“Nggak perlu ke rumah sakit, aku akan panggil dokter keluarga yang di percaya saja.” Firman setuju saja, yang penting Sinta di periksa oleh ahlinya. Berbeda dengan Ningsih yang merenggut tak suka, ia jadi tidak dapat uang.“Kalau mereka nggak jadi, Ibu harus jadi. Karena Ibu sudah bilang sama Bu Tuti untuk ikut arisannya,” sungut Ningsih. “Ibu bisa minta sama anak Ibu,” sahut Ardila, ia sudah selesai dengan sarapannya. “Kamu tahu sendiri Firman lagi nggak pegang uang, lagi pula uang 20 juta tuh sedikit bagi kamu Ardila.”Ardila bersiap pergi, “Kalau tahu Mas Firman nggak pegang uang, Ibu nggak usah bertingkah macam-macam. Ibu pikir nyari uang gampang.” Ningsih meletakkan alat makannya kasar, ia menatap punggung Ardila yang semakin menjauh dengan sengit. Dadanya naik turun menahan amarah.“Pelit banget sama orang tua! Di mintai uang sedikit saja nggak mau!” ketus Ningsih. “Udahlah, Bu. Kenapa sih, nyari masalah terus sama Ardila. Lagian Ibu ngapain juga ikut-ikutan aris–”Perkataa
“Perhitungan banget kamu jadi orang! Tamu Ibu, tamu kamu juga. Jangan berlagak jadi nyonya di rumah ini!”“Nggak nyangka ya, Bu, ternyata kelakuan menantu kedua Bu Ningsih seperti ini,” timpal bu Tuti dengan wajah sinisnya, di angguki yang lain. “Ibu yang ngundang mereka, kenapa harus aku yang repot. Sebelum mereka datang, kan Ibu sama Rosa bisa masak dulu biar ada hidangan. Bahan di dapur juga banyak, pasti cukup untuk semuanya.” “Jangan seenaknya harus apa-apa pakai uangku, sejak awal nikah Mas Firman itu nggak pernah kasih uang nafkah. Aku diam saja karena tahu kondisi … Ibu malah tampil hedon nggak tahu keadaan sama sekali,” lanjut Ardila seraya berlalu pergi. Ningsih mengepalkan jemarinya kuat, tidak pernah ia di buat malu seperti ini. Sedangkan ibu-ibu yang lain menatap Ningsih dengan berbagai ekspresi.“Maaf ya, tante-tante, Ardila itu masih nggak terima jadi istri kedua Mas Firman. Makanya nggak pernah mau bagi uangnya walaupun sedikit, katanya kecuali … Mas Firman mau menc
Ardila kembali saat menjelang sore, ia tidak peduli ada beberapa pasang mata yang menatapnya masam. “Kamu dari mana saja, Dila? Mas telepon juga nggak aktif,” seru Firman setelah melihat Ardila pulang. “Ke mana saja Mas, yang penting nggak di rumah,” sahutnya. “Emang nggak punya sopan santun,” desis Ningsih. “Mas mau bicara, duduk dulu, Dila.” Mau tidak mau, Ardila menurut. Ia duduk dengan patuh, “Kenapa Mas?” Firman menghembuskan napasnya sebelum berbicara, “Katanya kamu mempermalukan Ibu waktu acara arisan di sini, ya?” Ardila mengernyitkan dahi dalam, “Mempermalukan gimana maksudnya?” “Ngatain Ibu miskin, nggak punya uang dan minta-minta sama menantu.” Ardila melirik Ningsih yang tersenyum sinis ke arahnya, kemudian melirik Firman dengan datar. “Kamu percaya, Mas?” Firman terdiam sesaat, “Mas nggak tahu Dil, karena kamu memang orang baru di hidup, Mas.” Sudut bibir Ardila berkedut samar, ia kesal dan marah. Kenapa harus memiliki keluarga yang seperti ini
Ardila sudah banyak memesan makanan, ia tata dengan rapi di atas meja. Menghiraukan tatapan keempat orang yang masih sibuk mengurusi rumah. “Dil, kita boleh makan dulu nggak, baru nanti lanjut beresin rumahnya,” bujuk Firman karena perutnya sudah terasa lapar. “Ibu juga lapar, dari tadi siang belum makan,” timpal Ningsih menatap lapar makanan yang terhidang di atas meja. “Aku lapar Mas,” rengek Sinta. Ardila terdiam sejenak, “Cuma Sinta yang boleh,” ucapnya. Walaupun ia merasa kesal dengan Sinta, tapi janin yang sedang di kandungnya tidak bersalah. Sinta bergegas mencuci tangan, lalu duduk di kursi untuk menyantap makanannya. Perutnya benar-benar terasa lapar. Karena tidak mendapat respon dari Ardila, Firman, Ningsih serta Rosa akhirnya kembali membersihkan rumah. Setengah jam berlalu, mereka duduk dengan napas ngos-ngosan. “Keterlaluan kamu Dila, Ibu udah tua masih juga di suruh beresin rumah,” sungut Ningsih. Ardila merotasi bola matanya malas, “Memangnya apa yan
