Zion tampak berdiri di balkon mansionnya seorang diri, dia menatap ke arah depannya dengan tatapan seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu penting.Sesekali dia menghela nafasnya, kala hatinya bertanya-tanya perihal yang dia pikirkan saat ini.“Aku tidak mungkin salah lihat, jelas-jelas itu Aland. Tapi, apa yang sedang dia lakukan di rumah sakit jiwa seperti itu. Aku sudah cukup lama menjadi pemasok dana di sana, dan aku tidak pernah mendengar jika Aland juga menjalin kerja sama dengan rumah sakit itu. Jadi, apakah ada seseorang yang dia temui di sana. Tapi siapa?”Zion menggenggam pagar besi di depannya itu dengan cukup kuat karena rasa penasaran yang saat ini menggebu-gebu di dalam hatinya.“Tidak mungkin dia sedang merencanakan sesuatu, bukan. Apa aku harus bertanya pada direktur rumah sakit, sepertinya aku memang harus menanyakan hal ini.”“Menanyakan apa?”Deg!Zion terkejut dengan suara yang tiba-tiba terdengar itu. Dia pun menoleh, dan mendapati Alya yang datang me
Sarapan sudah selesai, bahkan Sam pun sudah berada di sana bersiap untuk menjemput Zayden berangkat ke kantornya. Tampak Zayden yang baru saja meminum air putihnya dan mengelap mulutnya dengan serbet yang sudah disiapkan di sana.Zayden berdiri hendak keluar dari ruang makan, namun tanpa disangka Aara juga mengikutinya dari belakang. Dia terus mengikuti Zayden sampai Zayden berada di depan pintu utama. Awalnya Zayden menyangka bahwa Aara hanya akan mengantar keberangkatannya saja. Namun, saat di depan pintu. Dia menyempatkan untuk berbalik sebentar dan melihat Aara. “Aku berangkat ya,” pamitnya. Zayden tersenyum, dia pun kembali berbalik dan hendak melanjutkan langkahnya. Namun tiba-tiba langkahnya itu terhenti, saat dia merasakan ada seseorang yang menarik jas bagian belakangnya. Dia pun kembali menoleh dan mendapati Aara yang ternyata tengah menarik jasnya.Zayden mengernyit, merasa bingung dengan sikap Aara saat ini. “Ada apa? Apa ada hal yang ingin kau sampaikan?” tanyanya.A
Zayden yang tengah sibuk di ruang kerjanya itu tampak mengambil ponselnya yang berbunyi.Dia lalu melihat pesan yang dikirimkan oleh Lucas padanya. Keningnya mengernyit, kala membaca pesan itu.[Tuan, nyonya bilang beliau ingin jalan-jalan di luar. Apa Anda mengizinkan?]“Jalan-jalan? Dia mau kemana?” gumamnya. Yang kemudian menghubungi Lucas.“Tuan,” jalan Lucas dari seberang telepon.“Kau bilang Aara ingin jalan-jalan?”“Benar Tuan.”“Kemana?”“Nyonya bilang ingin ke supermarket. Katanya beliau ingin belanja.”“Belanja?”“Benar Tuan, apakah Anda ingin mengizinkan?”Zayden terdiam, dia sebenarnya khawatir jika Aara akan melarikan diri lagi seperti dulu. Tapi, sekarang dia tidak bisa pulang dan menemaninya. Karena sebentar lagi ada pertemuan penting lainnya yang harus dia datangi.“Kalau begitu kau yang akan mengawalnya Lucas,” ucapnya kemudian.“Sesuai perintah Anda Tuan.”Setelah itu sambungan pun terputus, setidaknya Lucas bisa dia percayai. Karena jika dia mengirimka
Zayden lalu menyendoki makanan yang sudah dia siapkan untuk Aara dan menyuapkannya padanya. “Enak?” tanyanya. Aara terdiam, mencoba mengunyah makanan itu. Satu kunyah, dua kunyah. Wajahnya sudah memucat setelah melakukan dua kali kunyahan pada makanan itu. Dan tanpa bisa dia tahan lagi, Aara pun menyemburkan makanannya. Bbbrrrrrhh! Dia mengeluarkan semua makanan yang tadi berada di mulutnya, dia lalu mengelap mulutnya dan melihat kembali kepada Zayden. Namun ... “Hah!” Aara terkejut, dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya saat matanya itu melihat hal yang seharusnya tidak terjadi. Ya, makanan yang dia semburkan tadi, mengenai wajah Zayden yang memang berada di depannya. Aara terkejut bukan main, dia melihat Zayden yang menutup matanya karena semburan makanannya. “Ma-maafkan aku, aku ... aku tidak sengaja. Aku akan bersihkan.” Aara mengambil tisu yang ada di sampingnya dan membersihkan wajah Zayden dengan sebersih mungkin. Namun, tangannya yang tengah membersihkan wajah Zayden
Aara menatap jauh pada bola mata cokelat milik Zayden, mencari alasan yang tepat kenapa dia bisa sampai seperti ini bahkan sampai mengeluarkan air matanya.“Jawab Aara! Setakut itukah kau padaku, dan sebenci itukah kau padaku. Aku benar kan, tidak ada niat sama sekali dalam dirimu untuk mempertemukanku dengan anakku?!”“Kau bertanya kenapa aku ada di sana, dan kau pikir aku sedang mengantarkan wanita lain memeriksa kandungan! Aku hanya bisa memberikanmu satu jawaban, aku tidak pernah mengantarkan siapa pun. Tidak pernah!” tegasnya.Zayden berbalik, kenapa hatinya terasa sakit. Dia tahu Aara seperti itu karena sikapnya dulu yang sekejam iblis, dia bahkan telah menghabisi ayahnya dan secara tidak langsung membuat ibunya juga meninggal. Dia juga sudah menghancurkan hidupnya. Sikap bencinya ini, memang pantas dia dapatkan. ‘Tapi, kenapa hatiku sesakit ini,’ batinnya.Zayden menyeka air matanya, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Aara yang masih diam mematung di tempatnya.Clakkk!
