"Nggak, cuma nanya gimana kunjungan kemarin? Penyambutan usernya ke kamu gimana? Bagus nggak?""Bagus, Bry. Ramah-ramah mereka. Ya, sedikit banyaknya kemarin aku cerita soal alasan pindah ke sini. Ya, mereka juga prihatin apalagi karir aku di sana bagus. "Oh begitu, awal kunjungan yang bagus ya, berarti, Ib?""Iya, Bry. Alhamdulillah. Semogalah nanti banyak produk kita yang diresepkan. Tawaran promosi jabatan masih berlaku 'kan, Bry?""Oh, jelas masih lah, Ib. Aku nggak pernah ingkar janji, kok. Buktikan aja.""Pasti, Bry. Aku juga tidak mungkin mengecewakan kamu.""Sip. Eh iya, ini daftar user yang akan kamu temu hari ini, Ib." Bryan, menyerahkan selembar kertas HVS."Oh, oke-oke. Kita visit, Bry?" tanya Ibra memastikan."Hari ini sepertinya belum, Ib. Aku masih ada janji dengan user lain."Bryan, memang tidak ingin langsung menyimpulkan apa yang sudah dia temukan kemarin. Kebohongan Ibra memang fatal. Namun, Bryan, ingin memberinya kesempatan sekali lagi."Bry, dari lima dokter yan
"Terlepas dari apa alasan kamu, Ib. Yang jelas aku hanya bisa memberimu pilihan. Jika mau izin tidak kunjungan sore nanti, besoknya kamu cukup bawa surat pengunduran diri. Atau sebaliknya, kamu tetap mengunjungi semua user, dan besok tetap masuk seperti biasa. Bagaimana? Pilihan ada di tangan kamu," ucap Bryan dengan ketegasan. Di ruangan hanya ada mereka berdua, dikarenakan marketing lain sudah duluan terjun ke area."Kamu mau memecat aku, Bry?" Suara Ibra malah meninggi, serasa direndahkan teman sendiri."Ya, dengan terpaksa jika kamu memilih untuk tidak kunjungan, Ib.""Kamu jadi kasar gitu sama teman sendiri, Bry?""Siapa yang kasar, Ib. Di dunia pekerjaan kamu bukanlah anak baru. Tahu pasti jika persoalan ini tidak bisa dicampuradukkan dengan pertemanan.""Oke, lah, aku akan tetap kunjungan. Cukup tahu bagaimana karakter kamu yang sesungguhnya, Bry." Dengan tatapan tak suka Ibra berucap.Dia terpaksa memilih untuk kunjungan, demi suatu hal.Dduuaaarrr ...Suaea ledakan gas dari
"Dennis!" sentak Laras."Ayuk, masuk dulu!""Nggak usah, aku ada perlu, biar sendiri aja. Kamu duluan aja,""Makanya masuk, dulu, Ras!" titahnya lagi tanpa menjelaskan detail.Laras pun mengiyakan dan masuk ke dalam mobil."Kenapa? Kamu kaget?" tanya Dennis sembari mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang."Ya iyalah, tumben lewat sini, Den.""Nggak tumben, kok. Emang tujuannya ke sini jemput kamu. Untung aja nggak telat banget.""Jemput aku? Maksudnya gimana?"**"Den, di mana? Sibuk?" Dinda menelepon Dennis usai menelepon dengan Laras."Sibuk ngantor biasa. Napa?""Hmm ... enggak, bisa cuti mendadak nggak, izin atau apa kek gitu.""Kenapa emang? Lu ada masalah?""Gue sih nggak ada masalah, cuma karena gue nggak bisa nganterin Laras ke pengadilan, itu yang jadi masalah.""Lu sakit?""Iya, meriang dari Subuh tadi. Jadi gimana? Bisa antar? Ini kesempatan lu, Den.""Kesempatan apa sih, Din. Gue nggak ngerti.""Halah ... sok-an lu. Lu pikir gue nggak tahu gimana hati lu ke Laras, Den.
