Share

Terpaksa Menikah

"Mari Mas Elang, silahkan duduk di sana sebelum acara akad dimulai." Seorang petugas datang memberi instruksi pada laki-laki yang masih tampak kacau itu.

"Pergilah, soal istrimu, anggap kamu menikah untuk mendapatkan keturunan. Toh selama beberapa tahun kamu menikah dia tidak kunjung memberiku cucu." Pak Rahardjo berujar sambil menatap Sabrina yang sedang menunggu kepastian.

Elang terperanjat mendengar ucapan papanya. Dibalik kalimat yang biasanya terdengar santai, ternyata ada sepucuk ingin yang dirasakan Pak Rahardjo, yaitu menimang cucu.

Tak memiliki pilihan lainnya, Elang pun terpaksa menuruti perintah mereka. Ia benar-benar duduk di depan meja yang berhadapan dengan jenazah almarhumah Bu Mila.

Sementara itu, di samping Elang ada Sabrina yang sedang tertunduk pilu. Air matanya tak henti mengalir. Dadanya sesak oleh kejadian demi kejadian yang menyayat hatinya.

Disatu sisi, Sabrina lega bisa menikah dengan Elang. Tapi di sisi lainnya ia sedih karena harus menikah di depan jenazah satu-satunya orang tua yang ia miliki.

Seorang petugas KUA mengucapkan kalimat ijab yang langsung dijawab oleh Elang dengan mantap. Ada rasa yang berkecamuk dalam hati Elang saat bibirnya melontarkan kalimat qobul itu.

Tidak pernah terpikirkan sedikitpun dalam benak Elang akan mendapatkan masalah yang seperti ini.

Usai ijab qobul, pemakaman pun dilaksanakan. Tak hanya warga, Pak Rahardjo pun turut mengantar kepergian Bu Mila ke peristirahatan terakhirnya.

"Papa sudah cukup merasa bersalah karena perbuatanmu waktu itu. Sekarang tebus rasa bersalah ini dengan menjaga anak mereka dengan baik." Pak Rahardjo berkata usai pemakaman selesai. Ia menghampiri Elang yang sedang berdiri menatap nanar seorang gadis yang tersedu di sisi makam yang masih basah itu.

"Bagaimana Kayla? Elang ngga punya nyali untuk berhadapan dengannya." Elang berujar dengan pandangan nanar menatap seorang gadis yang sedang menangis di depan nisan.

"Papa sudah bilang kalau kamu ada urusan mendadak ke luar kota, jadi papa rasa dia tidak akan curiga. Sebaiknya cari waktu untuk bisa bicara baik-baik dengan dia. Soal Sabrina, kamu bisa carikan apartemen untuk tempat tinggalnya nanti.

"Lalu Mama?"

"Mamamu ada di pihak papa. Mamamu juga sama merasa bersalahnya dengan papa. Papa rasa jika kamu menikah dengan gadis itu untuk menebus rasa bersalah kami, tidak akan jadi masalah buat mamamu. Apalagi selama ini kalian tidak kunjung memberi kami cucu."

Elang tercengang menatap wajah papanya. Selama ini ia pikir kedua orangtuanya tidak mempermasalahkan soal keturunan karena tidak ada pembahasan apapun soal itu. Begitu pandai mereka menutupi keinginan mereka itu.

"Papa akan kembali, kamu urus istrimu ini. Jaga dia baik-baik, karena orang tuanya tidak akan kembali hidup meskipun kita beri dia uang berapapun untuk menebus rasa bersalahmu. Papa akan bilang ke Kayla kalau kamu ada urusan di luar kota hingga tujuh hari kematian ibunya," ucap Pak Rahardjo lirih sambil menatap putranya yang masih tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya itu.

Semua pelayat telah pergi dari hadapan Bu Mila dan setelah ini Pak Raharjo bersiap untuk meninggalkan keduanya di tempat yang sunyi ini.

"Baiklah, Pa. Papa hati-hati di jalan."

Pak Raharjo mengangguk, lalu pergi meninggalkan putranya dengan menantunya yang baru itu.

