“Sepupuku itu ganteng loh, pengusaha lagi. Padahal sebelumnya mau aku jodohkan sama kamu,” celoteh Naya.
Sejak masuk ke dalam mobil, Naya sudah menceritakan banyak hal tentang sepupunya ini. Ardila terkekeh pelan, “Ada-ada aja kamu Nay.” “Aku serius Dil, tapi katanya dia lagi nunggu seseorang. Dari dulu sampai sekarang nggak ketemu,” lanjut Naya menceritakan sepupunya. “Nunggu jodoh itu Nay, orang kayak begitu nggak suka di ganggu.” “Betul, kalau aku cerita tentang kamu, dia cuma diam doang kayak patung,” sungut Naya kesal karena teringat sikap sepupunya itu. “Kuharap bukan aib yang kamu ceritakan, Nay.” “Maunya sih begitu, tapi dia juga gak bakal peduli.” Ketika tiba di bandara, Naya terlihat celingak-celinguk dengan postur tubuh yang tidak tenang. “Aduh Dil! Aku kebelet pipis, aku tinggal sebentar ya, Dil. Oh iya, namanya Arman Satyaloka.” Setelah berucap, Naya pergi dari hadapan Ardila. Meninggalkan Ardila dengan kebingungannya, bagaimana ia bisa tahu seperti apa rupa Arman Satyaloka itu, jika Naya saja tidak pernah menunjukan wajah pria itu padanya. “Ardila Elodie?” Mendengar namanya di sebut, Ardila menatap pria di hadapannya yang menjulang tinggi. Satu kata yang ada di benak Ardila, tampan. “Ya, Arman Satyaloka?” tanya Ardila memastikan. Ardila segera mengajak Arman masuk ke dalam mobilnya setelah pria itu mengangguk sebagai jawaban. “Mana Naya?” Bahkan di dalam mobil pun, sepupunya itu tidak terlihat sama sekali. “Ah, dia lagi ke toilet. Kita tunggu saja,” sahut Ardila seadanya. Beberapa menit berlalu, tetap saja hanya ada keheningan yang melanda. Keduanya sama-sama tidak ingin membuka suara. “Kenapa hanya diam sih!” kesal Naya yang berada di kejauhan. Ia sengaja berpura-pura kebelet untuk menjauh dan membiarkan dua insan untuk saling mengobrol dan berkenalan. Naya tau yang ia lakukan salah, apalagi status sahabatnya sudah menjadi istri orang. Tapi entah kenapa, setelah mendengar cerita Ardila semalam, membuat Naya benar-benar ingin menyatukan sepupu dan sahabatnya itu. Naya juga sangat amat yakin, suatu saat nanti Ardila pasti bercerai dengan suaminya. “Ah, sudahlah!” ucap Naya seraya berjalan ke arah mobil Ardila. “Maaf lama, banyak yang antri,” ucap Naya setelah membuka pintu mobil dan duduk di samping Ardila yang mengemudi. “Santai aja, nggak terlalu lama kok,” sahut Ardila seraya menjalankan mobilnya. Arman hanya diam, ia memalingkan wajahnya ke luar jendela. Entah apa yang ia pikirkan dengan membuat ekspresi rumit. “Man, tante sama om nggak ikut pulang?” tanya Naya melongok ke belakang. “Belum, mereka masih ada pekerjaan. Mungkin sedikit telat.” Naya menganggukkan kepalanya, sepupunya itu masih saja kaku seperti manekin hidup. Tidak ada ekspresi setiap kata yang Arman keluarkan. “Kita mampir ke resto dulu, yuk. Belum sempat sarapan nih,” seru Naya menatap mereka bergantian. “Kebetulan, aku juga belum.” Sedangkan Arman tidak berkomentar, ia hanya menurut ke mana kedua wanita ini akan pergi. “Maaf ya, Dil. Sepupu aku ini emang kaku banget, pantesan nggak ada yang deketin!” cibir Naya menyindir Arman. Mereka sudah tiba di restoran terdekat, memesan makanan lalu duduk melingkar. Mata Arman merotasi mendengar ucapan Naya, ia hanya berdehem agar Naya berhenti bicara tentangnya. “Udah, udah Nay. Sepupu kamu baru tiba, masa udah di bully,” kekeh Ardila pelan. Obrolan mereka terhenti kala pelayan datang membawa makanan mereka. “Harusnya kamu bersikap lembut Man, biar orang sebaik dan secantik Ardila kepincut sama kamu,” seru Naya tanpa bersalah. Ardila yang mendengarnya tersedak minumannya sendiri, Naya membantu menepuk-nepuk punggung Ardila. “Kecerobohan kamu bikin sahabat kamu tersedak, untung minuman kalau makanan bagaimana?” ucap Arman dingin. “Iya, iya maaf. Maafin ya, Dil. Aku cuma bercanda aja tadi,” Naya berucap dengan raut memelas. Padahal tanpa Naya seperti itu pun, Ardila sudah memaafkannya dan ia tahu itu hanya bercanda. “Aku baik-baik saja,” sahut Ardila menenangkan Naya. “Syukurlah … tapi kenapa