“Nggak mau di salahkan, tapi kelakuan aja begitu,” timpal Rosa. Karena kejadian semalam, Rosa menjadi semakin membenci kakak iparnya ini. Kalau bukan karena hartanya, ingin sekali Rosa menjambak rambut panjangnya. “Udah Dila, nggak perlu kamu masukin ke hati kata-kata mertua dan ipar kamu. Kamu nurut aja,” ucap Afifah. Ardila menghiraukan Afifah, “Mau Ibu itu apa, sih? Ibu masuk ke sini juga karena kecerobohan sendiri, tapi aku bersedia beri Ibu kompetensi yang lebih dari cukup.” “Kalau Ibu gak suka aku, kenapa gak suruh Mas Firman ceraikan aku!” lanjut Ardila geram. Hening, Ibu Ningsih atau Rosa tidak berani menyahut. Sedangkan Afifah dan Dirjo terlihat panik. Afifah menatap Ningsih dengan tajam, “Kamu ini Ningsih, jangan keras-keras sama menantu sendiri.” Ningsih tidak bersuara, kalau anaknya bercerai dengan Ardila sekarang. Mereka akan kembali seperti dulu, serba kekurangan. “Sudahlah, Bu. Bingung aku sama kalian,” ucap Ardila seraya berlalu keluar ruangan. Afifa
Ardila pulang ke rumah, ia tidak lagi singgah ke rumah sakit. Juga tidak mau lagi mendengar omongan memuakkan ibu mertuanya. Saat membuka pintu, Ardila di sambut oleh Firman yang tersenyum cerah. “Tadi ke mana? Kata bibi Afifah kamu keluar gara-gara perkataan ibu,” seru Firman seraya mengikuti langkah Ardila. “Aku bingung sama ibu kamu Mas, aku ada salah apa sampai dia nggak sesuka itu sama aku,” adu Ardila dengan cemberut. “Maafin ibu ya, Dil. Ibu itu dulu ke pengin banget kerja kantoran, tapi nggak pernah kecapaian. Mungkin karena itu ibu sedikit gak suka sama kamu,” jelas Firman dengan lembut. Ardila menghela napas panjang, “Kamu tegur ibu ya, Mas. Aku masih mau ngehargain dia sebagai ibu kamu.” Firman mengangguk, “Sana mandi, habis itu kita makan malam bareng.” Setelah Firman keluar kamar, Ardila berlalu ke kamar mandi. Ia perlu merilekskan pikirannya yang bercabang. Saat tiba di meja makan, Ardila melihat Firman dan Sinta dengan bercengkrama. Sesekali bersenda g
Ketukan di balik pintu menyadarkan Ardila dari dunia kerjanya. Ia menatap asisten Ryan masuk setelah di izinkan. “Ini sudah jam makan siang, Bu, apa Bu Ardila nggak makan siang atau mau saya bawakan ke sini?” Ardila melirik arlojinya, ia benar-benar lupa waktunya. Perutnya juga sudah keroncongan, Ardila bangkit dari duduknya. “Temani saya makan di luar Asisten Ryan.” Ryan mengangguk, mengikuti Ardila dari belakang. “Baik, Bu.” Ardila menghentikan langkahnya, begitu pun Ryan ikut menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik, Ardila berucap, “Ke sisi saya Asisten Ryan, bukan di belakang. Ini perintah!” Mendengar suara tegas dari atasannya, Ryan melangkahkan kaki ke sisi Ardila. Ryan mengendarai mobil Ardila juga karena perintah, ia sangat tidak bisa menolak perintah atasannya. Apapun yang di ucapkan, harus ia lakukan. Karena dulu Ardila menyelamatkan nyawa Ryan, ia sempat hampir mati tenggelam jika tidak ada Ardila yang menyelamatkannya, tidak ada Ryan yang sekarang. Ja
“Sudah kubilang, aku nggak ingin mengurusi orang lain. Lagi pula, kamu masih terlalu muda untuk membahas tentang pacaran.” Ningsih menatap Ardila kesal, “Nggak seharusnya kamu bicara begitu pada Rosa, apa jangan-jangan kamu ada sesuatu sama pria itu sehingga nggak mau membantu adik iparmu sendiri.” Ardila menghela napas jengah, “Aku sudah selesai, aku akan istirahat.” “Ardila! Nggak punya sopan santun kamu, ya! Orang tua lagi bicara malah di tinggal pergi!” teriak Ningsih marah. “Jangan-jangan benar lagi apa yang Ibu katakan, Mas,” timpal Sinta. “Bisa masuk rumah sakit terus kalau Ibu punya menantu seperti dia,” ucap Ningsih dengan geram. “Sabar ya, Bu, mendidik istri yang pembangkang memang harus ekstra sabar,” sahut Sinta seraya mendekati Ningsih, mengusap bahu ibu mertuanya mencari simpati. “Cuma kamu Sinta yang menjadi menantu kesayangan Ibu,” Sinta tersenyum lebar mendengar perkataan ibu mertuanya. Perhatian Ningsih beralih pada Firman yang sedari tadi diam, “Kamu ini gim
