"Lalu, nenek macam apa kalau membunuh cucunya sendiri? Coba lah ibu berpikir jernih! Ini masalah kemanusiaan. Oke lah kalau ibu tidak setuju dengan pernikahan kami, tapi tidak perlu sampai membunuh calon anakku," jawab Roy."Ini sebenarnya ada apa?" tanya Pak Toni yang seakan bingung dengan keadaan yang sebenarnya. "Ibu telah memberikan racun pada Reva, Yah. Dan Reva sudah keguguran," jelas Roy."Apakah itu benar, Bu?" tanya Pak Toni langsung menatap bu Wendah. "Mana ada pelaku yang mengaku. Kalau iya penjara akan penuh," sahut Roy masih penuh amarah."Diam kamu, Roy! Kamu tak tahu apa-apa. Kamu hanya dibutakan oleh cinta dari perempuan janda itu," sahut Bu Wendah. Roy menggelengkan kepalanya. Ia tak menyangka Ibunya setega itu. "Aku benar-benar kecewa sama ibu. Aku tak menyangka kalau Ibu bisa sejahat itu.""Ibu, kenapa sampai sejauh itu? Apakah ibu tak memikirkan kalau anak yang dikandung Reva itu tidaklah berdosa," ujar Pak Toni. Meskipun ia tak menyukai Reva tetapi ia masih mem
"Apa kata ayah tadi, Roy?" tanya Reva saat Roy sudah kembali ke kamar."Ayah merestui kita. Setidaknya Ayah menerima pernikahan kita. Dan aku sudah meminta pada Ayah untuk menjaga ibu agar tidak sampai melukai kamu lagi. Dan aku juga berjanji akan melindungi kamu, Reva," jelas Roy. Reva tersenyum tipis. Akhirnya setelah cukup lama akhirnya ia mendapatkan restu dari ayahnya Roy. Meskipun ibu mertuanya masih belum memberikan restu. "Besok kita jadi pulang, 'kan?" tanya Reva."Iya, apa menunggu kondisi kamu stabil dulu? Kan perjalanan kita cukup jauh, Reva. Aku khawatir nanti jalanan yang nggak terlalu stabil justru membuat kamu sakit lagi." Roy masih mengkhawatirkan kondisi Reva."Tidak. Aku sudah yakin kalau aku sudah kuat kok," jawab Reva.Keesokan harinya Roy sesuai janjinya akan mengantarkan Reva ke rumah ibunya di desa. Setelah melakukan perjalanan cukup panjang akhirnya Reva sampai juga di rumah Bu Ningsih, ibu kandungnya. "Reva, kamu pulang tidak kasih kabar ibu?" tanya Bu Ning
Roy yang merasa dirinya bersalah juga siap menerima perkataan ibu mertuanya itu. "Maafkan saya, Pak, Bu. Tapi memang saya tidak bisa menjaga Reva kemarin. Maka dari itu saya membawa Reva kemari agar Reva merasa tenang dan juga pulih dari kuretase kemarin.""Bagus kamu bawa Reva ke sini. Dan dia tak perlu lagi pulang ke rumah kamu. Karena di sana tak aman. Dia aman di sini sama kami orang tuanya. Kamu suami yang tak berguna," hina Bu Ningsih. Roy menghela napas. Bukan itu maksud dia membawa Reva pulang. Tetapi ia ingin menenangkan Reva. "Maaf, Bu. Tapi saya dan Reva saling mencintai.""Makan tuh cinta! Reva bisa kurus kalau hidup sama kamu. Dia menderita kalau hidup sama kamu dan dekat sama keluarga mu. Jangan harap Reva akan pulang ke rumah kamu," jawab Bu Ningsih kemudian manarik tangan Reva untuk masuk ke dalam rumah.Pak Haris menyusul ke dalam rumah sementara Roy masih terdiam di depan rumah. Ia memandang suasana pedesaan yang cukup kental. Apalagi suara jangkrik dan juga binatang
Agak siang harinya Roy pamit pulang untuk sementara waktu Reva dititipkan di rumah orang tuanya. Reva mengantarkan Roy sampai ke depan rumah nya begitu juga dengan Pak Haris. Tetapi tidak dengan Bu Ningsih yang memilih tidak ingin melepaskan kepergian menantunya itu. Ia merasa kesal saja dengan Roy yang menjadi suami untuk anaknya tetapi tidak bisa menjaga Reva.Roy akhirnya pulang tanpa Reva. Meskipun sebenarnya berat meninggalkan Reva di sana. Tetapi ia juga tetap harus bekerja. Dan Reva juga butuh ketenangan. Tak masalah kalau hanya beberapa hari saja. Mungkin tak sampai satu bulan lamanya sampai kondisi Reva benar-benar pulih dan siap untuk kembali.Reva kembali duduk di rumahnya. Perutnya memang masih agak nyeri kalau dibuat berjalan. Ayahnya kemudian menghampiri Reva. "Rev, sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu bisa keguguran kemarin?" tanya Pak Haris."Sebenarnya kemarin kami sedang mengadakan acara tiga bulanan. Dan ibunya Roy juga hadir di sana dan menginap sehari sebelum
