“Dasar anak kurang ajar!” teriak Afifah dengan kesal.
“Udahlah, Bu. Nggak usah teriak-teriak, pusing Bapak dengarnya,” tegur Dirjo. Dada Afifah naik turun menahan amarah, ia menatap sinis Ardila. “Lagian juga itu harta warisan, sudah seharusnya kamu membaginya dengan kita,” seloroh Ningsih. “Kalau hanya Mas Firman saja, aku nggak masalah. Tapi nggak untuk kalian bertiga!” sahut Ardila menatap mereka bergantian. “Mana bisa begitu, kamu mau membuat Firman nggak berbakti sama Ibu ya!” marah Ningsih menggebrak meja. “Dila, sekarang keluarga Mas kan, keluarga kamu juga. Apalagi Ibu seorang janda dan Rosa juga masih sekolah, Mas takut kalau tinggalin mereka. Kita tinggal bareng nggak apa-apa, ya,” bujuk Firman dengan lembut. Sebenarnya kalau bukan karena sikap mereka terhadapnya, Ardila juga kasian pada mertua dan adik iparnya itu. Dan dengan rela ia akan membiarkan mereka tinggal di rumah besarnya. Ardila mengangguk pelan, menatap mereka semua dengan pandangan rumit. Untuk sekarang ia akan mengalah dan memantau sikap mereka, jika semakin runyam, ia bisa mengusirnya. “Begitu dong dari tadi,” ucap Ibu Ningsih dengan sumringah. “Ayo Rosa, Sinta, kita berkemas. Kita pindah ke rumah yang lebih besar,” lanjut Ibu Ningsih seraya beranjak pergi. “Terima kasih ya, Dila. Mas juga mau berkemas dulu,” ucap Firman ikut beranjak pergi dari sana. “Kamu jangan apa-apa ngelawan Dila, bersyukur kamu di kasih seorang Ibu lagi walaupun cuma Ibu mertua. Tetap di syukuri dan di hormati,” celetuk Afifah menasehati. “Terima kasih atas nasehatnya Bibi, aku hanya bersikap sebagai mana orang memperlakukanku,” sahut Ardila seraya beranjak pergi meninggalkan Afifah dan Dirjo. “Keponakanmu tuh!” sungut Afifah kesal. “Di sabarin aja dulu, toh nanti hartanya bakal kita keruk,” sahut Dirjo dengan santai. Afifah yang membayangkan bergelimang harta menjadi tersenyum cerah, ia sibuk memikirkan ingin membeli apa nanti jika sudah mempunyai uang yang banyak. Di sinilah sekarang mereka, menghadap bangunan yang megah nan menjulang tinggi. “Wahh .. asik! Aku bakal tinggal di sini!” seru Rosa kesenangan. “Ma, ayo kita masuk. Aku mau pilih kamar yang luas,” ajak Rosa seraya mengayunkan tungkai kakinya masuk ke dalam. “Ayo Rosa, Mama juga mau tidur di kasur yang empuk!” Ardila menghembuskan nafasnya berat, ia mengikuti ke empat orang itu masuk ke dalam rumahnya. Semoga hari-harinya menjadi lebih baik. Baru saja Ardila masuk ke dalam, ia sudah di hebohkan oleh teriakan Sinta. “Mas! Aku mau kamar yang ini, kamarnya paling luas dari yang lain.” “Nggak bisa! Enak aja, itu kamar aku!” sela Ardila. “Mass .. kalau udah ada bayi kan, perlu kamar yang lebih luas,” rengek Sinta dengan manja. “Dil–” Belum sempat Firman menyelesaikan ucapannya, Ardila menyahut dengan lantang, “Sadar diri dong Mbak! Kamu itu cuma numpang, jangan seenaknya!” Setelah berucap, Ardila masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Ia hanya bisa mendengar Firman yang membujuk Sinta untuk memilih kamar yang lain. “Gini amat punya nasib, sabar-sabarin dulu aja, Dil. Kalau mereka bertingkah, tinggal tendang aja,” gumam Ardila menenangkan diri. