Ardila masuk ke dalam kantor setelah memarkirkan mobilnya, ia meninggalkan mereka setelah menolak keras permintaan Firman.
Karyawan yang berpapasan dengan Ardila, menundukkan kepalanya hormat. Ardila hanya membalas menganggukkan sedikit kepalanya. Jika sudah berurusan dengan pekerjaan, aura Ardila memancar keluar. Terlihat berwibawa, tenang dan aura pemimpin yang kuat. Ardila duduk di kursi kejayaannya, ia melihat-lihat dokumen yang di serahkan asisten Ryan. Fokusnya teralih setelah melihat dokumen kerjasamanya dengan perusahaan Loka. Ardila merasa familiar dengan nama perusahaan itu. Perhatian Ardila teralih saat terdengar ketukan pintu, “Masuk.” Asisten Ryan masuk, “Bu Ardila. Pak Firman, suami anda sedang membuat kekacauan.” Kening Ardila mengernyit, “Di mana dia?” “Di bawah, Bu. Dia sedang di tahan para satpam.” Sorot mata Ardila berubah tegas, ia berdiri dari singgasananya. Berlalu untuk menemui sang pengacau di ikuti Ryan. Melihat kedatangan Ardila dan Ryan, seluruh karyawan menunduk hormat. Ada beberapa karyawan yang kembali ke tempat kerja karena tidak ingin menimbulkan masalah, ada juga karyawan yang bergeming karena penasaran. Belum sempat Ardila membuka suara. Firman berucap, “Akhirnya kamu datang istriku. Pecat para satpam ini karena berani menahanku!” Amarah Firman tidak menggentarkan kedua satpam itu, mereka tetap memegangi Firman dengan kuat. Menurut mereka, hanya perintah Ardila yang dapat menggerakkannya bukan orang lain, walaupun status orang itu suami dari atasannya. “Lepaskan.” Kedua satpam menurut, mereka melepaskan cekalan di tangan Firman. “Sial! Sudah kubilang, aku itu suami atasan kalian. Jadi, kalian juga harus hormat padaku!” lantang Firman dengan pongah. Ardila mendengus kesal, “Jadi, kenapa kemari kalau hanya menjadi pengacau?” Sebelum Firman menjawab, seorang pria menyela seraya menatap Ardila dengan takut. “Maafkan saya Bu Ardila, saya nggak sengaja menumpahkan kopi ke pakaiannya. Maafkan saya sekali lagi.” Ardila menatap pria itu yang bergetar ketakutan, ia juga melirik pakaian Firman yang sedikit kotor. “Pecat saja dia! Kerja aja gak becus!” maki Firman. “Maafkan saya Bu, Pak,” ucap pria itu seraya berlutut. Ia seorang tulang punggung keluarga, jika sampai di pecat, mau makan apa keluarganya nanti. Ardila menatap Firman tajam, “Nggak ada yang akan di pecat. Lebih baik kamu pergi Firman, akan aku kirim uang kompensasinya.” Firman menatap Ardila tidak percaya, “Kamu begini sama saja mempermalukan suamimu, Ardila!” “Kamu yang mempermalukan aku dengan sikap pongahmu itu! Kamu bukan karyawan di sini, berhenti mengacau. Pergi dari sini,” usir Ardila dengan tegas. “Kamu! … lihat saja nanti,” desis Firman marah seraya berjalan keluar kantor. Asisten Ryan yang melihat kondisi sudah terkendali. Berucap nyaring, “Semua telah terselesaikan, kembali bekerja!” Semua karyawan berlalu kembali ke tempatnya masing-masing, hanya tersisa pria yang masih berlutut di lantai. “Kenapa masih di situ?” tanya Ardila. “Itu … saya harus mendapatkan hukuman agar tidak melakukan kelalaian lagi.” “Pergilah, anggap saja masalah ini tidak pernah terjadi,” setelah berucap, Ardila berlalu kembali ke ruangannya. Pria itu menatap haru atasannya, kemudian beralih menatap Ryan. Ryan yang di tatap menganggukkan kepalanya, “Pergilah jika itu kemauannya.” Ryan segera mengikuti Ardila untuk kembali bekerja. *** Ardila merenggangkan tubuhnya, kemudian melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore. Selesai membereskan ruangannya, Ardila beranjak untuk pulang ke rumah. Entah di rumah bisa istirahat atau malah menambah beban. Baru saja membuka pintu, sesuatu yang dingin telah mengguyur seluruh tubuh Ardila. Ardila diam, nafasnya teratur dengan sorot mata tajam menatap ke depan. “Berani sekali kamu mempermalukan anakku! Dasar nggak berguna!” teriak Ningsih marah. Melihat Ardila yang hanya diam, membuat emosi Ningsih semakin membuncah. Ia maju ingin menjambak rambut Ardila, tetapi Ardila yang sigap langsung menghindar. Membuat Ningsih tergelincir