Suara decitan mobil tepat berhenti di depan pagar rumah Mery, pemilik mobil tanpa membuang waktu langsung melepas seatbelt yang ia kenakan lalu keluar dari mobil. Diikuti dua cewek di kursi belakang dan satu cowok di sampingnya.
Pemilik mobil itu terperangah beberapa saat, terpaku pada rumah berwarna putih dengan hiasan pernak-pernik yang memanjakan mata. Biar terlihat sederhana, dari luar pemilik mobil itu kagum akan ornamen yang terukir pada sisi pintu.
Jadi, Mery termasuk orang kaya, pikir cowok itu.
"Kalian tunggu, biar gue panggil," ucap cowok itu, yang tidak lain adalah Arlan.
Satu cewek berikat rambut dengan kuku bercat putih protes. "Biar gue aja deh, gue kan sahabatnya. Minggir lo minggir." Cewek itu tak lain adalah Raya. Namun baru tiga langkah, tangan Kevin menahan kerahnya.
"Ribet, biar Arlan aja napa, entar kalo lo yang manggil seluruh kampung pada bangun," cibir Kevin.
"Apaan sih?! Lepasin gak?"
"Ngapa? Diem deh l
"Pacar..." Panggilan bernada terkejut itu kontan mengalihkan fokus seorang cowok yang sedang mengotak-atik kameranya. Aldevan meneguk saliva kasar ketika mendapati Mery berdiri dengan bekal pink di ambang pintu. "Pacar, kok malah ngadem di sini? Arlan mengatakan kamu ada urusan, terus di sini ngapain? Kamu juga lupa minta aku bawakan kue? Ayo makan dulu," ucap Mery tersenyum, berjalan mendekati Aldevan. Aldevan menaruh kameranya, dia bersuara sebelum Mery hampir mendekatinya. "STOP!" Langkah Mery terhenti, apa? Stop? Apa Mery salah dengar? Dia mengerjap menatap Aldevan. "Kenapa? Penampilan aku salah?" Aldevan tersenyum kecut, namun matanya menyiratkan keterpaksaan. "Siapa yang izinin lo masuk?" Mery terperangah. "Lho, kamu kan pacar aku, terserah lah. Lagian biasanya kamu izinin aja tuh tanpa aku minta dulu. Pacar becanda ya, ish gemes. Entar aja deh, makan dulu. Entar laper terus diarean. Kalo—" "Gue serius," potong Aldevan ce
Sepulang sekolah, Mery mengedar pandang mencari keberadaan Aldevan, meski sudah berkali-kali ia chat bahkan menelpon cowok itu, hasilnya tetap nihil. Mery bisa dibuat gila lama-lama seperti ini, setelah berpikir, akhirnya cewek itu memutuskan pergi ke parkiran dengan mulut tak hentinya ngedumel. Mungkin juga Aldevan berada di parkiran, toh, tadi dia sudah ke kelas cowok itu dan Arlan mengatakan Aldevan sudah pergi. Sesampainya di parkiran, sosok Aldevan terlihat jelas tengah mengeluarkan motornya yang terparkir. "Pacar!!" panggil Mery, lebih keras, tidak selemah saat ia di menemui Aldevan pagi tadi. Aldevan mendelik sekilas, acuh, memilih fokus mengeluarkan motornya yang terjepit. Mery menghela berat, ia menghampiri cowok itu. "Pacar, aku pulang bareng kamu ya? Pagi tadi udah bareng Arlan, sekarang bareng kamu. Ya? Oke, aku tunggu di sini." Aldevan mengerutkan dahi, Mery masih saja semaunya mengambil keputusan sendiri. "G
"Lagi ngapain? Senyum-senyum sendiri," komentar Aldevan, yang tengah duduk di kursi samping brankar Hana seraya memainkan kamera miliknya. Hana terkikik seraya menatap ponsel yang asa di tangannya. "Enggak ada. Cuman geli aja ponsel kamu ternyata masih penuh foto Mery." "Na, siniin ponselnya." Aldevan berusaha merebut ponselnya. Namun Hana secepat kilat menjauhkannya. "Nggak mau. Aku belum selesai mainin ponsel kamu." "Tapi jangan liat macam-macam. Terutama hal privasi," kilah Aldevan. Hana tersenyum tipis. "Privasi? Hubungan kamu dengan Mery itu bukan privasi lagi, Ga. Satu sekolah tau kalian pacaran." Aldevan hanya terdiam, cowok itu tidak berkomentar apa pun. Ia hanya malas membahas Mery saat ini. "Jangan putusian dia ya, Ga," pinta Hana. Aldevan berdecak sebal kedua kalinya. "Aku udah denger kamu ngucapin itu sepuluh kali." "Anggap aja itu permintaan terakhir aku Ga sebelum mening—" Belum
Mery menatap kosong ke depan, tangannya sibuk mengaduk lauk pauk serta nasi yang tersaji di piringnya. Sementara pikirannya bergelayut entah kemana. Sama sekali, ia tidak nafsu makan mengingat permintaan Aldevan sebelum pergi tadi. Ikut olimpiade? Aldevan sudah mencetak rekor pertama membuatnya bimbang seperti ini. Baginya ikut olimpiade tidaklah mudah, harus belajar penuh apalagi mengingat dirinya hanyalah cewek bodoh yang mendadak berevolusi jadi cewek cupu. Pula, waktu yang diberikan untuk belajar hanya satu bulan. Satu bulan. Sangat sedikit. "Non, makanannya jangan diaduk-aduk aja. Entar dingin, Non mau Bibi masakin yang lain atau pesen online aja?" tanya Bi Asih, datang dari arah dapur bersama buah-buahan di kedua tangannya. Lamunan Mery lantas buyar, dia menatap Bi Asih lalu menggeleng. "Enggak usah, Bi." "Yakin Non? Keliatannya gak selera. Non mikirin apa tadi. Dari tadi teh bibi liat Non ngelamun mulu," Bi Asih mengusap bahu Me
