Setelah Arshaka meninggalkannya sendiri di ruangannya, Varisha duduk dalam keheningan. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan dan pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya. Dia merenung tentang pilihan yang harus dia buat dan dampaknya terhadap hidupnya dan keluarganya.
Di tengah ketidakpastian, Varisha menyadari bahwa melawan Arshaka dengan caranya sendiri tidak akan menghasilkan apa-apa. Dia tahu dia berada dalam posisi yang sangat lemah menghadapi kekuasaan dan ancaman Arshaka.
Dalam ruangan yang sunyi, Varisha menunggu Arshaka yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Tanpa sadar, kelelahan dan stres membuat matanya terpejam, dan Varisha tertidur dalam sekejap. Ketika dia akhirnya membuka matanya, pandangannya segera tertuju pada sosok Arshaka yang duduk dengan tenang di sofa, tatapannya tajam tak terlepaskan dari wajah Varisha.
“Apa yang masih kamu lakukan di sini?” tanya Arhaka dengan dingin.
Varisha memperhatikan Arshaka dengan cemas saat dia bangun dari tidurnya. Kehadiran pria itu selalu menyiratkan ancaman dan ketegangan.
Varisha menghela napas dan mengusap wajahnya yang letih. "Saya ingin menyampaikan keputusan saya."
“Kamu yakin akan menjawabnya sekarang?” tanya Arshaka dengan acuh tak acuh.
Varisha mengangguk pelan. “Sebanyak apapun waktu yang Anda berikan, saya tahu itu tidak akan berbeda karena sejak awal saya tidak memiliki banyak pilihan.
"Jadi, apa keputusanmu?" tanya Arshaka sambil menyeringai melihat ketidakberdayaan Varisha di hadapannya.
Varisha berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan tegas, "Saya setuju untuk menikah dengan Anda."
“Tapi sebelum itu ada syarat yang harus Anda penuhi,” lanjut Varisha sambil menatap wajah Arshaka dengan dalam.
Arshaka menyimak dengan ketertarikan yang samar. "Apa syaratnya?"
“Saya akan menerima pernikahan ini asalkan Anda memenuhi janji untuk menjaga keluarga saya," ucap Varisha dengan tegas.
Arshaka mengangkat alisnya dengan ketertarikan. "Keluargamu?"
“Saya tahu Anda pasti sudah menyelidiki tentang saya dan keluarga saya. Anda juga pasti mengetahui tentang kondisi keluarga saya. Untuk itu saya ingin agar Anda membiayai pengobatan adik saya. Dan saya ingin Anda memastikan ayah saya tidak bisa lagi menyakiti mereka," ujar Varisha dengan tegas.
“Apa ada syarat lainnya?” tanya Arshaka sambil memperhatikan wajah Varisha.
Varisha merenung sejenak, memastikan dia telah memikirkan semuanya. "Saya hanya ingin menikah dengan Anda selama dua tahun. Hanya sampai saya menyelesaikan kuliah saya. Setelah itu, saya akan pergi dari kehidupan Anda dan melanjutkan hidup bersama keluarga saya.”
Dalam keheningan ruangan yang diisi dengan ketegangan, Arshaka menatap Varisha dengan tatapan tajamnya. Ekspresi dinginnya tak pernah pudar. Dia merenung sejenak, mempertimbangkan syarat-syarat yang diajukan oleh Varisha.
Arshaka tersenyum dengan sinis. "Baiklah, semua syarat itu akan saya penuhi."
"Tapi ingat, Varisha, selama kita menikah, kamu akan tunduk pada peraturan-peraturan yang saya tetapkan. Tidak akan ada yang berubah tanpa persetujuan saya."
Varisha merasa tidak nyaman dengan sikap dingin dan dominan Arshaka, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak punya banyak pilihan. Ia telah memutuskan untuk mengambil risiko ini demi keluarganya, dan dia akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi komitmennya.
"Saya mengerti," ujar Varisha dengan suara rendah, sementara Arshaka tersenyum dengan penuh kemenangan.
***
Beberapa hari berlalu setelah pertemuan itu, persiapan pernikahan Varisha dan Arshaka mulai berjalan. Varisha merasa tegang dan cemas setiap hari. Dia tahu bahwa hidupnya akan berubah secara drastis, dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.Pada hari pernikahan, Varisha duduk di ruang ganti pengantin, memandangi gaun putihnya yang indah. Ia merasa seperti sedang bermimpi, dan kenyataan bahwa ia akan segera menikah dengan Arshaka masih belum sepenuhnya terserap dalam pikirannya.