kamu sebegitunya, Arman. Jangan-jangan kamu khawatir ya!” tebak Naya dengan senyum mengejek ke arah Arman.Setelah mengantar Naya dan Arman, Ardila tidak langsung pulang. Ia sangat malas bertemu keluarga suaminya. Di sinilah Ardila sekarang, duduk tenang di ruangannya. Asisten Ryan masuk ke dalam setelah di izinkan. Ia segera menyerahkan dokumen, “Ini dokumen yang Ibu minta.” Ardila mengangguk, ia melirik Ryan yang bergeming di tempatnya, “Ada apa Asisten Ryan?” “Bukankah ini masih masa libur Bu Ardila, kenapa bekerja?” “Aku hanya bosan, nggak ada salahnya aku bekerja.” Asisten Ryan mengangguk, “Baiklah, selamat bekerja Bu Ardila.” Ardila kembali fokus ke pekerjaannya setelah Ryan keluar ruangannya. Karena menikmati waktunya, Ardila pulang jam tujuh malam. “Bagus banget ya, keluyuran terus!” sentak Firman ketika melihat Ardila baru pulang ke rumah. “Nggak benar kali tuh di luar,” timpal Ningsih mengompori. “Stop ya, Mas, Bu! Aku capek, aku baru pulang kerja. Aku mau istirahat!” sahut Ardila seraya berlalu di hadapan mereka. “Aku baru ingat, mbak Ardila kan, punya perusahaa
Ardila masuk ke dalam kantor setelah memarkirkan mobilnya, ia meninggalkan mereka setelah menolak keras permintaan Firman. Karyawan yang berpapasan dengan Ardila, menundukkan kepalanya hormat. Ardila hanya membalas menganggukkan sedikit kepalanya. Jika sudah berurusan dengan pekerjaan, aura Ardila memancar keluar. Terlihat berwibawa, tenang dan aura pemimpin yang kuat. Ardila duduk di kursi kejayaannya, ia melihat-lihat dokumen yang di serahkan asisten Ryan. Fokusnya teralih setelah melihat dokumen kerjasamanya dengan perusahaan Loka. Ardila merasa familiar dengan nama perusahaan itu. Perhatian Ardila teralih saat terdengar ketukan pintu, “Masuk.” Asisten Ryan masuk, “Bu Ardila. Pak Firman, suami anda sedang membuat kekacauan.” Kening Ardila mengernyit, “Di mana dia?” “Di bawah, Bu. Dia sedang di tahan para satpam.” Sorot mata Ardila berubah tegas, ia berdiri dari singgasananya. Berlalu untuk menemui sang pengacau di ikuti Ryan. Melihat kedatangan Ardila dan Ryan, seluru
Ardila menyesap susu coklatnya dengan tenang, rumah yang sunyi, rintik hujan yang menenangkan dan udara dingin yang menyelimuti kulitnya begitu ia nikmati. Ardila tidak ikut mengantarkan Ibu mertuanya ke rumah sakit, karena ia pikir itu tidak perlu. Ia hanya meminjamkan kunci mobil pada Firman. “Hahh … kapan lagi aku bisa beristirahat seperti ini.” “Apakah bunda dan ayah bahagia melihat aku menjalankan surat wasiatnya walaupun tidak bahagia di sini,” lanjut Ardila dengan lirih. Lamunan Ardila terhenti ketika mendengar pintu utama terbuka, setelahnya terdengar suara Sinta dan Rosa. “Enak banget ya, kamu santai di sini setelah membuat Ibu celaka!” teriak Rosa setelah menemukan Ardila duduk santai di ruang tengah. Matanya sembab dan memerah karena menangisi keadaan malang yang menimpa ibunya. “Ibu celaka karena ulahnya sendiri,” sahut Ardila tenang, sesekali ia menyesap susu coklatnya. “Diam! Aku nggak pernah bertemu manusia sejahat kamu Mbak!” teriak Rosa lebih nyaring,
“Kamu nggak apa-apa, Dila?” tanya Naya khawatir. Naya membawa Ardila ke rumahnya, ia melihat sahabatnya yang sudah terlihat tenang. “Aku nggak apa-apa, Nay. Terima kasih ya,” ucap Ardila tersenyum tipis. Naya bernafas lega, sedetik kemudian wajahnya terlihat geram, “Ya, ampun. Aku nggak percaya tempramen Firman kayak begitu. Mending kamu cerai aja dari dia, Dila. Aku takut kamu di celakai Firman!” Ardila diam, ia bingung harus bagaimana bersikap. Pernikahannya belum genap satu bulan, tapi Firman sudah melakukan kekerasan padanya. “Aku akan bicara dengan Mas Firman dulu, kalau kondisinya semakin nggak kondusif, aku akan bercerai!” sahut Ardila dengan tegas. Naya mengangguk semangat, “Kalau sudah bercerai, kamu bisa dengan sepupuku, Arman. Walaupun dingin, dia orang yang penuh tanggung jawab kok!” Arman tersedak, ia menatap Naya malas. Sebegitu inginnya Naya menjodohkan sahabat karib dengan sepupunya. “Kamu ini, jangan suka menjodohkan seseorang. Lebih baik kamu saja ya
