tersengal ketika pelepasan untuk kesekian kalinya Bahkan dia tak membiarkanku istirahat semenitpun. Seperti orang kelaparan dan kehausan, Ray tidak membiarkanku hanya sebentar saja menghirup oksigen. Ketika semua sudah finish, laki-laki itu meraup mukaku menciuminya bak memakan es krim. Aku sempat gelagapan mendapati dia begitu tak ingin melepaskaku. Kubiarkan dia dengan tingkahnya begitu. Aku sudah nggak kuat, capaek dan ngantuk sekali. Entah karena aku kecapekan atau ulah Ray semalam yang keterlaluan, tidurku nyenyak sekali. Aku berjengkit saat mendengar dering telpon di ruang tamu. "Astaga!" Aku melompat dari twmpat tidurku langsung nubruk ke