“Gila kamu, Naya! Nggak mungkinlah,” sanggah Ardila menggelengkan kepalanya.
“Mungkin aja, sepupuku lebih baik dari pada Firman. Aku yakin itu!” “Dan lagi nggak mungkin orang tua kamu mau lihat kamu nggak bahagia Dila. Orang tua kamu pasti lebih memilih kebahagiaan kamu dari pada perjodohan itu!” lanjut Naya. “Aku nggak tau harus gimana, Nay. Yang aku pikirkan sekarang mencoba untuk menjalaninya, jika aku udah nggak kuat. Aku bakal ikuti katamu, cerai.” Naya menghembuskan napasnya panjang, “Baiklah, semua keputusan ada di tangan kamu. Kalau kamu butuh apa-apa bisa panggil aku.” Ardila mengangguk, ia tersenyum haru karena memiliki sahabat seperti Naya yang selalu ada untuknya. “Terima kasih sayangku,” ucap Ardila seraya memeluk Naya erat. “Kamu itu udah aku anggap sebagai saudara, jadi kita harus saling bahu membahu, paham!” sahut Naya dengan tegas. “Ay ay kapten!” kekeh Ardila di ikuti Naya. *** Ardila yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sudah di sambut dengan tatapan sinis Ningsih. Semua berkumpul di ruang tamu. “Bagus ya, enak jalan-jalan di luar. Sedangkan yang di rumah di telantarkan,” sinis Ningsih. “Maksudnya apa ya, Bu,” sahut Ardila yang tidak paham selalu saja di recoki oleh mertuanya. “Dila, jangan lalaikan kewajiban kamu sebagai istri. Bagaimana pun Mas ini suami kamu, pergi juga gak izin,” ucap Firman tajam. “Gimana aku mau izin Mas, aku baru keluar, Ibu udah ngomelin hal yang gak jelas,” sahut Ardila yang tidak terima di pojokan. “Ibu begitu biar kamu jadi istri yang berbakti pada suami, bukannya istri pembangkang! Contoh itu Sinta, dia bakti sama Ibu dan suaminya!” “Kalau Ibu gak terima, kenapa menjadikan aku menantu Ibu! Ibu bisa saja menggagalkan pernikahannya!” sentak Ardila yang sudah tidak bisa menahan amarahnya. “Lihat Firman! Kamu harus pandai menasehatinya agar tak berani melawan orang tua. Kalau bukan karena wasiat orang tuamu, aku juga nggak mau punya menantu pembangkang!” balas Ningsih berteriak, ia menunjuk-nunjuk Ardila dengan geram. “Wasiat! Wasiat! Wasiat! Selalu begitu alasannya!” sahut Ardila seraya berjalan cepat ke arah kamarnya. Hatinya sakit, seakan semua ini salah orang tuanya. Ardila segera menghapus air matanya setelah mendengar ketukan di balik pintu. “Mas boleh masuk?” tanya Firman setelah Ardila membukakan pintunya. “Ya.” “Maafin Ibu ya, Dila. Ibu begitu juga demi kebaikan kamu, itu cara Ibu nunjukin kepeduliannya,” jelas Firman. “Kepedulian apanya Mas! Dari sisi mananya kepedulian itu!” lantang Ardila yang terpancing lagi emosinya. “Percuma Ardila kalau banyak harta tapi nggak pernah mengenyam pendidikan, ucapan Ibu saja kamu nggak paham!” sahut Firman yang juga tersulut emosi. “Keluar sekarang juga!” ucap Ardila dengan penekanan. “Kamu memang nggak bisa di ajak bicara,” ketus Firman keluar kamar dengan membanting pintunya keras. Kedua jemarinya terkepal erat mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut suaminya. Ia benar-benar membenci keluarga ini, apa yang harus ia pertahankan. *** Pagi sekali ponsel Ardila sudah berdering, ia menautkan