Tepat saat jam kosong, Aldevan menemani Mery pergi ke perpustakaan. Bukan hanya itu, ia kini berdiri di salah satu rak buku demi mencarikan cewek itu materi olimpiade. Rak jejeran buku matematika lebih tepatnya. Aldevan sampai menunduk guna memilih dari sekian banyaknya buku setebal kamus itu. Sementara cewek itu-Mery, sibuk berkutat dengan buku paket yang ia yakini akan keluar materinya saat olimpiade nanti. Aldevan menyipit, kala ia menemukan buku paket berwarna biru, yang juga tidak lain adalah paduannya ketika ikut olimpiade dulu. Oleh karenanya, Aldevan menghampiri Mery di meja tak jauh dari ia berdiri. "Nih, coba lo pelajari. Gue yakin materinya banyak keluar dari sini," kata Aldevan mengulurkan bukunya. Mery terperangah, ia diam seribu bahasa. Apakah Aldevan ingin kepalanya tambah pusing? "Kenapa? Cepetan ambil," ulang Aldevan. Tidak berani menolak, Mery akhirnya mengambil buku itu. Dalam sekejap matanya me
Hari demi hari terlewati seperti biasanya. Matahari malu-malu menyapa langit biru, menyingsing rembulan dan menyisakan kenangan yang indah setiap malamnya. Setiap mimpi-mimpi yang ada, punya harapan tersendiri di balik ekspetasinya. Perjuangan untuk tidak tidur larut malam hingga pukul dua belas salah satu perjuangan Mery mewujudkan harapan Aldevan. Tidak terhitung lagi berapa coretan penuh angka di kertas putih itu, sambil sesekali mengerjapkan mata atau menahan kantuk yang membuatnya sesekali tertunduk. Dan kini, kejaAldevan itu terulang lagi mengingat waktu olimpiade tinggal menghitung hari. Mery rasa semua materi sudah ia pelajari, semua rumus sudah ia hapal, hanya saja ia ingin memantapkan tiap materi agar tak ada lagi canggung ketika menjawab nanti. Dengan seluruh kemampuannya, Mery akan membuktikan ia pasti bisa. "Susunya diminum dulu ya, Non." Bi Asih datang dengan segelas susu, berjalan menghampiri. "Iya Bi
"Lo gila Al nyuruh gue nemenin Mery saat olimpiade? Dia butuh lo bukan gue bego," ucap Arlan, mereka saat ini sedang berkumpul di rumah Aldevan. "Emang salah gue minta itu ke elo? Anggap aja gue kasih lo waktu berduaan sama Mery," jawab Aldevan sambil menuang air putih. Arlan menggeleng tak habis pikir, Aldevan memang keras kepala di saat seperti ini. Lemah, dan sering membohongi perasaannya sendiri. "Sekarang keadaannya beda, Al , lo penting bagi penyemangat tuh cewek. Dia butuh dukungan lebih terutama dari lo. Kalo gue gak ada artinya, lagian kenapa lo coba hindari dia padahal perasaan lo sendiri butuh banget dia. Kenapa lo bisa seenaknya titipin Mery ke gue gitu aja?" cerca Arlan. Aldevan memutar badan 180° menghadap Arlan, usai meminum air putihnya ia mendekati cowok itu. Ada selama beberapa menit ia terdiam, sampai tangannya menyentuh pundak Arlan seraya tersenyum. "Karena gue yakin lo gak bakal nusuk gue dari belakang, Lan," jawab
Aldevan khawatir, bahkan berkali-kali ia menelpon Hana tapi sama sekali tidak ada jawaban. Kecepatan mobilnya pun kini di atas rata-rata, tak terhitung berapa kali klakson ia bunyikan demi mengusir siapapun yang menghalanginya. Jangan tanya berapa orang pula yang melontarkan sumpah serapah karena aksi Aldevan yang bisa dikatakan ugal-ugalan. Ponsel dalam genggamannya sedari tadi saja terus menghubungkan panggilan dengan nama Hana. Ia tidak perlu berpikir banyak untuk meninggalkan Mery yang tengah berjuang memperebutkan juara di luar sana. Yang terpenting sekarang adalah Hana, Hana, dan Hana. Kalau bisa Aldevan akan mendonorkan jantungnya agar cewek itu kembali hidup sempurna. Namun apa daya? Jika Tuhan lebih dulu memanggilnya sebelum Aldevan benar-benar menebus kesalahannya. Deru napas Aldevan memburu, ponsel yang tadinya dalam genggaman kini terlempar begitu saja. "Kenapa lo gak jawab sih, Na?! Gue mohon angkat sekali aja."