"Mama ngapain datang ke sini?" gerutu Andaru dengan wajah menahan kesal. "Kamu sendiri ngapain di sini? Suka sekali kamu tinggal di tengah hutan?" sahut Elmira cuek dengan tatapan fokus ke layar ponselnya. Sejak tadi siang Elmira datang ke tempat penambangan. Wanita itu terus mengekori kemana saja putranya itu pergi. Sampai hampir menjelang malam wanita itu tetap tak mau beranjak pergi. Dan disinilah sekarang Elmira berada, di kamar peristirahatan milik Andaru. "Jangan menjadikan pekerjaaan sebagai alasan untuk tetap tinggal disini," tambah Elmira melirik kesal pada putranya. "Aku memang sedang bekerja Ma," "Kerja apa? Tempat kamu itu di kantor, bukan di tengah hutan begini. Emang kamu buruh tambang? Kamu itu CEO-nya," sahut Elmira menatap kesal putranya yang duduk di atas ranjang. "Mama tahu kamu betah di sini karena ada wanita murahan itu kan?" Elmira sangat yakin jika wanita yang sudah membuat putranya pergi beberapa tahun lalu itu disembunyikan Andaru tempat penambangan ini
"Jangan melamun saja," ujar seorang wanita berparas ayu pada Elmira yang sedang duduk melamun di teras rumahnya. "Minumlah, ini teh hijau biar kamu bisa lebih tenang." Diletakkannya secangkir gelas teh hangat di atas meja. "Makasih Ran," ucap Elmira. "Maaf dari kemarin merepotkan kamu terus." Elmira menyesap teh hijau setelah beberapa kami ditiupnya beberapa kali. "Aku sama sekali tidak merasa direpotkan hanya saja kasihan papamu, dia pasti kesepian di rumah sebesar itu sendirian." Sudah dua malam Elmira menginap di rumah sahabatnya setelah perdebatannnya dengan Andaru tempo hari. "Kepalaku tambah pusing kalau di rumah. Papa juga sibuk dengan teman-temannya. Sedangkan Andaru juga tidak mau pulang," sahut Elmira dengan ekspresi sedih lalu kembali meletakkan secangkir teteh hijau di atas meja. "Kalau boleh ngasih saran, sebaiknya kamu berhenti mencampuri urusan putramu supaya hubungan kalian tidak terus bersi tegang," tutur Rania menasehati."Tapi dia putraku satu-satunya Ran, aku
"Pelan-pelan makannya, jangan kayak anak kecil." Rania memberikan segelas air minum pada Elmira lalu kembali mengarahkan pandangannya pada pemilik kedai. "Sepertinya bukan orang sini?""Iya, guru sekolah anak saya memang bukan orang sini, dia pindahan dari Jakarta," jawab pemilik kedai. "Namanya Bu Aisyah, orangnya cantik dan baik. Tadi saya suruh mampir tapi katanya masih harus belanja bahan-bahan untuk paguyuban ibu-ibu di kampung." Tanpa sadar pemilik kedai bercerita sambil mencuci bekas piring pembeli di kedainya. Elmira terdiam, dia berusaha mencerna setiap ucapan wanita itu sembari mengingat ucapan putranya. 'Mama salah faham,' kalimat Andaru terngiang-ngiang di pikirannya. "Di kampung ibu ada paguyuban?" Rania kembali bertanya setelah melirik Elmira dengan ekor matanya. "Katanya sih iya, Ibu guru Aisyah yang membuatnya. pertemuannya seminggu tiga kali di gedung sekolah setelah anak-anak pulang. Di sana ibu-ibu di ajari untuk membuat kerajinan yang memiliki ciri khas kampung
Pukul 6 pagi Aisyah sudah berangkat ke sekolah dengan di temani seorang mamak salah satu anggota paguyuban. "Orangnya datang pukul 12 siang, kalau bisa Mamak datang sebelumnya ya," ujar Aisyah sembari menata hasil kerajinan tangan ibu-ibu kampung. Hari ini akan ada pembeli yang ingin melihat hasil dari produk buatan ibu-ibu paguyuban yang di bentuk Aisyah. Sang pembeli hendak memesan banyak untuk sebuah acara. "Siap Ibu guru cantik," ucap wanita berkulit gelap itu. "Nanti Mamak datang sebelum anak-anak pulang sekolah," tambahnya ikut merapikan ruangan agar terlihat rapi. Aisyah dan Mamak Nancy menyapu dan mengeluarkan barang-barang yang tidak penting agar ruangan kecil itu terlihat lebih luas. "Mamak, tolong bantu aku angkat meja ini keluar," pinta Aisyah. Dengan susah payah akhirnya ruangan itu terlihat lebih rapi dan luas. Ruangan yang mereka gunakan saat ini adalah gudang sekolah yang awalnya hanya di gunakan untuk menyimpan bangku rusak. Dan atas izin kepala sekolah Aisyah m