tumpukan air yang ada di lantai. Ningsih pingsan dengan darah yang keluar dari kepalanya, Firman menatap Ardila nyalang. “BERANINYA KEPADA IBUKU!”Ardila menyesap susu coklatnya dengan tenang, rumah yang sunyi, rintik hujan yang menenangkan dan udara dingin yang menyelimuti kulitnya begitu ia nikmati. Ardila tidak ikut mengantarkan Ibu mertuanya ke rumah sakit, karena ia pikir itu tidak perlu. Ia hanya meminjamkan kunci mobil pada Firman. “Hahh … kapan lagi aku bisa beristirahat seperti ini.” “Apakah bunda dan ayah bahagia melihat aku menjalankan surat wasiatnya walaupun tidak bahagia di sini,” lanjut Ardila dengan lirih. Lamunan Ardila terhenti ketika mendengar pintu utama terbuka, setelahnya terdengar suara Sinta dan Rosa. “Enak banget ya, kamu santai di sini setelah membuat Ibu celaka!” teriak Rosa setelah menemukan Ardila duduk santai di ruang tengah. Matanya sembab dan memerah karena menangisi keadaan malang yang menimpa ibunya. “Ibu celaka karena ulahnya sendiri,” sahut Ardila tenang, sesekali ia menyesap susu coklatnya. “Diam! Aku nggak pernah bertemu manusia sejahat kamu Mbak!” teriak Rosa lebih nyaring,
“Kamu nggak apa-apa, Dila?” tanya Naya khawatir. Naya membawa Ardila ke rumahnya, ia melihat sahabatnya yang sudah terlihat tenang. “Aku nggak apa-apa, Nay. Terima kasih ya,” ucap Ardila tersenyum tipis. Naya bernafas lega, sedetik kemudian wajahnya terlihat geram, “Ya, ampun. Aku nggak percaya tempramen Firman kayak begitu. Mending kamu cerai aja dari dia, Dila. Aku takut kamu di celakai Firman!” Ardila diam, ia bingung harus bagaimana bersikap. Pernikahannya belum genap satu bulan, tapi Firman sudah melakukan kekerasan padanya. “Aku akan bicara dengan Mas Firman dulu, kalau kondisinya semakin nggak kondusif, aku akan bercerai!” sahut Ardila dengan tegas. Naya mengangguk semangat, “Kalau sudah bercerai, kamu bisa dengan sepupuku, Arman. Walaupun dingin, dia orang yang penuh tanggung jawab kok!” Arman tersedak, ia menatap Naya malas. Sebegitu inginnya Naya menjodohkan sahabat karib dengan sepupunya. “Kamu ini, jangan suka menjodohkan seseorang. Lebih baik kamu saja ya
Menjelang siang, Ardila baru menapakkan kakinya kembali ke rumah. Beberapa kali Ardila terlihat menghembuskan nafas panjang, ia sudah siap dengan apa yang terjadi setelah ini. Pertama kali yang Ardila lihat setelah membuka pintu, semuanya terlihat rapi. Tidak berantakan seperti pagi tadi. Sangat hening, mungkin karena semuanya pergi ke rumah sakit menjenguk Ibu mertua. “Kamu sudah makan siang?” seru Firman yang muncul dari arah dapur. Ardila menggeleng pelan, “Belum.” Ardila merasa amarah Firman sudah mereda, di lihat dari caranya yang tersenyum dan berucap lembut. “Ayo makan dulu, Mas udah masak. Setelah ini kita jenguk Ibu, ya,” ajak Firman dengan lembut. Lagi-lagi Ardila mengangguk, kalau Firman bersikap lembut begini, susah sekali untuk menolaknya. Ardila mengikuti Firman dari belakang, ia melihat beberapa masakan yang sudah terhidang di atas meja. “Mas semua yang masak?” Firman mengangguk, lalu tersenyum, “Sejak dulu Mas memang sudah bisa masak, tapi karena s
“Nggak mau di salahkan, tapi kelakuan aja begitu,” timpal Rosa. Karena kejadian semalam, Rosa menjadi semakin membenci kakak iparnya ini. Kalau bukan karena hartanya, ingin sekali Rosa menjambak rambut panjangnya. “Udah Dila, nggak perlu kamu masukin ke hati kata-kata mertua dan ipar kamu. Kamu nurut aja,” ucap Afifah. Ardila menghiraukan Afifah, “Mau Ibu itu apa, sih? Ibu masuk ke sini juga karena kecerobohan sendiri, tapi aku bersedia beri Ibu kompetensi yang lebih dari cukup.” “Kalau Ibu gak suka aku, kenapa gak suruh Mas Firman ceraikan aku!” lanjut Ardila geram. Hening, Ibu Ningsih atau Rosa tidak berani menyahut. Sedangkan Afifah dan Dirjo terlihat panik. Afifah menatap Ningsih dengan tajam, “Kamu ini Ningsih, jangan keras-keras sama menantu sendiri.” Ningsih tidak bersuara, kalau anaknya bercerai dengan Ardila sekarang. Mereka akan kembali seperti dulu, serba kekurangan. “Sudahlah, Bu. Bingung aku sama kalian,” ucap Ardila seraya berlalu keluar ruangan. Afifa