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, perutnya keroncongan. Ia juga ada janji dengan sahabatnya, lebih baik makan siang di luar dari pada bersama mereka. Bertepatan saat Ardila membuka pintu, Ningsih sudah berada di depan kamarnya. “Masak sana, di rumah semewah ini masa nggak ada pembantu sih. Percuma dong punya rumah gede,” perintah Ningsih dengan omelannya. “Bahan makanan sudah lengkap di dapur, Bu. Ibu tinggal masak aja apa susahnya, aku sibuk ada kerjaan,” sahut Ardila seraya berlalu. “Dila! Benar-benar ya, punya menantu! Kamu itu harus ngelayanin orang yang ada di rumah ini!” teriak Ningsih dengan dadanya naik turun menahan amarah. “Aku bukan pembantu, Bu. Terserah kalau Ibu gak suka!” sahut Ardila tak kalah sengit. Sebelum masalah menjadi besar, Ardila buru-buru keluar dari rumah. Ia menuju garasi, melajukan mobil kesayangannya untuk bertemu sahabat tercintanya. “Gila! Mending cerai deh!” ucap seorang wanita dengan geram setelah mendengar cerita sabahatnya. “Tapi ini wasiat orang tuaku, Nay. Aku ngerasa berdosa kalau sampai nggak ngejalanin,” sahut Ardila pasrah. “Kalau begitu, gimana dengan sepupuku aja!”“Gila kamu, Naya! Nggak mungkinlah,” sanggah Ardila menggelengkan kepalanya.“Mungkin aja, sepupuku lebih baik dari pada Firman. Aku yakin itu!” “Dan lagi nggak mungkin orang tua kamu mau lihat kamu nggak bahagia Dila. Orang tua kamu pasti lebih memilih kebahagiaan kamu dari pada perjodohan itu!” lanjut Naya. “Aku nggak tau harus gimana, Nay. Yang aku pikirkan sekarang mencoba untuk menjalaninya, jika aku udah nggak kuat. Aku bakal ikuti katamu, cerai.” Naya menghembuskan napasnya panjang, “Baiklah, semua keputusan ada di tangan kamu. Kalau kamu butuh apa-apa bisa panggil aku.” Ardila mengangguk, ia tersenyum haru karena memiliki sahabat seperti Naya yang selalu ada untuknya.“Terima kasih sayangku,” ucap Ardila seraya memeluk Naya erat.“Kamu itu udah aku anggap sebagai saudara, jadi kita harus saling bahu membahu, paham!” sahut Naya dengan tegas.“Ay ay kapten!” kekeh Ardila di ikuti Naya.***Ardila yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sudah di sambut denga
“Sepupuku itu ganteng loh, pengusaha lagi. Padahal sebelumnya mau aku jodohkan sama kamu,” celoteh Naya. Sejak masuk ke dalam mobil, Naya sudah menceritakan banyak hal tentang sepupunya ini. Ardila terkekeh pelan, “Ada-ada aja kamu Nay.” “Aku serius Dil, tapi katanya dia lagi nunggu seseorang. Dari dulu sampai sekarang nggak ketemu,” lanjut Naya menceritakan sepupunya. “Nunggu jodoh itu Nay, orang kayak begitu nggak suka di ganggu.” “Betul, kalau aku cerita tentang kamu, dia cuma diam doang kayak patung,” sungut Naya kesal karena teringat sikap sepupunya itu. “Kuharap bukan aib yang kamu ceritakan, Nay.” “Maunya sih begitu, tapi dia juga gak bakal peduli.” Ketika tiba di bandara, Naya terlihat celingak-celinguk dengan postur tubuh yang tidak tenang. “Aduh Dil! Aku kebelet pipis, aku tinggal sebentar ya, Dil. Oh iya, namanya Arman Satyaloka.” Setelah berucap, Naya pergi dari hadapan Ardila. Meninggalkan Ardila dengan kebingungannya, bagaimana ia bisa tahu seperti apa rup