Perusahaan Loka ternyata di bawah pimpinan Arman Satyaloka, pantas saja Ardila merasa seperti tidak asing dengan namanya. Di sinilah mereka sekarang, di sebuah restoran untuk membahas kerja sama kedua perusahaan tersebut. Usai dengan pembahasan bisnis, para asisten mengundurkan diri. Menyisakan Ardila dan Arman untuk menikmati makan siangnya. “Aku baru tahu, kamu pemimpin perusahaannya,” seru Arman. “Kamu nggak berpikiran suamiku yang memimpinnya kan,” kekeh Ardila.“Tadinya, iya. Kupikir kamu menikahinya karena uang. Tapi ternyata kamu lebih kaya,” balas Arman. Ardila diam, pasti Arman tahu tentang hubungan rumah tangganya, tidak mungkin Naya diam saja. “Naya nggak mungkin, nggak cerita kan.” Arman mengangguk paham, “Bahagianya anak, bahagianya orang tua juga. Jadi, nggak harus bertahan untuk sebuah tulisan.” Tiba di kantor pun, Ardila masih memikirkan perkataan Arman. Ada benarnya, tapi Ardila sudah terlanjur tercebur ke kubang lumpur, mau tidak mau ia harus bertahan.Ketukan
“Nggak perlu ke rumah sakit, aku akan panggil dokter keluarga yang di percaya saja.” Firman setuju saja, yang penting Sinta di periksa oleh ahlinya. Berbeda dengan Ningsih yang merenggut tak suka, ia jadi tidak dapat uang.“Kalau mereka nggak jadi, Ibu harus jadi. Karena Ibu sudah bilang sama Bu Tuti untuk ikut arisannya,” sungut Ningsih. “Ibu bisa minta sama anak Ibu,” sahut Ardila, ia sudah selesai dengan sarapannya. “Kamu tahu sendiri Firman lagi nggak pegang uang, lagi pula uang 20 juta tuh sedikit bagi kamu Ardila.”Ardila bersiap pergi, “Kalau tahu Mas Firman nggak pegang uang, Ibu nggak usah bertingkah macam-macam. Ibu pikir nyari uang gampang.” Ningsih meletakkan alat makannya kasar, ia menatap punggung Ardila yang semakin menjauh dengan sengit. Dadanya naik turun menahan amarah.“Pelit banget sama orang tua! Di mintai uang sedikit saja nggak mau!” ketus Ningsih. “Udahlah, Bu. Kenapa sih, nyari masalah terus sama Ardila. Lagian Ibu ngapain juga ikut-ikutan aris–”Perkataa
“Perhitungan banget kamu jadi orang! Tamu Ibu, tamu kamu juga. Jangan berlagak jadi nyonya di rumah ini!”“Nggak nyangka ya, Bu, ternyata kelakuan menantu kedua Bu Ningsih seperti ini,” timpal bu Tuti dengan wajah sinisnya, di angguki yang lain. “Ibu yang ngundang mereka, kenapa harus aku yang repot. Sebelum mereka datang, kan Ibu sama Rosa bisa masak dulu biar ada hidangan. Bahan di dapur juga banyak, pasti cukup untuk semuanya.” “Jangan seenaknya harus apa-apa pakai uangku, sejak awal nikah Mas Firman itu nggak pernah kasih uang nafkah. Aku diam saja karena tahu kondisi … Ibu malah tampil hedon nggak tahu keadaan sama sekali,” lanjut Ardila seraya berlalu pergi. Ningsih mengepalkan jemarinya kuat, tidak pernah ia di buat malu seperti ini. Sedangkan ibu-ibu yang lain menatap Ningsih dengan berbagai ekspresi.“Maaf ya, tante-tante, Ardila itu masih nggak terima jadi istri kedua Mas Firman. Makanya nggak pernah mau bagi uangnya walaupun sedikit, katanya kecuali … Mas Firman mau menc
Ardila kembali saat menjelang sore, ia tidak peduli ada beberapa pasang mata yang menatapnya masam. “Kamu dari mana saja, Dila? Mas telepon juga nggak aktif,” seru Firman setelah melihat Ardila pulang. “Ke mana saja Mas, yang penting nggak di rumah,” sahutnya. “Emang nggak punya sopan santun,” desis Ningsih. “Mas mau bicara, duduk dulu, Dila.” Mau tidak mau, Ardila menurut. Ia duduk dengan patuh, “Kenapa Mas?” Firman menghembuskan napasnya sebelum berbicara, “Katanya kamu mempermalukan Ibu waktu acara arisan di sini, ya?” Ardila mengernyitkan dahi dalam, “Mempermalukan gimana maksudnya?” “Ngatain Ibu miskin, nggak punya uang dan minta-minta sama menantu.” Ardila melirik Ningsih yang tersenyum sinis ke arahnya, kemudian melirik Firman dengan datar. “Kamu percaya, Mas?” Firman terdiam sesaat, “Mas nggak tahu Dil, karena kamu memang orang baru di hidup, Mas.” Sudut bibir Ardila berkedut samar, ia kesal dan marah. Kenapa harus memiliki keluarga yang seperti ini