Aku berjalan menyusulnya ke kamar. Nampak suamiku sedang terduduk ditepian tempat tidur seraya membuka kaos kaki yang dikenakannya."Hubby, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku penasaran seraya duduk bersisian dengannya.Laki-laki yang sudah membuatku jatuh cinta ini menatap wajahku lekat. Kedua netra kami saling bertemu, namun tidak terucap sepatah kata pun."Aku baik-baik saja, Hubby. Tubuhku terasa lelah setelah melalui perjalanan panjang. Sebaiknya aku mandi dulu supaya lebih segar!" ucapnya seraya beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.Aku masih menatapnya heran, hingga sosoknya menghilang dibalik pintu kamar mandi. Ada perasaan curiga, karena saat beliau berangkat sikapnya begitu hangat. Naluriku mengatakan ada yang beliau sembunyikan. Aku harus mencari tahu, apa yang membuat sikap suamiku berubah drastis seperti itu?Aku meraih koper yang tergeletak di pojokan kamar. Perlahan membukanya dan memisahkan pakaian bersih dan yang kotor. Memeriksa barang-barang yang
“Kamu kenapa, By?” tanya Mas Azam heran melihatku yang sedang melamun.“Eng-gak apa-apa. Aku cuma lagi liatain cuaca di luar, kok udah mendung ya. Sebaiknya kita pulang sekarang, biar sampai di rumah enggak kemalaman,” jawabku berbohong.Aku tidak ingin Mas Azam curiga kalau aku sedang mengawasi sikap Mbak Nisa yang sedikit aneh.“Ayo, kalau mau pulang sekarang. Adeeva juga kelihatannya sudah mengantuk itu!” ucap Mas Azam sembari menunjuk ke arah Adeeva yang sedang menguap di atas sofa.Kami segera berpamitan kepada Mas Akbar dan Mbak Nisa. Ketika kami sudah berada di dalam mobil, Mbak Nisa terlihat melambaikan tangan seraya tersenyum genit. Entah kepada siapa dia memberikan senyum itu. Apa mungkin kepada suamiku?Mobil yang dikendarai Mas Azam segera meluncur meninggalkan rumah Mas Akbar. Di sepanjang perjalanan, aku masih memikirkan sikap Mbak Nisa yang sedikit berbeda kepada Mas Azam. Dari cara menatap dan melambaikan tangan, serta senyumnya yang terkesan genit. Padahal sebelumnya,
"Darimana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Mas Azam dengan wajah tidak bersahabat.Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya dengan takzim, tetapi Mas Azam membuang pandangannya. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Rupanya beliau sedikit marah, karena aku pulang terlambat hari ini."Maaf, By. Mobilku tadi mogok, jadi terpaksa diperbaiki dulu. Sementara ponselku kehabisan daya," ucapku berhati-hati, tidak ingin semakin membuatnya marah."Memangnya tidak ada teman yang bisa kamu pinjam ponselnya untuk mengabari?" tanya Mas Azam dengan tatapan menyelidik."Aku tadi mencoba beberapa kali menghubungimu, tetapi tidak ada jawaban!" jawabku jujur."Nomor siapa itu?" tanya Mas Azam.Aku terdiam mendapatkan pertanyaan itu, karena Mas Azam sedikit cemburu dengan Pak Askara. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya saat mengatakan nomor yang digunakan untuk menghubunginya dan yang membantu memanggil orang bengkel juga Pak Askara."Kenapa diam?" tanya Mas Azam, masih dengan
Aku terkejut setelah membaca isi pesan yang berisi ancaman dari nomor tak dikenal tersebut. Namun aku tidak menghiraukannya. Mungkin saja ada orang yang salah kirim pesan, atau kemungkinan lainnya. Tidak mau kebahagiaanku terganggu hanya karena pesan tidak jelas itu.Setelah mengecup punggung tangan Mas Azam, aku pun segera berpamitan untuk berangkat bekerja. Namun di sepanjang perjalanan, aku kembali teringat dengan isi pesan dari nomor tidak dikenal itu.Aku merasa tidak pernah merebut milik orang lain, yang ada malah kebalikannya. "Apakah nomornya sama dengan nomor tak dikenal yang mengirim photo ke Mas Azam?" Tanyaku dalam hati.Setibanya di kantor, aku disibukkan oleh pekerjaan sehingga melupakan si pengirim pesan misterus tersebut. Hingga tak terasa jam istirahat tiba. Ponselku kembali berbunyi menandakan ada pesan di aplikasi berlogo hijau."Kamu tidak takut karma? tunggu kedatangannya, kamu pasti akan menjadi abu!" isi pesan berisi ancaman kembali berasal dari nomor yang sama.