Ketika saatnya tiba, Varisha berjalan di lorong menuju altar dengan langkah yang gemetar. Gaun putihnya membuatnya terlihat anggun dan cantik, tetapi matanya masih mencerminkan ketidakpastian dan kecemasan. Seluruh ruangan gereja nampak sepi, hanya ada beberapa orang yang datang sebagai saksi pernikahan mereka. Bahkan keluarga dari kedua belah pihak tidak hadir, karena mereka telah setuju untuk merahasiakan pernikahan ini untuk sementara waktu.
Sementara itu, Arshaka sudah menunggu di altar dengan ekspresi wajah yang tenang. Dia tampak seperti pria yang meraih kemenangan besar, dan senyum dinginnya tidak pernah lepas dari bibirnya. Arshaka mengenakan setelan jas hitam yang elegan, menciptakan kontras dengan gaun putih Varisha.
Saat mereka berdiri berdampingan, pendeta yang akan memimpin pernikahan itu mulai berbicara, sementara Arshaka dan Varisha berdiri berdampingan, tetapi tidak bersentuhan. Kedua pengantin mendengarkan kata-kata pendeta dengan cermat, meskipun hati mereka dipenuhi dengan perasaan yang berbeda.
Pendeta mengambil langkah maju, memandang Arshaka dan Varisha dengan tulus.
Pendeta mulai dengan kata-kata sakral, "Apakah kamu, Arshaka Diaksara, bersedia mengambil Varisha Octavia sebagai istrimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam kekayaan dan kekurangan, dalam kesehatan dan sakit, dalam kebahagiaan dan kesedihan, selama kamu hidup?"
"Ya, saya bersedia," jawab Arshaka dengan tegas.
Kemudian, pendeta mengalihkan pandangannya ke Varisha dan memberi pertanyaan, "Apakah kamu, Varisha Octavia, bersedia mengambil Arshaka Diaksara sebagai suamimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam kekayaan dan kekurangan, dalam kesehatan dan sakit, dalam kebahagiaan dan kesedihan, selama kamu hidup?"
Varisha merasa keraguan dalam hatinya, tetapi dia tahu bahwa dia harus menjalani janji ini untuk melindungi keluarganya. Dengan suara yang agak gemetar, dia menjawab, "Saya… saya bersedia.”
Kedua pengantin saling memandang, dan dalam mata mereka terpancar perasaan campur aduk. Varisha merasa seperti dia telah menjual dirinya ke dalam pernikahan ini untuk melindungi keluarganya, sementara Arshaka merasa telah mencapai tujuannya untuk mengendalikan Varisha sepenuhnya.
Pendeta kemudian meminta keduanya untuk bertukar cincin sebagai lambang komitmen mereka satu sama lain. Mereka melakukannya tanpa ekspresi yang berarti, cincin itu bergulir dari jari Varisha ke jari Arshaka dan sebaliknya.
"Dengan ini, saya mengumumkan Anda sebagai suami dan istri. Anda dapat mencium pengantin Anda," ucap pendeta.
Arshaka mendekatkan tubuhnya lalu mencium Varisha, sementara Varisha merasa air matanya tak tertahankan ketika menerima sentuhan Arshaka di bibirnya. Setelah beberapa saat, Arshaka melepaskan ciumannya dan mengusap air mata Varisha.
“Mulai sekarang, kamu harus tersenyum di hadapan saya, tidak peduli seberat dan sesakit apapun perasaanmu," bisik Arshaka dengan seringai tajamnya sementara Varisha hanya bisa mengepalkan tangannya dengan kuat.