alisnya kala melihat nama Naya yang tertera. “Kenapa Nay?” “Dila, kamu bisa tolongin aku nggak. Anterin aku ke bandara, baru aja ban mobil aku bocor. Hari ini aku mau jemput sepupu aku yang dari luar negeri. Tolong ya,” ucap Naya dengan memelas di seberang sana. “Baiklah, baiklah. Aku siap-siap dulu.” “Thank you, sayangku!” Ardila segera keluar kamar setelah memutuskan panggil telfon. Ia menuju dapur, mengisi perut sebelum pergi pilihan terbaik. “Bagus ya, tuan putri baru keluar kamar,” sindir Ningsih yang berkutat di dapur. Mendengar suara Ibu mertuanya sudah membuat nafsu makan Ardila hilang. Ia hanya mengambil buah-buahan untuk makanannya di perjalanan. Ardila menghiraukan panggilan dari Ibu mertuanya, ia terlalu malas meladeninya. “Mau ke mana kamu Dila,” ucap Firman yang melihat Ardila keluar rumah. “Mau ke rumah teman, lagi butuh pertolongan dia,” sahut Ardila seadanya. “Kamu orang luar di tolongin, sedangkan keluarga sendiri di biarin. Benar-benar nggak punya hati kamu, Dila,” ucap Firman dengan marah. “Udah, deh, Mas. Masih pagi nggak usah ngajak ribut.” Setelah berucap, Ardila dengan cepat meninggalkan Firman yang terus memanggil namanya. Ia tidak peduli, Ardila tidak menganggap mereka sebagai keluarga. “Bagaimana kalau kita paksa dia untuk mendatangani surat pemindahan harta, Mas,” ucap Sinta dari arah belakang Firman.“Sepupuku itu ganteng loh, pengusaha lagi. Padahal sebelumnya mau aku jodohkan sama kamu,” celoteh Naya. Sejak masuk ke dalam mobil, Naya sudah menceritakan banyak hal tentang sepupunya ini. Ardila terkekeh pelan, “Ada-ada aja kamu Nay.” “Aku serius Dil, tapi katanya dia lagi nunggu seseorang. Dari dulu sampai sekarang nggak ketemu,” lanjut Naya menceritakan sepupunya. “Nunggu jodoh itu Nay, orang kayak begitu nggak suka di ganggu.” “Betul, kalau aku cerita tentang kamu, dia cuma diam doang kayak patung,” sungut Naya kesal karena teringat sikap sepupunya itu. “Kuharap bukan aib yang kamu ceritakan, Nay.” “Maunya sih begitu, tapi dia juga gak bakal peduli.” Ketika tiba di bandara, Naya terlihat celingak-celinguk dengan postur tubuh yang tidak tenang. “Aduh Dil! Aku kebelet pipis, aku tinggal sebentar ya, Dil. Oh iya, namanya Arman Satyaloka.” Setelah berucap, Naya pergi dari hadapan Ardila. Meninggalkan Ardila dengan kebingungannya, bagaimana ia bisa tahu seperti apa rup
Setelah mengantar Naya dan Arman, Ardila tidak langsung pulang. Ia sangat malas bertemu keluarga suaminya. Di sinilah Ardila sekarang, duduk tenang di ruangannya. Asisten Ryan masuk ke dalam setelah di izinkan. Ia segera menyerahkan dokumen, “Ini dokumen yang Ibu minta.” Ardila mengangguk, ia melirik Ryan yang bergeming di tempatnya, “Ada apa Asisten Ryan?” “Bukankah ini masih masa libur Bu Ardila, kenapa bekerja?” “Aku hanya bosan, nggak ada salahnya aku bekerja.” Asisten Ryan mengangguk, “Baiklah, selamat bekerja Bu Ardila.” Ardila kembali fokus ke pekerjaannya setelah Ryan keluar ruangannya. Karena menikmati waktunya, Ardila pulang jam tujuh malam. “Bagus banget ya, keluyuran terus!” sentak Firman ketika melihat Ardila baru pulang ke rumah. “Nggak benar kali tuh di luar,” timpal Ningsih mengompori. “Stop ya, Mas, Bu! Aku capek, aku baru pulang kerja. Aku mau istirahat!” sahut Ardila seraya berlalu di hadapan mereka. “Aku baru ingat, mbak Ardila kan, punya perusahaa