Salah satu suster itu keluar dari ruang perawatanku. Tak lama kemudian kembali dengan membawa sebuah kursi roda. Mereka membantu aku untuk menaikinya. Setelah berada di atas kursi roda, salah satu dari perawat mendorongnya. Berjalan melewati beberapa ruang perawatan menuju lorong rumah sakit. Tepat di ujung ruangan rumah sakit, tibalah kami di depan pintu sebuah ruangan yang bertuliskan ruang jenazah. Jantung berdebar hebat serta lututku terasa lemas. Aku belum siap menerima kenyataan harus kehilangan salah satu anggota keluargaku. Salah satu perawat membuka pintu dan seketika udara dingin menyeruak menusuk kulit. Tercium juga bau kimia yang sangat menusuk hidung.Tubuhku gemetar, melihat beberapa jasad yang terbujur kaku tertutup kain berwarna putih. Perawat membawaku ke salah satu jasad yang juga tertutup kain berwarna putih."Ibu sudah siap melihat salah satu anggota keluarga Ibu yang telah berpulang?" tanya salah satu perawat dengan tatapan sendu.Aku hanya menjawab dengan anggukk
Aku terdiam mendengar pertanyaan Pak Askara. Musuh? Aku merasa tidak punya musuh. Satu-satunya orang yang menganggap musuh mungkin Mas Adnan, karena dia tidak menerima keputusan perceraian, ditambah kini aku sudah menikah lagi."Apa mungkin Mas Adnan mantan suami saya yang melakukan ini semua, Pak?" Aku malah balik bertanya kepada laki-laki yang semakin terlihat gagah sat memakai seragam kebesarannya."Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Bu Aisha. Akan tetapi, perlu bukti untuk membuktikan itu semua. Apakah selain mantan suami, adakah yang dicurigai, Bu Aisha?" tanya Pak Askara lagi.Mas Akbar menoleh ke arahku. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu, namun terlihat sungkan dengan kehadiran Pak Askara. Aku jadi teringat dengan peneror tempo hari, yang mengirimkan pesan berupa ancaman. Begitupun dengan pengirim photo ke nomornya Mas Azam."Pak Askara, sebenarnya beberapa minggu terakhir ini saya dan suami pernah mendapatkan teror dan kiriman photo dari seseorang yang tidak dikenal.”P
Aku terkejut mendapatkan kembali pesan ancaman dari nomor yang tidak dikenal. Pasti pengirimnya masih sama dengan peneror sebelumnya. Aku merasa heran, darimana dia tahu nomor kontak yang baru? Padahal seingatku, nomor kontak baru hanya diberikan kepada teman dekat dikantor, atasan dan keluarga. Selebihnya tidak ada.Aku segera mengirimkan screen shoot pesan beserta nomor kontak peneror itu ke Pas Askara. Pesan berlogo hijau itu sudah terkirim, tetapi belum terbaca oleh Pak Askara.Aku menantikan pesan balasan darinya, akan tetapi hingga setengaj jam lamanya menunggu tidak kunjung ada. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Rasa cemas dan takut kembali menghampiriku. Tak lama berselang, Mas Azam masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya menonton televisi di ruang keluarga.“Hubby, kamu kenapa? Kok wajahmu tegang begitu?” tanya suamiku heran.“Peneror itu kembali mengirimkan pesan ancaman, By. Aku takut!” jawabku seraya terisak.Mas Azam menghampiri dan merengkuhku dalam p
Pak Askara memberikan informasi jika dia berhasil melakukan investigasi di bengkel tempat Mas Azam membawa mobilnya sebelum keberangkatan ke Bali. Melalui rekaman CCTV, diketahui bahwa memang ada seseorang yang masuk ke dalam mobil Mas Azam saat sedang berada di bengkel. Seorang pria yang mengenakan topi serta masker di wajahnya. Namun tetapi orang itu dipastikan bukan karyawan, karena semua penghuni bengkel tidak ada yang mengenalinya. Aku sedikit kecewa mendengarnya, karena itu artinya belum diketahu dengan pasti siapa peneror yang sebenarnya. “Pak Askara, bagaimana dengan nomor ponsel peneror yang kemarin saya kirimkan?” tanyaku tidak sabar.“Setelah dilakukan penelusuran, ternyata peneror itu menggunakan identitas palsu untuk mendaftar kartu SIM di ponselnya.” Pak Askara menjawab pertanyaanku dengan menatap ke arah kami berdua secara bergantian.“Bukannya pendaftaran kartu SIM pada ponsel itu harus dengan identitas yang valid ya, Pak? Lalu bagaimana bisa peneror itu menggunakan id