Beberapa minggu telah berlalu sejak pernikahannya dengan Arshaka, dan malam ini, setelah pria itu kembali dari perjalanan bisnisnya, Varisha akan bertemu dengannya lagi. Sebelumnya, Arshaka telah memberikan pesan kepada sekretarisnya untuk memberitahu Varisha untuk mempersiapkan diri untuk menemuinya.Saat malam itu tiba, Varisha turun dari mobil yang membawanya ke sebuah rumah mewah yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Varisha mencoba mengatur detak jantung yang berdebar cukup kencang. Ia memeriksa penampilannya sekali lagi di depan cermin, memastikan bahwa segalanya terlihat baik. Setelah yakin dirinya siap, Varisha melangkah masuk ke dalam rumah tersebut.Varisha menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Arshaka yang sedang berdebat. Varisha terdiam ketika mendengar percakapan itu.“Papa sudah mengatur pertunanganmu dengan Adelia bulan depan.”“Saya tidak bisa melakukan pertunangan itu.”“Papa tidak meminta pendapat kamu, mau tidak mau pertunangan ini akan terjadi.”“Bagai
*Lima tahun kemudian*Varisha melangkah dengan hati-hati melintasi koridor yang tenang menuju ruangan Ganendra. Dalam genggaman tangannya, dia membawa dua gelas kopi yang masih mengepulkan uap harum. Ruangan itu, biasanya penuh dengan keramaian dan suara rapat, sekarang tampak tenang dan terkesan lebih eksklusif. Terkadang, Ganendra suka beristirahat sejenak di sini, menjauh dari hiruk-pikuk bisnisnya.Varisha telah bekerja sebagai sekretaris pribadi Ganendra selama hampir dua tahun sejak dia lulus kuliah dan memulai karirnya. Ganendra adalah seorang pengusaha sukses dan CEO HW Group, sebuah perusahaan teknologi terkemuka yang menguasai pasar dengan inovasi terbaru. Baginya, bekerja di perusahaan ini adalah kesempatan besar, meskipun kadang-kadang pekerjaannya bisa menjadi sangat menuntut.Ketika Varisha memasuki ruangan, dia melihat seorang pria duduk di sofa kulit berwarna krim. Pria itu, yang membelakangi pintu masuk, tampak sangat keren dalam setelan jasnya yang mahal. Rambutnya y
Varisha dengan penuh profesionalisme menjelaskan dengan rinci agenda pertemuan berikutnya kepada Ganendra. Suaranya tenang dan jelas, dan matanya fokus pada bosnya yang menatapnya dengan serius. Ganendra dikenal sebagai seorang pria yang tajam dan sangat memperhatikan setiap detail, sehingga kemampuan Varisha dalam mengelola jadwal dan informasi sangat dihargai olehnya. "Dalam pertemuan besok," Varisha memulai penjelasannya, "Anda akan bertemu dengan tim pengembangan produk untuk mendiskusikan perkembangan terbaru dalam proyek XY-123. Pertemuan ini akan diadakan di ruang konferensi utama pada pukul 10 pagi. Seluruh dokumen dan presentasi yang Anda butuhkan sudah saya siapkan.”"Saya juga sudah menyiapkan jadwal pertemuan selanjutnya untuk hari ini, Pak," katanya dengan suara yang tenang.Ganendra selesai meresensi beberapa dokumen dan menatap ke arah Varisha. “"Terima kasih, Varisha. Kamu sudah bekerja keras hari ini." Varisha tersenyum dengan tulus. "Sama-sama, Pak." Sebelum Vari
Taksi berhenti tepat di depan apartemen Varisha, dan tanpa banyak bicara, dia segera membayar tarifnya. Varisha keluar dari taksi dan melihat Arshaka yang masih duduk di dalam, menatapnya dengan tatapan dingin yang tak terbaca. Tanpa berbicara lebih lanjut, Varisha meninggalkan mobil dan melangkah menuju pintu masuk apartemennya.Pintu lift terbuka begitu dia mencapai lobi apartemen, dan tanpa banyak berpikir, Varisha memasuki lift. Dia ingin secepatnya tiba di lantai apartemennya, menjauh dari situasi yang tidak nyaman ini. Varisha menekan tombol lantai apartemennya.Tapi saat pintu lift hendak menutup, tangan Arshaka tiba-tiba muncul di celah pintu, membuatnya terbuka kembali. Varisha menoleh dan melihat Arshaka telah masuk ke dalam lift dan berdiri di sisinya. Varisha menggigit bibirnya, merasa frustrasi. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Pertemuan yang rumit ini sepertinya tidak akan berakhir begitu saja.Sementara, Arshaka menatapnya dengan ekspresi yang sama di
