Kalau ada gelar pasangan paling repot atau paranoid, mungkin Ksatria sudah bisa masuk ke dalam jajaran nomine yang pantas mendapat gelar tersebut.
“Udah sana, berangkat,” usir Rinai pada Ksatria yang masih duduk di terasnya dengan gamang. “Aku cuma di rumah, terus nongkrong sebentar sama Shua. Kenapa kamu mesti khawatir banget gini sih?”
Ksatria menggeleng pelan, enggan menjawab pertanyaan Rinai. Sudah lebih dari seminggu sejak Ksatria mengetahui rencana Aleah yang ingin mengajak Atlas menjadi sekutunya.
Sejak saat itu juga, Ksatria jadi benar-benar menjaga Rinai dengan hati-hati. Setiap kali mereka keluar, Ksatria akan memperhatikan lingkungan sekitar mereka selama beberapa menit sekali.
“Udah bosen kamu?”“Udah bosen banget, Pa,” jawab Ksatria tanpa tedeng aling. Ksatria menyugar rambutnya dengan asal.“Sabar, sebentar lagi juga selesai.” Haydar menepuk bahu Ksatria beberapa kali. “Ini kan demi bangun koneksi untuk kamu ke depannya nanti juga.”“Iya,” jawab Ksatria singkat.“Habis ini kita makan dulu di restoran anaknya Pak Bagja. Nggak jauh dari sini,” beri tahu Haydar kepada Ksatria. Pak Bagja yang ia maksud adalah salah satu petinggi di departemen keuangan Heavenly & Co.“Sampai malam?” Ksatria melirik jam tangannya. Ia kan sudah berjan
“Akhir-akhir ini hobimu bikin orang lain jantungan ya, Nai.”Rinai tak langsung menyahut. Orang yang bicara kepadanya pun tidak berharap kalau Rinai akan segera menjawabnya.Rinai menatap ke sekitarnya dan mendesah pelan. Lagi-lagi di rumah sakit. Padahal dulu Rinai bukan orang yang mudah sakit dan ia hanya pernah satu kali dirawat di rumah sakit karena demam berdarah.Tapi belum genap sebulan setelah kecelakaan yang ia alami, kini Rinai harus kembali lagi ke rumah sakit."Aku mau pulang.”“Heh? Enak aja!” Shua menentang keras ide tersebut. “Kamu tuh keracunan makanan, Nai. Bukan cuma pingsan karena habis upacara.”“Jadi aku keracunan makanan?”Shua mengangguk. Perempuan yang sejak tadi sibuk mondar-mandir tak jelas karena khawatir, kini mendekat ke ranjang Rinai dan membantu perempuan itu supaya bisa duduk bersandar dengan bantuan bantal di punggungnya.“Iya, tapi aku sama Janar baik-baik aja,” beri tahu Shua. “Kamu makan apa sebelum makan sama aku? Di rumah makan sesuatu?”“Aku cuma
“Aku nggak lagi sakit lho padahal, Sat.”“Kamu emang nggak lagi sakit, cuma habis keracunan makanan.”Rinai cemberut dan Ksatria hampir luluh hanya karena perempuan di hadapannya itu tengah melancarkan aksi merajuknya.Sebenarnya bukan hanya Ksatria saja yang pintar merajuk atau ngambek seperti balita—Rinai pun tidak beda jauh. Hanya saja perempuan itu jarang melakukannya dan sepertinya tidak menyadari, kalau Ksatria mudah luluh dalam hitungan detik hanya dengan melihatnya cemberut.“Kalau ngasih bubur tuh sekalian yang enak kek, Sat. Yang ada kaldunya, nggak pakai kacang, terus suwiran ayam bonus tulang rawan gitu lho,” protes Rinai lagi.“Masih untung ini aku bonusin bawang goreng, Nai. Orang-orang kalau sakit palingan mentok ditambahin kecap.”“Ah, nggak seru.”“Udah nurut aja dulu. Besok juga aku kasih makanan yang bener lagi kok.” Ksatria menyendok bubur dari mangkok yang ia pegang, lalu menyodorkannya ke depan mulut Rinai. “Aaa.”“Males.”“Aku tambahin ciumanku biar rasanya maki