Ardila masuk ke dalam kantor setelah memarkirkan mobilnya, ia meninggalkan mereka setelah menolak keras permintaan Firman. Karyawan yang berpapasan dengan Ardila, menundukkan kepalanya hormat. Ardila hanya membalas menganggukkan sedikit kepalanya. Jika sudah berurusan dengan pekerjaan, aura Ardila memancar keluar. Terlihat berwibawa, tenang dan aura pemimpin yang kuat. Ardila duduk di kursi kejayaannya, ia melihat-lihat dokumen yang di serahkan asisten Ryan. Fokusnya teralih setelah melihat dokumen kerjasamanya dengan perusahaan Loka. Ardila merasa familiar dengan nama perusahaan itu. Perhatian Ardila teralih saat terdengar ketukan pintu, “Masuk.” Asisten Ryan masuk, “Bu Ardila. Pak Firman, suami anda sedang membuat kekacauan.” Kening Ardila mengernyit, “Di mana dia?” “Di bawah, Bu. Dia sedang di tahan para satpam.” Sorot mata Ardila berubah tegas, ia berdiri dari singgasananya. Berlalu untuk menemui sang pengacau di ikuti Ryan. Melihat kedatangan Ardila dan Ryan, seluru
Ardila menyesap susu coklatnya dengan tenang, rumah yang sunyi, rintik hujan yang menenangkan dan udara dingin yang menyelimuti kulitnya begitu ia nikmati. Ardila tidak ikut mengantarkan Ibu mertuanya ke rumah sakit, karena ia pikir itu tidak perlu. Ia hanya meminjamkan kunci mobil pada Firman. “Hahh … kapan lagi aku bisa beristirahat seperti ini.” “Apakah bunda dan ayah bahagia melihat aku menjalankan surat wasiatnya walaupun tidak bahagia di sini,” lanjut Ardila dengan lirih. Lamunan Ardila terhenti ketika mendengar pintu utama terbuka, setelahnya terdengar suara Sinta dan Rosa. “Enak banget ya, kamu santai di sini setelah membuat Ibu celaka!” teriak Rosa setelah menemukan Ardila duduk santai di ruang tengah. Matanya sembab dan memerah karena menangisi keadaan malang yang menimpa ibunya. “Ibu celaka karena ulahnya sendiri,” sahut Ardila tenang, sesekali ia menyesap susu coklatnya. “Diam! Aku nggak pernah bertemu manusia sejahat kamu Mbak!” teriak Rosa lebih nyaring,
“Kamu nggak apa-apa, Dila?” tanya Naya khawatir. Naya membawa Ardila ke rumahnya, ia melihat sahabatnya yang sudah terlihat tenang. “Aku nggak apa-apa, Nay. Terima kasih ya,” ucap Ardila tersenyum tipis. Naya bernafas lega, sedetik kemudian wajahnya terlihat geram, “Ya, ampun. Aku nggak percaya tempramen Firman kayak begitu. Mending kamu cerai aja dari dia, Dila. Aku takut kamu di celakai Firman!” Ardila diam, ia bingung harus bagaimana bersikap. Pernikahannya belum genap satu bulan, tapi Firman sudah melakukan kekerasan padanya. “Aku akan bicara dengan Mas Firman dulu, kalau kondisinya semakin nggak kondusif, aku akan bercerai!” sahut Ardila dengan tegas. Naya mengangguk semangat, “Kalau sudah bercerai, kamu bisa dengan sepupuku, Arman. Walaupun dingin, dia orang yang penuh tanggung jawab kok!” Arman tersedak, ia menatap Naya malas. Sebegitu inginnya Naya menjodohkan sahabat karib dengan sepupunya. “Kamu ini, jangan suka menjodohkan seseorang. Lebih baik kamu saja ya