Kembali pada rutinitasnya di kantor, Varisha mencoba fokus pada pekerjaannya. Hari ini, dia merasa sedikit terganggu oleh pertemuan pagi tadi dengan Arshaka. Meskipun mereka terus berpapasan, hubungan mereka yang rumit selalu menghadirkan ketidaknyamanan yang tidak bisa dihindari. Beberapa jam berlalu, dan Varisha sedang sibuk menyelesaikan beberapa tugas ketika telepon kantor di sebelahnya berdering. Dengan sigap, dia menjawab panggilan itu dan memberi salam dengan sopan. "Selamat siang," Varisha akhirnya berkata dengan sabar, mencoba memahami situasi.Namun, hanya ada keheningan di seberang sambungan, dan Varisha mulai merasa curiga. Kemudian, suara yang sangat dikenal membuat hatinya berdebar kencang, "Varisha."Varisha menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menjaga dirinya tetap tenang. "Apa yang bisa saya bantu, Pak? Apakah Anda ingin berbicara dengan Pak Ganendra?" tanyanya dengan nada yang tetap profesional.Arshaka hanya terdiam sejenak, membuat Varisha merasa tidak nyaman
Langit sore itu memancarkan warna oranye yang hangat, menciptakan suasana yang tenang ketika Varisha melangkah masuk ke dalam ruangan kantor Cakra Diaksara. Ruangan itu, seperti biasa, penuh dengan nuansa kemewahan dan keanggunan, mencerminkan kepribadian pemiliknya. Cakra duduk di balik meja besar, senyumnya yang ramah menyambut Varisha."Selamat sore, Varisha," sambut Cakra sambil mengangkat sejumput surat kabar yang menutupi meja kerjanya."Selamat sore, Pak," jawab Varisha sambil membalas senyuman. Ia kemudian duduk di kursi yang ditunjuk oleh Cakra. Dalam genggamannya, Varisha membawa sebuah bingkisan kecil berisi suplemen vitamin yang dikhususkan untuk Cakra."Saya membawa beberapa vitamin untuk Anda, Pak. Saya harap kesehatan Anda tetap terjaga."Cakra tersenyum ramah. "Terima kasih, Varisha, saya sangat menghargainya. Kesehatan saya cukup baik, meski tentu saja tak sekuat dulu.” “Jadi, hal apa yang membawa kamu ke sini?” tanya Cakra dengan raut wajah yang cukup serius.Varish
Hari itu, ketika Varisha datang kembali ke kantor Cakra, hujan turun dengan lebatnya. Rintik hujan menimpa jendela-jendela kantor, dan angin malam membawa aroma basah yang khas. Varisha memarkirkan mobilnya dengan hati-hati, tetapi saat ia keluar dari kendaraannya, hujan lebat langsung membasahi pakaiannya.Varisha melangkah dengan mantap melalui koridor kantor yang sudah hampir kosong karena hampir semua karyawan sudah pulang. Varisha langsung menuju pintu ruangan Cakra. Dia mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.” Varisha melangkah masuk setelah mendengar suara izin dari dalam.Saat Varisha memasuki ruangan, Cakra terkejut. Ia dengan cepat bangkit dari kursinya ketika melihat pakaian Varisha yang sudah basah oleh hujan. Cakra memandangnya dengan khawatir."Kenapa pakaianmu sampai basah begini?" tanya Cakra, khawatir.Varisha tersenyum lembut, mencoba meredakan kekhawatiran Cakra. “Tadi di depan tiba-tiba hujan, Pak.” Cakra yang telah terlalu sibuk dengan urusannya sejak tadi tidak me
Hujan semakin deras, Varisha merasakan dingin malam merasuk ke tubuhnya. Ia masih setia menunggu sambil terus menggosok tangannya yang dingin, mencoba menghangatkan dirinya. Sementara Varisha sibuk dengan pikirannya sendiri, dia tidak menyadari bahwa seseorang berdiri di sampingnya.Baru saat mobil berhenti di depannya dan Aryo, supir pribadi Arshaka keluar dari mobil membuat Varisha tersadar. Ia menoleh dan baru menyadari kehadiran Arshaka. Pria itu berdiri dalam diam dan menatapnya dengan tatapan tajam.Varisha ingin menghindari pandangan Arshaka, tetapi kehadiran pria itu telah membuatnya terjebak. Dia mencoba untuk terlihat acuh tak acuh, menatap hujan yang turun, berharap Arshaka akan pergi dan membiarkannya sendiri.Varisha memutuskan untuk kembali menerobos hujan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari kantor. Namun, sebelum ia bisa melangkah, Arshaka menahannya. Seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak ketika Varisha merasakan sentuhan tangan Arshaka yang menyentuh