Share

Bab 7

Ardila menyesap susu coklatnya dengan tenang, rumah yang sunyi, rintik hujan yang menenangkan dan udara dingin yang menyelimuti kulitnya begitu ia nikmati.

Ardila tidak ikut mengantarkan Ibu mertuanya ke rumah sakit, karena ia pikir itu tidak perlu. Ia hanya meminjamkan kunci mobil pada Firman.

“Hahh … kapan lagi aku bisa beristirahat seperti ini.”

“Apakah bunda dan ayah bahagia melihat aku menjalankan surat wasiatnya walaupun tidak bahagia di sini,” lanjut Ardila dengan lirih.

Lamunan Ardila terhenti ketika mendengar pintu utama terbuka, setelahnya terdengar suara Sinta dan Rosa.

“Enak banget ya, kamu santai di sini setelah membuat Ibu celaka!” teriak Rosa setelah menemukan Ardila duduk santai di ruang tengah.

Matanya sembab dan memerah karena menangisi keadaan malang yang menimpa ibunya.

“Ibu celaka karena ulahnya sendiri,” sahut Ardila tenang, sesekali ia menyesap susu coklatnya.

“Diam! Aku nggak pernah bertemu manusia sejahat kamu Mbak!” teriak Rosa lebih nyaring, ia berlari masuk ke dalam kamarnya.

Sinta bergeming, menatap Ardila penuh kebencian. “Kamu memang manusia yang nggak punya perasaan!”

Ardila menghembuskan nafasnya pasrah setelah melihat kedua orang itu menghilang dari hadapan. Ia segera berlalu menuju kamarnya, entah apa yang akan terjadi esok harinya.

Tendangan demi tendangan yang berasal di balik pintu, serta teriakan Firman yang nyaring.

“ARDILA! KELUAR, KAMU HARUS TANGGUNG JAWAB!”

Ardila yang sudah sepenuhnya bangun, bergeming mendengar amukan Firman. Jika ia menghadapinya sekarang, mungkin tubuhnya akan terdapat beberapa luka.

Sungguh, Ardila tidak tahan. Setelah menutup telepon seseorang, ia berjalan ke arah pintu.

“Apanya yang harus aku pertanggung jawabkan,” sahut Ardila tenang.

“Kamu telah membuat Ibu celaka, keluar sekarang! Aku tidak akan memaafkanmu!”

“Itu karena ulah ibumu Mas! Jangan salahkan aku!” ucap Ardila ikut berteriak, ia benci posisi ketidakmampuan seperti ini.

“Buka sekarang atau aku dobrak pintu ini!” desis Firman dengan emosi.

Ardila memberanikan diri membuka pintunya, sebuah tamparan keras ia dapatkan.

Pipinya terasa panas, tidak sebanding dengan hatinya yang sakit tercabik. Seperti inikah tempramen suaminya.

“Aku harus benar-benar mendidikmu agar menjadi istri yang patuh, berikan aku uang untuk biaya rumah sakit.”

Ardila menatap Firman dengan pandangan rumit, “Aku sudah mentransfernya malam tadi.”

“10 juta mana cukup! Berikan 50 juta lagi, kamu harus bertanggung jawab, Ardila,” ucap Firman penuh penekanan.

“Aku akan ikut ke rumah sakit, biar aku yang mengurus administrasinya.”

Firman mengamuk, ia melempar barang yang ada di dekatnya. Lalu menatap Ardila tajam, “Kamu selalu saja merendahkan harga diriku, Ardila!”

“Aku tidak pernah merendahkanmu, Mas! Kenapa selalu menuduhku!” sahut Ardila yang terpancing emosi.

Firman mengangkat tangannya membuat Ardila menutup matanya rapat-rapat, ia menunggu tapi tidak terjadi apa-apa.

“Ardila!”

Setelah mendengar suara Naya, Ardila luruh ke lantai. Lututnya terasa lemas, Naya segera membantu Ardila berdiri.

“Apa-apaan ini!” teriak Firman semakin marah tatkala melihat tangannya di tahan seorang pria asing.

“Nggak seharusnya kamu ringan tangan terhadap wanita,” ucap Arman dengan sorot mata dingin.

“Jangan mencampuri urusan keluargaku, kalian hanya orang luar. PERGI!”

Setelah Firman berteriak seperti itu pun, tidak membuat seorang Arman beranjak. Seolah menantang keberanian lawannya.

“Aku nggak suka menuruti perintah seseorang,” sahutnya dengan santai.

Arman berjalan di belakang Naya dan Ardila, seolah menjelaskan tidak ada yang boleh mengganggu kedua wanita ini.

Setelah ketika orang itu menghilang dari pandangannya, Firman meninju dinding penuh emosi.

Sesaat Firman seperti tidak bisa berkutik di hadapan pria itu, aura yang kuat dan mengintimidasi.

Jika Firman bertemu lagi dengan pria itu, ia berjanji akan langsung menghajarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status