Menjelang siang, Ardila baru menapakkan kakinya kembali ke rumah. Beberapa kali Ardila terlihat menghembuskan nafas panjang, ia sudah siap dengan apa yang terjadi setelah ini. Pertama kali yang Ardila lihat setelah membuka pintu, semuanya terlihat rapi. Tidak berantakan seperti pagi tadi. Sangat hening, mungkin karena semuanya pergi ke rumah sakit menjenguk Ibu mertua. “Kamu sudah makan siang?” seru Firman yang muncul dari arah dapur. Ardila menggeleng pelan, “Belum.” Ardila merasa amarah Firman sudah mereda, di lihat dari caranya yang tersenyum dan berucap lembut. “Ayo makan dulu, Mas udah masak. Setelah ini kita jenguk Ibu, ya,” ajak Firman dengan lembut. Lagi-lagi Ardila mengangguk, kalau Firman bersikap lembut begini, susah sekali untuk menolaknya. Ardila mengikuti Firman dari belakang, ia melihat beberapa masakan yang sudah terhidang di atas meja. “Mas semua yang masak?” Firman mengangguk, lalu tersenyum, “Sejak dulu Mas memang sudah bisa masak, tapi karena s
“Nggak mau di salahkan, tapi kelakuan aja begitu,” timpal Rosa. Karena kejadian semalam, Rosa menjadi semakin membenci kakak iparnya ini. Kalau bukan karena hartanya, ingin sekali Rosa menjambak rambut panjangnya. “Udah Dila, nggak perlu kamu masukin ke hati kata-kata mertua dan ipar kamu. Kamu nurut aja,” ucap Afifah. Ardila menghiraukan Afifah, “Mau Ibu itu apa, sih? Ibu masuk ke sini juga karena kecerobohan sendiri, tapi aku bersedia beri Ibu kompetensi yang lebih dari cukup.” “Kalau Ibu gak suka aku, kenapa gak suruh Mas Firman ceraikan aku!” lanjut Ardila geram. Hening, Ibu Ningsih atau Rosa tidak berani menyahut. Sedangkan Afifah dan Dirjo terlihat panik. Afifah menatap Ningsih dengan tajam, “Kamu ini Ningsih, jangan keras-keras sama menantu sendiri.” Ningsih tidak bersuara, kalau anaknya bercerai dengan Ardila sekarang. Mereka akan kembali seperti dulu, serba kekurangan. “Sudahlah, Bu. Bingung aku sama kalian,” ucap Ardila seraya berlalu keluar ruangan. Afifa
Ardila pulang ke rumah, ia tidak lagi singgah ke rumah sakit. Juga tidak mau lagi mendengar omongan memuakkan ibu mertuanya. Saat membuka pintu, Ardila di sambut oleh Firman yang tersenyum cerah. “Tadi ke mana? Kata bibi Afifah kamu keluar gara-gara perkataan ibu,” seru Firman seraya mengikuti langkah Ardila. “Aku bingung sama ibu kamu Mas, aku ada salah apa sampai dia nggak sesuka itu sama aku,” adu Ardila dengan cemberut. “Maafin ibu ya, Dil. Ibu itu dulu ke pengin banget kerja kantoran, tapi nggak pernah kecapaian. Mungkin karena itu ibu sedikit gak suka sama kamu,” jelas Firman dengan lembut. Ardila menghela napas panjang, “Kamu tegur ibu ya, Mas. Aku masih mau ngehargain dia sebagai ibu kamu.” Firman mengangguk, “Sana mandi, habis itu kita makan malam bareng.” Setelah Firman keluar kamar, Ardila berlalu ke kamar mandi. Ia perlu merilekskan pikirannya yang bercabang. Saat tiba di meja makan, Ardila melihat Firman dan Sinta dengan bercengkrama. Sesekali bersenda g