Elang menatap gadis yang sedang menangis itu dengan tangan bersidekap. Ia tak tahu harus bagaimana memulai pernikahan yang terjadi secara tiba-tiba ini. Akan tetapi melihat Sabrina yang kian terpukul membuat hatinya turut merasa iba, apalagi rasa bersalah yang perlahan tumbuh dalam dirinya.

"Hari sudah sore, sebaiknya kita pulang." Elang berujar setelah menepuk halus pundak Sabrina.

Sabrina tidak merespon. Ia masih sibuk memeluk nisan bertuliskan nama sang ibu dengan pandangan nanar. Bibirnya kelu, hatinya sesak oleh kesedihan yang datang bertubi-tubi.

"Mau saya gendong lagi seperti kemarin?" tanya Elang lagi.

Ekor mata Sabrina melirik ke arah laki-laki yang sedang berdiri menatapnya, lalu menggeleng perlahan.

"Lalu?"

"Saya masih mau di sini. Ibu sendirian di sini."

"Sudah ada yang menjaga ibumu di sana. Kamu jangan khawatir. Lihatlah dirimu, betapa wajahmu terlihat letih. Besok kita bisa datang lagi ke sini."

Sabrina tertarik dengan ucapan Elang. Ekor matanya melirik laki-laki yang masih belum beranjak dari hadapannya itu.

Tangan Elang terulur di depan Sabrina. Tatapan mata itu seolah menyiratkan sebuah permintaan untuk gadis di depannya itu.

"Hari sudah hampir gelap, mari pulang. Sejak kemarin kamu belum makan, saya juga belum ganti baju."

Melihat wajah Elang yang tampak lelah, Sabrina pun menurut. Ia sendiri pun merasa kepalanya sangat berat, sepertinya badannya memang butuh istirahat.

Sabrina berjalan dengan perlahan. Tangan Elang yang memeluk bahu membuatnya bisa berjalan dengan asal tanpa khawatir badannya akan jatuh karena kekuatan yang rasanya sudah terkuras habis.

Elang membawa Sabrina kembali ke rumah orang tua Sabrina untuk sementara. Ia harus menjaga sang istri selama kondisinya masih lemah begini. Bagaimana pun niat dari pernikahan itu, Elang sudah terlanjur sah menjadi menantu dari laki-laki yang sudah ditabraknya.

Sesampainya di rumah, Sabrina langsung masuk ke kamar. Tak dipungkiri, setelah kejadian naas di gedung kosong itu, Sabrina bertubi-tubi mendapatkan kejadian yang benar-benar melelahkan dan ia butuh istirahat.

Elang kembali menyalakan ponselnya setelah di charge beberapa saat. Ia sudah tak sabar untuk bisa berbicara dengan istrinya, Kayla. Bayangan tangis Kayla sudah memenuhi kepala Elang karena pernikahan yang tidak sengaja terjadi ini.

"Halo Sayang," sapa Elang setelah panggilan terhubung.

"Astaga Sayang kenapa susah sekali dihubungi? Tidak biasanya ada kerjaan mendadak seperti ini. Biasanya kamu akan memintaku menyiapkan pakaian beberapa helai untuk dibawa selama pergi. Tapi ini? Aku merasa ada yang aneh."

Elang merasa tertohok. Istrinya merasa bahwa memang ada yang tidak beres akan tetapi Elang tidak punya pilihan lain selain menjalani apa yang ada di depannya ini.

"Iya, ada masalah di kantor tadi. Jadi aku langsung pergi begitu urusan di sini selesai. Maafkan aku ya, ngga sempat kasih kabar sebelumnya."

"Ngga apa-apa, Sayang. Aku tahu kalau kerjaan kamu banyak. Jangan telat makan sama istirahat aja biar ngga sakit."

"Iya, Sayang. Aku usahakan agar bisa segera kembali dan kita bisa berjumpa. Aku cinta kamu," ucap Elang lirih.

"Iya, cepat pulang ya?"

"Iya. Setelah urusan selesai aku akan segera kembali. Kamu tenang saja."

"Baiklah. Aku pasti akan sangat merindukanmu."

"Percayalah, aku pun sangat merindukanmu." Elang menimpali.

Namun, ekor mata Elang mendapati seseorang di balik pintu yang ada di depannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status