"Siapa yang menampar kamu?" Aisyah menoleh, melihat Andaru menatapnya tajam membuatnya gugup "Bukan siapa-siapa, Mamak Nancy hanya bercanda." "Tidak, Mamak tidak bercanda," ucap Nancy tegas. "Kita tidak mau mendapatkan uang dari orang yang sudah menyakiti Ibu cantik." "Mamak, nanti aku ceritakan. Sekarang Mamak kembali dulu ya! Jangan cerita apa-apa ke yang lain, ok?" Nancy mengangguk lalu berjalan meninggalkan Aisyah dan Andaru. "Sekarang jelaskan!" pinta Andaru. "Gak ada yang perlu di jelaskan. Mamak Nancy salah faham." Aisyah menggandeng Andaru. "Sudah tidak perlu di pikirkan! Aku capek banget, perut aku juga lapar." Andaru menarik tangan kanannya yang digandeng oleh Aisyah. "Kenapa dilepas?" tanya Aisyah menatap Andaru bingung. "Kenapa tidak bilang kalau Mama menamparmu?" Tatapan Andaru berubah serius. Aisyah menghela nafas panjang, "Aku hanya tidak mau mengganggumu dengan masalah yang tidak penting." "Tidak penting?? Apa masalahmu dengan ayahmu juga tidak penting?" "M
Sebuah pesan masuk di ponsel Haidar, seketika raut wajah pria itu terlihat lega. "Dia di rumah sakit, di kota," beritahunya dengan suara lantang lalu kembali sibuk dengan ponselnya. "Maksud kamu siapa, Aisyah?" Andaru menoleh pada pria yang berdiri tidak jauh darinya."Hemm,," gumam Haidar sambil membaca pesan di ponselnya. "Apa dia sakit? Kamu tahu dari mana?" Andaru berdiri wajahnya semakin pucat karena khawatir. "Aisyah mengirim pesan." Haidar menunjukkan layar ponselnya sebentar lalu kembali mengetik balasan pesan di ponselnya. "Katanya dia di rumah sakit. Tadi sore Aisyah melihat Cristy terjatuh dari pohon dan mengalami pendarahan. Dengan bantuan dokter Hasan, Aisyah membawa Cristy ke rumah sakit," sambungnya dengan pandangan masih fokus pada layar ponselnya. Andaru segera memeriksa ponselnya, mungkin saja Aisyah juga mengiriminya pesan. Wajah Andaru berubah masam, tak ada satupun pesan masuk dari Aisyah.Meski merasa lega namun ada rasa kecewa di hatinya. Jangankan membalas
Setelah pertengkaran malam itu Aisyah dan Andaru sepakat untuk saling introspeksi diri. Dua minggu sudah berlalu tapi tidak ada yang mau mengalah untuk menghubungi lebih dulu. Dua-duanya tetap dengan keras kepalanya. Baik Aisyah maupun Andaru kekeh tidak mau mengakui salah. Mereka mengklaim memiliki alasan untuk sikap dan tindakannya. Aisyah merasa seharusnya Andaru bertanya dan tidak memendam prasangka buruk padanya sehingga membuat hubungan mereka memanas. Sedangkan Andaru kekeh menyalahkan Aisyah mengapa tidak bisa jujur dari awal tentang hubungannya dengan sang ayah yang menjadi titik awal masalah mereka. "Sudah selesai?" Suara Haidar membuyarkan lamunan Aisyah. "Ayo pulang!" ajaknya sambil. berdiri di depan pintu kelas. "Hemm,,," Aisyah beranjak dari kursinya, membereskan buku-bukunya lantas berjalan keluar kelas. "Satu bulan lagi tugas kita berakhir," ujar Haidar dengan pandangan sekitar sekolah saat mereka berjalan beriringan. "Rasanya baru kemarin kita sampai di desa ini
"Apa mau kamu?" tantang Anggada. "Saya hanya ingin memastikan keselamatan saya dan keluarga saya," jawab Aisyah berusaha setenang mungkin meski sebenarnya hati dan pikirannya sudah tidak bisa di gambarkan betapa takut dan paniknya. "Jauhi Andaru! Maka akan saya jamin keselamatanmu dan keluarga kamu. Tapi jika kamu melawan saya, hukumannya akan sangat menakutkan." Suara Anggada pelan namun dengan nada ancaman yang membuat orang mendengarnya bergedik ngeri. Aisyah memaksa untuk tersenyum, "Jika Andaru yang mendekati saya, apa Anda juga akan menghukum saya? Rasnya sangat tidak adil berada di posisi saya.""Baik, jika cucu saya yang mendekati kamu, aku akan menghukumnya tapi jika kamu yang mendekatinya atau sekedar mengirim pesan padanya maka bersiaplah untuk mendapatkan hukuman yang pasti akan kamu sesali seumur hidupmu." Anggada tersenyum sinis. "Boleh saya koreksi pernyataannya?" ucap Aisyah yang membuat Anggada mengangkat satu alisnya. Apa sebenarnya mau wanita muda ini? pikir An