“Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, dan saksi, maka aku Kheil Abraham Leight, dengan niat suci dan ikhlas hati telah memilihmu Peony Madeline Hart menjadi istriku. Aku berjanji akan selalu setia kepadamu, dalam untung maupun malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Aku akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidupku. Sesuai hukum Allah yang kudus, inilah janji setiaku.” Tubuh Peony menegang setelah mendengar janji suci yang Kheil keluarkan. Matanya memanas. Kedua kakinya lemas. Setiap kata yang Kheil keluarkan terdengar indah. Peony tahu jika janji yang diucapkan Kheil hanya semata karena ‘menginginkan’nya dan komitmen, bukan cinta. Tapi ini benar-benar indah. Impiannya memiliki Kheil akan terwujud dengan nyata hari ini. Mereka jarang bertemu setelah malam itu, malam di mana Kheil menghubungi pengacaranya untuk melegalkan surat perjanjian pra nikah mereka. Pria itu gila. Kheil mengatakan jika ia harus melakukannya
"Ya Tuhan, aku frustrasi!" Peony mendesah lelah. Gaun pengantinnya belum bisa terbuka sama sekali. Tangan dan lehernya pegal. Kaitan yang berada di atas resleting gaun indah ini lah yang menjadi kendala. Peony sudah lelah menggapai-gapai, mencoba membuka, tapi kaitannya terlalu rapat. Mungkin salah satu alasannya, karena gaun ini memiliki kerah tinggi. “Seharusnya tadi aku terima saja tawaran Kheil membantuku membuka gaun ini!” erang Peony penuh sesal. Karena terlalu malu dan gengsi, Peony menolak mentah-mentah tawaran pria itu. Peony juga takut akan terjadi hal yang sebenarnya belum siap ia lakukan jika ia menerima tawaran Kheil. Jangan-jangan Kheil akan langsung ‘menyerang’nya? Apalagi Kheil tadi menyinggung tentang ‘bagaimana mereka melewati malam ini’. Blush… Peony menangkup kedua pipinya yang tiba-tiba saja memanas. Menatap diri di depan cermin wastafel. Tak lama, ia menatap sekeliling kamar mandi dari pantulan cermin. Memperhatikan sejenak tempat ini cukup membuat kekesalanny
Peony merasakan tangan Kheil berhenti bergerak. Pria itu menumpukan dagu tegasnya pada puncak kepala Peony. “Kau pasti berpikir negatif lagi, hm?” Kheil meremas lembut pinggang Peony. “Aku ingin memiliki anak bukan karena kewajiban itu, Summer… Aku tidak sabar memiliki Summer junior yang menggemaskan sepertimu.” Kheil mengecup kuat pipi Peony yang merona karena ucapan manisnya. Pria itu terkekeh. Mungkin karena melihat pipi tomat Peony. Kheil kembali menumpukan dagu pada puncak kepala Peony. Memeluk erat perut sang istri. "Bukankah aku sudah menghilangkan point nomor lima? Jika pun pada akhirnya kita tidak memiliki anak, biarkan Nicholas yang membuat anak dengan wanita-nya,” seru Kheil jenaka. Peony refleks menengadah sampai tatapannya dan Kheil bertemu. Pria itu tersenyum lembut pada Peony, lalu mengecup singkat ujung hidungnya. “Memiliki anak adalah bonus. Menikah sesungguhnya yang aku maksud, tentu saja menjalani hari-hari yang benar sebagai sepasang suami istri. Contohnya... ma
“Hai…” Peony yang baru saja membuka mata, hanya dapat mematung saat seorang pria tampan menatapnya dalam sambil menyapa. “Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanya pria itu kembali. Suara berat dan seraknya terdengar bersahabat di telinga. Bahkan sangat bersahabat karena terlalu lembut. Wajah bangun tidurnya tak menghilangkan setitikpun ketampanan yang dimiliki pria itu. Dia adalah Kheil… suami Peony… Wajah Peony memanas mengingat jika ia dan Kheil telah resmi menikah. Mereka saling mengucap janji suci, lalu menandatangi dokumen-dokumen pernikahan. Bahkan yang terakhir, telah menyempurnakan pernikahan mereka sampai ia tertidur pulas. Tubuh Peony menegang merasakan usapan lembut di pinggangnya. “Masih mengantuk?” Peony menggeleng kencang menutupi kegugupan yang timbul karena perhatian pria itu. “J-jam berapa sekarang?” Peony bergerak salah tingkah sambil membenahi selimut yang ada di tubuhnya. Ia membalikkan tubuh memunggungi sang suami, pura-pura mencari jam yang mungkin saja ada di