“Apa-apaan ini Mas?!” tanya Ardila marah setelah mengetahui suaminya memiliki istri yang lain.“Maafkan Mas, Dila. Kamu sudah menjadi istri kedua Mas,” jelas Firman tanpa merasa bersalah.Ardila menatap Firman marah, ia merasa di tipu. Kenapa tidak ada yang memberitahunya bahwa calon suaminya telah memiliki istri.“Harusnya aku yang marah karena suamiku menikah lagi, tapi kok malah ke balik ya,” ucap Sinta dengan sewot.“Tapi karena wasiat orang tua kamu itu, aku jadi harus merelakan Mas Firman buat kamu, bersyukur dong!” lanjutnya lagi.“Kalau Mas Firman sudah menikah, aku juga nggak bakalan mau Mbak!” “Sudahlah, Dila. Hargai apa yang orang tua kamu mau, itu permintaan terakhirnya,” seru Firman dengan lembut.Tanpa menjawab, Ardila pergi meninggalkan kedua sejoli itu ke kamar yang sekarang ia tempati, karena saat ini ia sedang berada di rumah Ibu mertuanya.Ardila merasa kecewa kepada paman dan bibinya, baru saja ia ingin sedikit memberi kepercayaan, tetap malah membuat dirinya kece
“Dasar anak kurang ajar!” teriak Afifah dengan kesal.“Udahlah, Bu. Nggak usah teriak-teriak, pusing Bapak dengarnya,” tegur Dirjo.Dada Afifah naik turun menahan amarah, ia menatap sinis Ardila.“Lagian juga itu harta warisan, sudah seharusnya kamu membaginya dengan kita,” seloroh Ningsih.“Kalau hanya Mas Firman saja, aku nggak masalah. Tapi nggak untuk kalian bertiga!” sahut Ardila menatap mereka bergantian.“Mana bisa begitu, kamu mau membuat Firman nggak berbakti sama Ibu ya!” marah Ningsih menggebrak meja.“Dila, sekarang keluarga Mas kan, keluarga kamu juga. Apalagi Ibu seorang janda dan Rosa juga masih sekolah, Mas takut kalau tinggalin mereka. Kita tinggal bareng nggak apa-apa, ya,” bujuk Firman dengan lembut.Sebenarnya kalau bukan karena sikap mereka terhadapnya, Ardila juga kasian pada mertua dan adik iparnya itu. Dan dengan rela ia akan membiarkan mereka tinggal di rumah besarnya. Ardila mengangguk pelan, menatap mereka semua dengan pandangan rumit. Untuk sekarang ia aka
“Gila kamu, Naya! Nggak mungkinlah,” sanggah Ardila menggelengkan kepalanya.“Mungkin aja, sepupuku lebih baik dari pada Firman. Aku yakin itu!” “Dan lagi nggak mungkin orang tua kamu mau lihat kamu nggak bahagia Dila. Orang tua kamu pasti lebih memilih kebahagiaan kamu dari pada perjodohan itu!” lanjut Naya. “Aku nggak tau harus gimana, Nay. Yang aku pikirkan sekarang mencoba untuk menjalaninya, jika aku udah nggak kuat. Aku bakal ikuti katamu, cerai.” Naya menghembuskan napasnya panjang, “Baiklah, semua keputusan ada di tangan kamu. Kalau kamu butuh apa-apa bisa panggil aku.” Ardila mengangguk, ia tersenyum haru karena memiliki sahabat seperti Naya yang selalu ada untuknya.“Terima kasih sayangku,” ucap Ardila seraya memeluk Naya erat.“Kamu itu udah aku anggap sebagai saudara, jadi kita harus saling bahu membahu, paham!” sahut Naya dengan tegas.“Ay ay kapten!” kekeh Ardila di ikuti Naya.***Ardila yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sudah di sambut denga
“Sepupuku itu ganteng loh, pengusaha lagi. Padahal sebelumnya mau aku jodohkan sama kamu,” celoteh Naya. Sejak masuk ke dalam mobil, Naya sudah menceritakan banyak hal tentang sepupunya ini. Ardila terkekeh pelan, “Ada-ada aja kamu Nay.” “Aku serius Dil, tapi katanya dia lagi nunggu seseorang. Dari dulu sampai sekarang nggak ketemu,” lanjut Naya menceritakan sepupunya. “Nunggu jodoh itu Nay, orang kayak begitu nggak suka di ganggu.” “Betul, kalau aku cerita tentang kamu, dia cuma diam doang kayak patung,” sungut Naya kesal karena teringat sikap sepupunya itu. “Kuharap bukan aib yang kamu ceritakan, Nay.” “Maunya sih begitu, tapi dia juga gak bakal peduli.” Ketika tiba di bandara, Naya terlihat celingak-celinguk dengan postur tubuh yang tidak tenang. “Aduh Dil! Aku kebelet pipis, aku tinggal sebentar ya, Dil. Oh iya, namanya Arman Satyaloka.” Setelah berucap, Naya pergi dari hadapan Ardila. Meninggalkan Ardila dengan kebingungannya, bagaimana ia bisa tahu seperti apa rup