"Reva, kamu Reva, 'kan?" tanya seseorang dengan suara yang cukup fakiliar hanya saja Reva sudah cukup lama tidak bertemu dengannya."Kamu Toni, 'kan?" balas Reva.Sosok lelaki yang dimaksud tersebut adalah memang Toni. Toni adalah teman lama Reva saat duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan mereka sempat dekat. Hanya saja tidak pernah jadian karena Toni merasa minder. "Iya, aku Toni. Kamu apa kabar?" tanya Toni.Bu Ningsih sedang membeli ikan dan ayam sedangkan Reva menepi untuk berbincang dengan Toni."Kabarku baik. Kamu bagaimana?" balas Reva."Aku juga baik. Aku dengar kamu di kota setelah lulus SMA dan setelah itu kita nggak pernah lagi bertemu," jawab Toni."Kamu sudah menikah?" tanya Reva."Belum. Aku belum menikah. Kamu pasti sudah menikah, ya?" terka Toni.Reva mengangguk. "Iya." "Selamat, ya? Aku nggak pernah tahu soalnya tentang kamu. Tapi kamu sehat-sehat aja, 'kan?" tanya Toni. "Iya.""Oh ya, boleh kasih tahu nomor telepon kamu tidak? Nanti kapan-kapan aku mau berku
"Kamu mau makan?" tanya Pak Haris melihat Toni yang seperti orang bingung ada di depan rumahnya. "Tidak, Pak. Saya mau bertemu dengan Reva. Revanya ada, Pak?" balas Toni.Pak Haris memperhatikan sosok Toni dari atas sampai bawah. Kalau dilihat dia mengenal Toni tapi lupa siapa tepatnya. "Mau cari Reva untuk apa?" "Tadi saya nggak sengaja bertemu Reva di pasar. Dan saya cuma mau bertemu Reva, Pak," jawab Toni dengan sopan.Pak Haris seperti ingat dengan Toni. "Tunggu, apakah kamu anaknya Bu Sumi?""Iya, Pak. Saya anaknya Bu Sumi," jawab Toni.Karena mendengar percakapan orang di luar, Reva yang penasaran akhirnya melihat kalau ayahnya sedang berbincang dengan Toni. "Oh, kamu Ton. Masuk!" "Eh, lelaki siapa ini kamu ajak masuk saja, Rev? Kamu itu perempuan yang memiliki suami. Jangan menganggap dirimu janda! Mau ditaruh mana muka ibumu ini?" sahut Bu Ningsih yang tiba-tiba menarik tangan Toni."Maaf, Bu. Saya Toni. Teman lamanya Reva," ujar Toni lalu mengecup punggung tangan Reva.Bu
"Oh, aku di sini soalnya ketemu sama teman lama. Nggak dengar kalau kamu telepon. Nih kenalin dia Toni," jawab Reva dengan menunjuk ke arah Toni.Dengan senang hati Toni mengulurkan tangannya pada Roy kemudian Roy dengan wajah datar menatap Toni dengan tataoan penuh curiga. "Roy," ujar Roy.Roy dan Toni saling berjabat tangan tetapi hanya sebentar karena Roy masih menyimpan banyak pertanyaan yang akan ditanyakan pada Reva setelah ini. "Kita balik hari ini, ya?" ucap Roy menatap wajah Reva.Reva menoleh. "Hari ini?" "Iya, katanya kamu sudah lebih baik dan ikut ibu ke pasar tadi pagi. Aku kira kamu sudah bisa kembali ke rumah kita," jawab Roy.Toni yang merasa menjadi obat nyamuk lantas memilih untuk pamit. "Rev, aku pulang dulu, ya?""Eh, kok buru-buru?" tanya Reva."Iya, kan suami kamu sudah pulang. Jadi aku pamit," jawab Toni kemudian undur diri dari hadapan Reva dan Toni. Meskipun sebenarnya ia masih ingin berada di sana. Tetapi ia sadar diri kalau suaminya Reva terlihat jauh dari
Keesokan harinya, Reva sudah bersiap pulang. Meskipun sudah merasa nyaman di desa membuat dirinya agak malas untuk kembali."Apa kamu keberatan aku ajak pulang?" tanya Roy. Ia merasa kalau Reva enggan kembali dari sikapnya."Enggak, aku enak saja di sini," jawab Reva tanpa menatap Roy dan sedang mengangkat tas ransel miliknya. "Apa karena Toni?" terka Roy."Apa sih kamu? Kan dia itu temanku saat SMA. Kenapa tak boleh bertemu?" balas Reva dengan sinis. Ia merasa sedang dicemburui tak jelas.Roy menghela napas. "Aku hanya cemburu. Apalagi kamu berdua saja duduk di depan rumah. Siapa yang nggak cemburu? Suami datang justru disambut dengan kamu berduaan sama Toni," jawabnya. Reva menatap Roy. Ia merasa bingung sama Roy. Hanya bertemu dengan Toni sudah dipermasalahkan. Apalagi yang ibunya Roy memperkenalkan Dewi sebagai calon istri Roy secara terang-terangan. "Lalu kamu mau apa? Padahal aku juga cuma ngobrol. Aku sama Toni juga nggak ada apa-apa. Cuma sekedar teman saja."Roy melihat kal