Setelah mengantar Naya dan Arman, Ardila tidak langsung pulang. Ia sangat malas bertemu keluarga suaminya. Di sinilah Ardila sekarang, duduk tenang di ruangannya. Asisten Ryan masuk ke dalam setelah di izinkan. Ia segera menyerahkan dokumen, “Ini dokumen yang Ibu minta.” Ardila mengangguk, ia melirik Ryan yang bergeming di tempatnya, “Ada apa Asisten Ryan?” “Bukankah ini masih masa libur Bu Ardila, kenapa bekerja?” “Aku hanya bosan, nggak ada salahnya aku bekerja.” Asisten Ryan mengangguk, “Baiklah, selamat bekerja Bu Ardila.” Ardila kembali fokus ke pekerjaannya setelah Ryan keluar ruangannya. Karena menikmati waktunya, Ardila pulang jam tujuh malam. “Bagus banget ya, keluyuran terus!” sentak Firman ketika melihat Ardila baru pulang ke rumah. “Nggak benar kali tuh di luar,” timpal Ningsih mengompori. “Stop ya, Mas, Bu! Aku capek, aku baru pulang kerja. Aku mau istirahat!” sahut Ardila seraya berlalu di hadapan mereka. “Aku baru ingat, mbak Ardila kan, punya perusahaa
Ardila masuk ke dalam kantor setelah memarkirkan mobilnya, ia meninggalkan mereka setelah menolak keras permintaan Firman. Karyawan yang berpapasan dengan Ardila, menundukkan kepalanya hormat. Ardila hanya membalas menganggukkan sedikit kepalanya. Jika sudah berurusan dengan pekerjaan, aura Ardila memancar keluar. Terlihat berwibawa, tenang dan aura pemimpin yang kuat. Ardila duduk di kursi kejayaannya, ia melihat-lihat dokumen yang di serahkan asisten Ryan. Fokusnya teralih setelah melihat dokumen kerjasamanya dengan perusahaan Loka. Ardila merasa familiar dengan nama perusahaan itu. Perhatian Ardila teralih saat terdengar ketukan pintu, “Masuk.” Asisten Ryan masuk, “Bu Ardila. Pak Firman, suami anda sedang membuat kekacauan.” Kening Ardila mengernyit, “Di mana dia?” “Di bawah, Bu. Dia sedang di tahan para satpam.” Sorot mata Ardila berubah tegas, ia berdiri dari singgasananya. Berlalu untuk menemui sang pengacau di ikuti Ryan. Melihat kedatangan Ardila dan Ryan, seluru
Ardila menyesap susu coklatnya dengan tenang, rumah yang sunyi, rintik hujan yang menenangkan dan udara dingin yang menyelimuti kulitnya begitu ia nikmati. Ardila tidak ikut mengantarkan Ibu mertuanya ke rumah sakit, karena ia pikir itu tidak perlu. Ia hanya meminjamkan kunci mobil pada Firman. “Hahh … kapan lagi aku bisa beristirahat seperti ini.” “Apakah bunda dan ayah bahagia melihat aku menjalankan surat wasiatnya walaupun tidak bahagia di sini,” lanjut Ardila dengan lirih. Lamunan Ardila terhenti ketika mendengar pintu utama terbuka, setelahnya terdengar suara Sinta dan Rosa. “Enak banget ya, kamu santai di sini setelah membuat Ibu celaka!” teriak Rosa setelah menemukan Ardila duduk santai di ruang tengah. Matanya sembab dan memerah karena menangisi keadaan malang yang menimpa ibunya. “Ibu celaka karena ulahnya sendiri,” sahut Ardila tenang, sesekali ia menyesap susu coklatnya. “Diam! Aku nggak pernah bertemu manusia sejahat kamu Mbak!” teriak Rosa lebih nyaring,