Ardila pulang ke rumah, ia tidak lagi singgah ke rumah sakit. Juga tidak mau lagi mendengar omongan memuakkan ibu mertuanya. Saat membuka pintu, Ardila di sambut oleh Firman yang tersenyum cerah. “Tadi ke mana? Kata bibi Afifah kamu keluar gara-gara perkataan ibu,” seru Firman seraya mengikuti langkah Ardila. “Aku bingung sama ibu kamu Mas, aku ada salah apa sampai dia nggak sesuka itu sama aku,” adu Ardila dengan cemberut. “Maafin ibu ya, Dil. Ibu itu dulu ke pengin banget kerja kantoran, tapi nggak pernah kecapaian. Mungkin karena itu ibu sedikit gak suka sama kamu,” jelas Firman dengan lembut. Ardila menghela napas panjang, “Kamu tegur ibu ya, Mas. Aku masih mau ngehargain dia sebagai ibu kamu.” Firman mengangguk, “Sana mandi, habis itu kita makan malam bareng.” Setelah Firman keluar kamar, Ardila berlalu ke kamar mandi. Ia perlu merilekskan pikirannya yang bercabang. Saat tiba di meja makan, Ardila melihat Firman dan Sinta dengan bercengkrama. Sesekali bersenda g
Ketukan di balik pintu menyadarkan Ardila dari dunia kerjanya. Ia menatap asisten Ryan masuk setelah di izinkan. “Ini sudah jam makan siang, Bu, apa Bu Ardila nggak makan siang atau mau saya bawakan ke sini?” Ardila melirik arlojinya, ia benar-benar lupa waktunya. Perutnya juga sudah keroncongan, Ardila bangkit dari duduknya. “Temani saya makan di luar Asisten Ryan.” Ryan mengangguk, mengikuti Ardila dari belakang. “Baik, Bu.” Ardila menghentikan langkahnya, begitu pun Ryan ikut menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik, Ardila berucap, “Ke sisi saya Asisten Ryan, bukan di belakang. Ini perintah!” Mendengar suara tegas dari atasannya, Ryan melangkahkan kaki ke sisi Ardila. Ryan mengendarai mobil Ardila juga karena perintah, ia sangat tidak bisa menolak perintah atasannya. Apapun yang di ucapkan, harus ia lakukan. Karena dulu Ardila menyelamatkan nyawa Ryan, ia sempat hampir mati tenggelam jika tidak ada Ardila yang menyelamatkannya, tidak ada Ryan yang sekarang. Ja
“Sudah kubilang, aku nggak ingin mengurusi orang lain. Lagi pula, kamu masih terlalu muda untuk membahas tentang pacaran.” Ningsih menatap Ardila kesal, “Nggak seharusnya kamu bicara begitu pada Rosa, apa jangan-jangan kamu ada sesuatu sama pria itu sehingga nggak mau membantu adik iparmu sendiri.” Ardila menghela napas jengah, “Aku sudah selesai, aku akan istirahat.” “Ardila! Nggak punya sopan santun kamu, ya! Orang tua lagi bicara malah di tinggal pergi!” teriak Ningsih marah. “Jangan-jangan benar lagi apa yang Ibu katakan, Mas,” timpal Sinta. “Bisa masuk rumah sakit terus kalau Ibu punya menantu seperti dia,” ucap Ningsih dengan geram. “Sabar ya, Bu, mendidik istri yang pembangkang memang harus ekstra sabar,” sahut Sinta seraya mendekati Ningsih, mengusap bahu ibu mertuanya mencari simpati. “Cuma kamu Sinta yang menjadi menantu kesayangan Ibu,” Sinta tersenyum lebar mendengar perkataan ibu mertuanya. Perhatian Ningsih beralih pada Firman yang sedari tadi diam, “Kamu ini gim
Perusahaan Loka ternyata di bawah pimpinan Arman Satyaloka, pantas saja Ardila merasa seperti tidak asing dengan namanya. Di sinilah mereka sekarang, di sebuah restoran untuk membahas kerja sama kedua perusahaan tersebut. Usai dengan pembahasan bisnis, para asisten mengundurkan diri. Menyisakan Ardila dan Arman untuk menikmati makan siangnya. “Aku baru tahu, kamu pemimpin perusahaannya,” seru Arman. “Kamu nggak berpikiran suamiku yang memimpinnya kan,” kekeh Ardila.“Tadinya, iya. Kupikir kamu menikahinya karena uang. Tapi ternyata kamu lebih kaya,” balas Arman. Ardila diam, pasti Arman tahu tentang hubungan rumah tangganya, tidak mungkin Naya diam saja. “Naya nggak mungkin, nggak cerita kan.” Arman mengangguk paham, “Bahagianya anak, bahagianya orang tua juga. Jadi, nggak harus bertahan untuk sebuah tulisan.” Tiba di kantor pun, Ardila masih memikirkan perkataan Arman. Ada benarnya, tapi Ardila sudah terlanjur tercebur ke kubang lumpur, mau tidak mau ia harus bertahan.Ketukan