Peony memperhatikan pemandangan jalan yang dilaluinya dari kaca mobil yang membawanya saat ini. Matanya berkaca-kaca. Peony muram mengingat sang ibu baru saja diantar pulang olehnya. Seandainya saja Casandra mau ikut pindah ke kota, Peony akan sangat senang. Sayangnya sang ibu sudah sangat nyaman di desa itu dan Peony tidak boleh egois. Peony menghela napas panjang. Perasaan berat menggelayuti diri ketika harus kembali melepas Casandra. Hal ini selalu ia rasakan setiap kali mereka berpisah setelah pertemuan. Moodnya akan buruk untuk beberapa hari karena kerinduan yang padahal berpisah saja belum dalam hitungan jam. Seperti sekarang. Ini lah yang sebenarnya sering membuat Casandra mengomel dan tak ingin sering-sering Peony pulang atau dia yang berkunjung ke tempat Peony. Casandra paling tidak suka jika Peony bersedih. Seperti halnya perasaan ibu-ibu kebanyakan. “Kau menangis?” Peony terkejut mendengar suara sang suami. Pria itu duduk di sampingnya karena Kheil juga turut serta mengan
“Mau ke mana?” Kheil menghadang langkah Peony yang akan keluar dari kamar mereka. Wanita ini telah memakai pakaian lengkap untuk bekerja, sementara sang suami baru saja selesai mandi. Dada Kheil tidak tertutupi apa pun. Sementara bagian bawah untungnya saja ditutupi handuk putih sampai batas lutut. Namun walau begitu, tetap saja membuat Peony langsung membuang muka. Bukan… bukan dia tidak ingin menikmati pemandangan di depannya, tapi Peony takut kembali tergoda. Pria itu sangat bisa memancing gairah Peony. Seperti kemarin, mereka melakukan proses pengemasan choco bar di dalam mobil. Ini gila. Sensasinya luar biasa. Peony berada di atas pangkuan Kheil yang tentu saja dengan bantuan instruksi Kheil yang berpengalaman. Mereka bahkan melakukannya tanpa membuka seluruh pakaian. Kheil selalu punya cara-cara baru dalam melakukan hal itu. Belum lagi, saat baru saja tiba di dalam penthouse, mereka kembali melakukannya. Menjelajahi setiap tempat di dalam penthouse yang kata Kheil membuka pabri
“Siapa pria itu?” bisik Peony kebingungan. Ia menatap lengan bagian dalamnya yang tergores sayatan pisau. Pikirannya menerawang pada kejadian lebih dari satu jam lalu. Saat ia keluar dari stasiun, seorang pria berjalan mendekatinya dengan pisau di tangan. Pria itu memakai masker, tapi Peony bisa melihat goresan panjang di sekitar matanya. Kejadiannya sangat cepat. Pria misterius itu mengarahkan pisau hendak menyerang perut Peony. Beruntung hal itu tidak sampai terjadi, karena— Brak! Peony berjengit mendengar pintu ruangan yang ditempatinya ini terbuka dengan kencang. “Kheil??” Peony membelalakkan mata mendapati ternyata sang suami yang melakukannya. Bukankah Kheil seharusnya sedang berada di luar kota? Pria itu mengatakan akan mengadakan rapat di perusahaan cabangnya yang berada di sana, dan akan pulang larut malam. Kenapa tahu-tahu justru sudah berada di sini? Pria itu berjalan dengan langkah lebar ke arah ranjang yang Peony duduki. Diikuti oleh lima orang pria mengenakan pakaian
Plak! Peony memukul kesal dada bidang sang suami yang masih betah berdiri di depannya. Sementara Peony duduk di ranjang dengan kaki menggantung. “Menuduhku berselingkuh?!” Kheil kembali mendengus. “Kalau tidak seperti itu, maka hidupkan pengeras—” “Sesuai permintaanmu, Tuan Tukang Tuduh Yang Terhormat!” Dengan jengkel Peony menerima panggilan seseorang di seberang sana, dan tak lupa ia menyalakan pengeras suara. Matanya menatap Kheil dengan penuh permusuhan. Sementara pria itu hanya menatap datar. “Halo, Dallas. Ada apa? Apakah ada masalah dengan—" >> “Kau baik-baik saja? Aku dengar dari Miss Ang kalau kau diserang oleh seseorang. Apakah kau terluka??” “Aku baik-baik saja, Dallas. Tidak perlu khawatir. Hanya luka sedikit—” >> “Kau di mana sekarang?? Aku akan merawat lukamu!” seru Dallas terdengar panik dan penuh perhatian. Peony menelan saliva susah payah. Ia menatap Kheil yang saat ini mengepalkan kedua tangannya. Mata pria itu seperti membakar Peony. “Pria sialan—” Peony