"Dia, Liana tidak akan berhasil menghancurkannya, kalau kamu tidak ikut mendukungnya. Jangan berkilah sekarang, kalau kamu khilaf, ada khilaf bertahun. Hati, hati itu, ketika berbuat salah, saat itu juga sadar kok, hanya pikiran dan na*su kamu yang lebih berkuasa. Jadi, sampai sini paham, Mas.""Bukan aku yang pergi, tapi kamu yang melepaskan, melepaskan aku sejak kamu mengkhianati aku juga Kinara. Simpan permintaan kesempatan kamu itu, Mas. Nikmati hasil pengkhianatan dan pendzoliman yang kamu lakukan selama ini.""Aku bukan perempuan berhati sempurna. Banyak kekurangan, seperti yang pernah kamu ucapkan di malam itu. Masih ingat bukan, bagaimana kamu membanggakan Liana. Ya, aku memang perempuan banyak kekurangan, termasuk kurang untuk memberimu kesempatan, sampai kapanpun!"Laras menyeka air matanya, memejamkan mata sesaat, dan membalikkan tubuhnya.Sesak di dada, kata-kata yang selama ini hanya terangkai dalam benaknya keluar juga, terluapkan tanpa dia menginginkannya.Menerima takd
Ibra tersentak kaget. Merasa tak dihargai, di pikirannya, pasti orang di luar itu sedang bersama istrinya. "Huh, kamu mau bermain-main denganku, Annisa!""Dobrak saja!" seru salah seorang dari lelaki itu."Jangan, kita saja dia keluar."Derap langkah kaki Ibra terdengar jelas menuju pintu utama."Ada apa? Bisa sopan tidak kalau bertamu," serangnya tanpa basa-basi."Wuis, belagak dia." Seorang lelaki tadi pun ikut terbawa emosi. Namun, ditenangkan sama temannya satu lagi."Tenang, kalau dia tidak bisa memenuhi apa yang kita minta baru kita hajar.""Mau apa kalian ke sini, saya tidak banyak waktu untuk berbasa-basi," serang Ibra kembali."Jangan gertak aja yang gede. Bayar hutangmu. Kalau nggak mampu bayar jangan beli! ujar lelaki tanpa rambut, botak licin, saking licinnya, semut bisa bermain seluncuran di kepala lelaki ganas itu."Hutang apa? Kalian datang-datang malah nagih hutang. Saya tidak punya hutang!"Bugh!Sebuah pukulan lumayan keras mendarat di pipi kiri Ibra, membuat diriny
"Kenapa, Ras?" tanya Dennis yang sejak tadi sangat penasaran, padahal baru saja sambungan telepon itu berakhir, ponsel saja belum sempat dimasukkan Laras ke dalam tasnya."Nggak tahu, sih, Den. Katanya pihak rumah sakit, mas Ibra parah katanya.""Parah? Kok bisa? Terus gimana?""Begitu katanya, nggak tahu juga penyebabnya, dia cuma minta aku ke sana.""Kamu mau ke sana?""Hmm ...." Laras kembali menarik napas."Ma, papa ya, yang sakit? Papa masuk rumah sakit, Ma?" celetuk Kinara tiba-tiba yang duduk di kursi penumpang bagian belakang Laras.Laras menoleh, menjawab agak ragu, lalu kembali menghadap ke depan. Berbohong dengan menatap kedua mata Kinara dia tidak tega."Bukan, Nak. Bukan papa kamu, tapi teman mama," kilah Laras. Dia tampak memejamkan mata sebentar dan menghela napas. Mungkin berat bagi Laras berujar demikian. "Tadi mama nyebut nama papa 'kan?""Oh itu, bukan papa kamu, Ki. Namanya pak Ibrahim.""Tapi kenapa mama manggilnya mas Ibra, sama kayak manggil papa?""Iya, Ki. Ma
"Kamu di mana, Sayang? Kenapa tadi di telpon tidak diangkat?""Oh jadi, nomor baru yang masuk tadi itu kamu?""Iya, aku di rumah sakit, bisa ke sini?""Di rumah sakit? Mas ... Mas ... kamu pikir aku percaya kalau kamu di rumah sakit?""Aku serius, Sayang. Aku di rumah sakit, tadi ada yang ke rumah, mobil ditarik karena aku nggak bayar selama tiga bulan. Aku sampai ditonjok, hingga pingsan. Untung ada warga yang nolongin dan dia bawa aku ke rumah sakit. Sekarang, aku udah dibolehkan pulang, cuma aku nggak pegang uang buat bayar. Kamu bisa ke rumah sakit 'kan?""Hahahhaha ...." Bukannya prihatin mendengar penuturan Ibra yang benar adanya, Annisa malah tertawa lepas. "Kamu pikir aku percaya, Mas? Nggak sama sekali, akting mu, aku acungkan jempol sepuluh. Keren. Sayangnya aku bukan mangsa yang mudah kamu jinakkan," ucap Annisa dengan sombongnya."Say-sayang ---."Sambungan telepon diputuskan Annisa, dia yang sedang bersenang-senang di sebuah kafe."Aku tahu kamu berpura-pura, Mas. Ingat!
"Soalnya liat wajah kamu memar begitu, saya jadi curiga.""Tenang, Pak. Saya tidak sejahat yang ada dipikiran bapak, kok."Ibra sibuk memperhatikan gerak-gerik bu Nani dari kejauhan. Sedangkan bapak ojek, sibuk memainkan ponselnya. Karena yakin Ibra ini akan membayarnya lebih, dia pun menonaktifkan aplikasinya.Pergerakan bu Nani semakin jelas terlihat, karena dia duduk paling pojok tak jauh dari tempat Ibra bersembunyi.Bu Nani tampak menelepon seseorang dan Ibra penasaran siapa yang diteleponnya itu. Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda seseorang menemui bu Nani."Pak, gimana? Kalau begini, saya bisa banyak rugi," keluh pak ojek."Sabar, Pak. Lima belas menit lagi, kalau misal tidak ada perubahan kita pergi!""Oke, saya tunggu. Tolong tepati janjimu!""Pasti, Pak."Lima menit kemudian, tampak sebuah mobil berhenti di pintu masuk hotel. Seorang perempuan turun dari pintu belakang."Annisa, berarti benar feeling-ku. Ibu menelepon Annisa. Ini pasti ada sesuatu," gumam Ibra."Pak,