Menjelang siang, Ardila baru menapakkan kakinya kembali ke rumah. Beberapa kali Ardila terlihat menghembuskan nafas panjang, ia sudah siap dengan apa yang terjadi setelah ini. Pertama kali yang Ardila lihat setelah membuka pintu, semuanya terlihat rapi. Tidak berantakan seperti pagi tadi. Sangat hening, mungkin karena semuanya pergi ke rumah sakit menjenguk Ibu mertua. “Kamu sudah makan siang?” seru Firman yang muncul dari arah dapur. Ardila menggeleng pelan, “Belum.” Ardila merasa amarah Firman sudah mereda, di lihat dari caranya yang tersenyum dan berucap lembut. “Ayo makan dulu, Mas udah masak. Setelah ini kita jenguk Ibu, ya,” ajak Firman dengan lembut. Lagi-lagi Ardila mengangguk, kalau Firman bersikap lembut begini, susah sekali untuk menolaknya. Ardila mengikuti Firman dari belakang, ia melihat beberapa masakan yang sudah terhidang di atas meja. “Mas semua yang masak?” Firman mengangguk, lalu tersenyum, “Sejak dulu Mas memang sudah bisa masak, tapi karena s
“Nggak mau di salahkan, tapi kelakuan aja begitu,” timpal Rosa. Karena kejadian semalam, Rosa menjadi semakin membenci kakak iparnya ini. Kalau bukan karena hartanya, ingin sekali Rosa menjambak rambut panjangnya. “Udah Dila, nggak perlu kamu masukin ke hati kata-kata mertua dan ipar kamu. Kamu nurut aja,” ucap Afifah. Ardila menghiraukan Afifah, “Mau Ibu itu apa, sih? Ibu masuk ke sini juga karena kecerobohan sendiri, tapi aku bersedia beri Ibu kompetensi yang lebih dari cukup.” “Kalau Ibu gak suka aku, kenapa gak suruh Mas Firman ceraikan aku!” lanjut Ardila geram. Hening, Ibu Ningsih atau Rosa tidak berani menyahut. Sedangkan Afifah dan Dirjo terlihat panik. Afifah menatap Ningsih dengan tajam, “Kamu ini Ningsih, jangan keras-keras sama menantu sendiri.” Ningsih tidak bersuara, kalau anaknya bercerai dengan Ardila sekarang. Mereka akan kembali seperti dulu, serba kekurangan. “Sudahlah, Bu. Bingung aku sama kalian,” ucap Ardila seraya berlalu keluar ruangan. Afifa
Ardila pulang ke rumah, ia tidak lagi singgah ke rumah sakit. Juga tidak mau lagi mendengar omongan memuakkan ibu mertuanya. Saat membuka pintu, Ardila di sambut oleh Firman yang tersenyum cerah. “Tadi ke mana? Kata bibi Afifah kamu keluar gara-gara perkataan ibu,” seru Firman seraya mengikuti langkah Ardila. “Aku bingung sama ibu kamu Mas, aku ada salah apa sampai dia nggak sesuka itu sama aku,” adu Ardila dengan cemberut. “Maafin ibu ya, Dil. Ibu itu dulu ke pengin banget kerja kantoran, tapi nggak pernah kecapaian. Mungkin karena itu ibu sedikit gak suka sama kamu,” jelas Firman dengan lembut. Ardila menghela napas panjang, “Kamu tegur ibu ya, Mas. Aku masih mau ngehargain dia sebagai ibu kamu.” Firman mengangguk, “Sana mandi, habis itu kita makan malam bareng.” Setelah Firman keluar kamar, Ardila berlalu ke kamar mandi. Ia perlu merilekskan pikirannya yang bercabang. Saat tiba di meja makan, Ardila melihat Firman dan Sinta dengan bercengkrama. Sesekali bersenda g
Ketukan di balik pintu menyadarkan Ardila dari dunia kerjanya. Ia menatap asisten Ryan masuk setelah di izinkan. “Ini sudah jam makan siang, Bu, apa Bu Ardila nggak makan siang atau mau saya bawakan ke sini?” Ardila melirik arlojinya, ia benar-benar lupa waktunya. Perutnya juga sudah keroncongan, Ardila bangkit dari duduknya. “Temani saya makan di luar Asisten Ryan.” Ryan mengangguk, mengikuti Ardila dari belakang. “Baik, Bu.” Ardila menghentikan langkahnya, begitu pun Ryan ikut menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik, Ardila berucap, “Ke sisi saya Asisten Ryan, bukan di belakang. Ini perintah!” Mendengar suara tegas dari atasannya, Ryan melangkahkan kaki ke sisi Ardila. Ryan mengendarai mobil Ardila juga karena perintah, ia sangat tidak bisa menolak perintah atasannya. Apapun yang di ucapkan, harus ia lakukan. Karena dulu Ardila menyelamatkan nyawa Ryan, ia sempat hampir mati tenggelam jika tidak ada Ardila yang menyelamatkannya, tidak ada Ryan yang sekarang. Ja