“Kamu nggak apa-apa, Dila?” tanya Naya khawatir. Naya membawa Ardila ke rumahnya, ia melihat sahabatnya yang sudah terlihat tenang. “Aku nggak apa-apa, Nay. Terima kasih ya,” ucap Ardila tersenyum tipis. Naya bernafas lega, sedetik kemudian wajahnya terlihat geram, “Ya, ampun. Aku nggak percaya tempramen Firman kayak begitu. Mending kamu cerai aja dari dia, Dila. Aku takut kamu di celakai Firman!” Ardila diam, ia bingung harus bagaimana bersikap. Pernikahannya belum genap satu bulan, tapi Firman sudah melakukan kekerasan padanya. “Aku akan bicara dengan Mas Firman dulu, kalau kondisinya semakin nggak kondusif, aku akan bercerai!” sahut Ardila dengan tegas. Naya mengangguk semangat, “Kalau sudah bercerai, kamu bisa dengan sepupuku, Arman. Walaupun dingin, dia orang yang penuh tanggung jawab kok!” Arman tersedak, ia menatap Naya malas. Sebegitu inginnya Naya menjodohkan sahabat karib dengan sepupunya. “Kamu ini, jangan suka menjodohkan seseorang. Lebih baik kamu saja ya
Menjelang siang, Ardila baru menapakkan kakinya kembali ke rumah. Beberapa kali Ardila terlihat menghembuskan nafas panjang, ia sudah siap dengan apa yang terjadi setelah ini. Pertama kali yang Ardila lihat setelah membuka pintu, semuanya terlihat rapi. Tidak berantakan seperti pagi tadi. Sangat hening, mungkin karena semuanya pergi ke rumah sakit menjenguk Ibu mertua. “Kamu sudah makan siang?” seru Firman yang muncul dari arah dapur. Ardila menggeleng pelan, “Belum.” Ardila merasa amarah Firman sudah mereda, di lihat dari caranya yang tersenyum dan berucap lembut. “Ayo makan dulu, Mas udah masak. Setelah ini kita jenguk Ibu, ya,” ajak Firman dengan lembut. Lagi-lagi Ardila mengangguk, kalau Firman bersikap lembut begini, susah sekali untuk menolaknya. Ardila mengikuti Firman dari belakang, ia melihat beberapa masakan yang sudah terhidang di atas meja. “Mas semua yang masak?” Firman mengangguk, lalu tersenyum, “Sejak dulu Mas memang sudah bisa masak, tapi karena s
“Nggak mau di salahkan, tapi kelakuan aja begitu,” timpal Rosa. Karena kejadian semalam, Rosa menjadi semakin membenci kakak iparnya ini. Kalau bukan karena hartanya, ingin sekali Rosa menjambak rambut panjangnya. “Udah Dila, nggak perlu kamu masukin ke hati kata-kata mertua dan ipar kamu. Kamu nurut aja,” ucap Afifah. Ardila menghiraukan Afifah, “Mau Ibu itu apa, sih? Ibu masuk ke sini juga karena kecerobohan sendiri, tapi aku bersedia beri Ibu kompetensi yang lebih dari cukup.” “Kalau Ibu gak suka aku, kenapa gak suruh Mas Firman ceraikan aku!” lanjut Ardila geram. Hening, Ibu Ningsih atau Rosa tidak berani menyahut. Sedangkan Afifah dan Dirjo terlihat panik. Afifah menatap Ningsih dengan tajam, “Kamu ini Ningsih, jangan keras-keras sama menantu sendiri.” Ningsih tidak bersuara, kalau anaknya bercerai dengan Ardila sekarang. Mereka akan kembali seperti dulu, serba kekurangan. “Sudahlah, Bu. Bingung aku sama kalian,” ucap Ardila seraya berlalu keluar ruangan. Afifa