Selama ini Rinai jadi saksi bagaimana Ksatria memperlakukan perempuan yang tengah bersamanya—baik yang hanya sehari atau yang paling lama ya hanya dalam hitungan bulan.Ksatria tentu tidak anti perempuan. Lelaki itu memperlakukan semua pasangannya dengan baik, hanya saja semua tindakannya bukan berasal dari keinginan hatinya, melainkan dari apa yang diberi tahu pasangannya atau yang terlihat kodenya oleh Ksatria.Dinner berdua di restoran mewah, buket bunga yang dikirim tanpa pemberitahuan, kado berupa tas atau sepatu mewah, hingga bermalam bersama adalah hal yang lumrah Ksatria berikan kepada mereka semua.Tetapi, Ksatria tidak pernah mendatangi rumah atau apartemen para perempuan yang perna
Ksatria menatap jajaran dasinya dan mendecakkan lidahnya. Karena tak kunjung menemukan solusi, akhirnya ia mengambil ponselnya yang ia taruh sembarangan di atas ranjang.Tangannya bergerak dengan cepat dan ketika sudah tersambung dengan Rinai, Ksatria mengaktifkan mode loudspeaker supaya bisa tetap bicara tanpa memegang ponselnya.“Nai, udah pakai baju?”“Penting banget ya pertanyaannya?!”Galaknya Rinai yang bertanya balik memancing kekehan Ksatria. “Penting dong, Yang.”“Udahlah!” jawab Rinai masih dengan sama galaknya. “Kenapa telepon pagi-pagi begini? Aku mau siap-siap sarapan.
“I need coffee. Entah kenapa hidungku gatal dari tadi.”Rinai mengamati Ksatria yang tak berhenti mengusap hidungnya usai mereka keluar dari lab. Hari ini ada satu sesi sniffing di lab untuk produk baru yang rencananya akan di-launching tahun depan.Produk itu merupakan extrait de parfum yang konsentrasinya tentu saja lebih tinggi dari eau de parfum alias EDP, jadi tak heran kalau Ksatria tidak bertahan lama-lama di sana. Apalagi ada aroma ylang-ylang yang tidak terlalu disukainya.“Mau ke bawah?” tawar Rinai merujuk pada coffee shop langganan mereka.Aroma kopi mampu menetralkan indra penciuman mereka.
“What’s your plan today?”“Aku mau ke mall, cari kado.”“Buat siapa?”“Al.”Ksatria yang awalnya hanya bertanya sambil lalu karena baru kembali dari gudang di mana stok produk Heavenly & Co berada, langsung menghentikan langkahnya dan menatap Rinai dengan ekspresi merajuk.“Kok kamu kasih kado buat dia?” tanyanya dengan tak terima.“Karena aku baru inget sebentar lagi dia ulang tahun.” Merasa tak ada yang salah, Rinai yang langkahnya ikut berhenti pun menjawab dengan ringan.
“Kamu malam ini mau kencan sama Ksatria?”“Nggak kok, Pa.”Bantahan yang datangnya secepat kilat itu malah memancing kekehan Sandy. “Tapi kamu hari ini pakai baju yang nggak biasa kamu pakai ke kantor. Papa lihat juga kamu pakai heels yang ada pitanya, padahal kamu biasanya pakai yang polos terus.”“Papaaa, berhenti godain aku dong,” rengek Rinai pada sang ayah.Sandy kembali tertawa, menggoda anaknya setelah tahu kalau Rinai dan Ksatria sudah bersama sebagai pasangan, akhir-akhir ini menjadi hobi barunya.Sore ini ayah dan anak itu bertemu di coffee shop lantai tiga. Rinai membeli kopi untuk dirinya dan Ksatria yang masih sibuk menerima telepon dari salah satu pro