Share

Bab 3

“Gila kamu, Naya! Nggak mungkinlah,” sanggah Ardila menggelengkan kepalanya.

“Mungkin aja, sepupuku lebih baik dari pada Firman. Aku yakin itu!”

“Dan lagi nggak mungkin orang tua kamu mau lihat kamu nggak bahagia Dila. Orang tua kamu pasti lebih memilih kebahagiaan kamu dari pada perjodohan itu!” lanjut Naya.

“Aku nggak tau harus gimana, Nay. Yang aku pikirkan sekarang mencoba untuk menjalaninya, jika aku udah nggak kuat. Aku bakal ikuti katamu, cerai.”

Naya menghembuskan napasnya panjang, “Baiklah, semua keputusan ada di tangan kamu. Kalau kamu butuh apa-apa bisa panggil aku.”

Ardila mengangguk, ia tersenyum haru karena memiliki sahabat seperti Naya yang selalu ada untuknya.

“Terima kasih sayangku,” ucap Ardila seraya memeluk Naya erat.

“Kamu itu udah aku anggap sebagai saudara, jadi kita harus saling bahu membahu, paham!” sahut Naya dengan tegas.

“Ay ay kapten!” kekeh Ardila di ikuti Naya.

***

Ardila yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sudah di sambut dengan tatapan sinis Ningsih. Semua berkumpul di ruang tamu.

“Bagus ya, enak jalan-jalan di luar. Sedangkan yang di rumah di telantarkan,” sinis Ningsih.

“Maksudnya apa ya, Bu,” sahut Ardila yang tidak paham selalu saja di recoki oleh mertuanya.

“Dila, jangan lalaikan kewajiban kamu sebagai istri. Bagaimana pun Mas ini suami kamu, pergi juga gak izin,” ucap Firman tajam.

“Gimana aku mau izin Mas, aku baru keluar, Ibu udah ngomelin hal yang gak jelas,” sahut Ardila yang tidak terima di pojokan.

“Ibu begitu biar kamu jadi istri yang berbakti pada suami, bukannya istri pembangkang! Contoh itu Sinta, dia bakti sama Ibu dan suaminya!”

“Kalau Ibu gak terima, kenapa menjadikan aku menantu Ibu! Ibu bisa saja menggagalkan pernikahannya!” sentak Ardila yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.

“Lihat Firman! Kamu harus pandai menasehatinya agar tak berani melawan orang tua. Kalau bukan karena wasiat orang tuamu, aku juga nggak mau punya menantu pembangkang!” balas Ningsih berteriak, ia menunjuk-nunjuk Ardila dengan geram.

“Wasiat! Wasiat! Wasiat! Selalu begitu alasannya!” sahut Ardila seraya berjalan cepat ke arah kamarnya.

Hatinya sakit, seakan semua ini salah orang tuanya. Ardila segera menghapus air matanya setelah mendengar ketukan di balik pintu.

“Mas boleh masuk?” tanya Firman setelah Ardila membukakan pintunya.

“Ya.”

“Maafin Ibu ya, Dila. Ibu begitu juga demi kebaikan kamu, itu cara Ibu nunjukin kepeduliannya,” jelas Firman.

“Kepedulian apanya Mas! Dari sisi mananya kepedulian itu!” lantang Ardila yang terpancing lagi emosinya.

“Percuma Ardila kalau banyak harta tapi nggak pernah mengenyam pendidikan, ucapan Ibu saja kamu nggak paham!” sahut Firman yang juga tersulut emosi.

“Keluar sekarang juga!” ucap Ardila dengan penekanan.

“Kamu memang nggak bisa di ajak bicara,” ketus Firman keluar kamar dengan membanting pintunya keras.

Kedua jemarinya terkepal erat mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut suaminya. Ia benar-benar membenci keluarga ini, apa yang harus ia pertahankan.

***

Pagi sekali ponsel Ardila sudah berdering, ia menautkan alisnya kala melihat nama Naya yang tertera.

“Kenapa Nay?”

“Dila, kamu bisa tolongin aku nggak. Anterin aku ke bandara, baru aja ban mobil aku bocor. Hari ini aku mau jemput sepupu aku yang dari luar negeri. Tolong ya,” ucap Naya dengan memelas di seberang sana.

“Baiklah, baiklah. Aku siap-siap dulu.”

“Thank you, sayangku!”

Ardila segera keluar kamar setelah memutuskan panggil telfon. Ia menuju dapur, mengisi perut sebelum pergi pilihan terbaik.

“Bagus ya, tuan putri baru keluar kamar,” sindir Ningsih yang berkutat di dapur.

Mendengar suara Ibu mertuanya sudah membuat nafsu makan Ardila hilang. Ia hanya mengambil buah-buahan untuk makanannya di perjalanan.

Ardila menghiraukan panggilan dari Ibu mertuanya, ia terlalu malas meladeninya.

“Mau ke mana kamu Dila,” ucap Firman yang melihat Ardila keluar rumah.

“Mau ke rumah teman, lagi butuh pertolongan dia,” sahut Ardila seadanya.

“Kamu orang luar di tolongin, sedangkan keluarga sendiri di biarin. Benar-benar nggak punya hati kamu, Dila,” ucap Firman dengan marah.

“Udah, deh, Mas. Masih pagi nggak usah ngajak ribut.”

Setelah berucap, Ardila dengan cepat meninggalkan Firman yang terus memanggil namanya. Ia tidak peduli, Ardila tidak menganggap mereka sebagai keluarga.

“Bagaimana kalau kita paksa dia untuk mendatangani surat pemindahan harta, Mas,” ucap Sinta dari arah belakang Firman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status