Saat masuk ke dalam rumah sakit, Aara mengedarkan pandangannya. ‘Ini bukan rumah sakit yang waktu itu. Ini rumah sakit milik dokter David, tapi ....’ Aara menoleh ke arah Zayden yang berjalan di sampingnya, dia memperhatikan tangannya yang digenggam erat oleh Zayden, juga ekspresi Zayden yang begitu tenang, seakan tidak terjadi apa pun. Padahal, baru saja dia mengeluarkan air mata di hadapannya dan seperti melampiaskan semua isi hatinya.'Kenapa waktu itu dia datang ke rumah sakit City? Kenapa dia berada di depan ruang pemeriksaan kandungan dan berdampingan dengan Serira, dan waktu itu bukankah dia berbicara dengan dokter, aku memang tidak tahu apakah yang berbicara dengannya waktu dokter kandungan atau bukan. Tapi melihatnya berbicara di depan ruang pemeriksaan kandungan, bukankah seharusnya dokter itu adalah seorang dokter kandungan? Tapi, kenapa dia bilang dia tidak pernah mengantarkan Serira memeriksakan kandungan, apa maksudnya itu. Aku sungguh tidak mengerti,' batinnya.“Aku s
Glek!Aara menelan salivanya berkali-kali, dia juga terus menatap Zayden yang saat ini tengah menyetir mobil. Aara masih memikirkan ucapan Zayden pada dokter tadi. Dia masih tidak mengerti, kenapa Zayden menanyakan hal itu, apa sungguh karena dia ingin meminta jatah padanya. Apa dia akan memaksanya lagi seperti dulu? Pikirnya.Kedua tangan Aara sudah terpaut satu sama lain saat ini, terlihat juga remasan-remasan pada kedua tangannya itu. 'Aku harus bagaimana, jika dia nanti meminta haknya? Dan juga, bagaimana jika dia memaksaku untuk tetap melakukan hal itu. Tapi, dia tidak akan memaksa dan bertindak kasar, kan. Karena saat ini aku sedang mengandung calon anaknya, bukankah ucapan dokter tadi juga sudah jelas. Bahwa hal itu tidak boleh dilakukan dengan berlebihan atau bahkan terlalu kuat. Karena ini semua demi keselamatan bayi di dalam kandunganku,’ batinnya.Zayden yang mengetahui bahwa Aara dari tadi terus menatap padanya pun, hanya tersenyum diam-diam. Dia juga tahu bahwa sebenar
Zion mengepalkan tangannya, apakah saat ini dia tidak salah lihat. Wanita itu, dia sungguh Fara.“Tuan, apa Anda ingin masuk?”Zion tersadar, kala suara direktur Hadi terdengar olehnya.“Tidak, ini sudah cukup,” jawabnya. Dia lalu berbalik, melangkah pergi dari sana.Di sela-sela langkah kakinya itu, dia masih merasa tidak percaya jika keadaan Fara akan menjadi seperti ini.“Anda akan pulang sekarang, Tuan?”Zion mengangguk.Ken pun mengerti, dia lalu mengikuti tuannya itu dari belakang.Zion lalu masuk ke dalam mobilnya, tampak Ken yang menutup pintu mobilnya setelah memastikan Zion sudah masuk ke dalam. Dia kemudian membuka pintu bagian kemudi dan juga masuk.Mesin mobil pun sudah terdengar menyala, dan mulai bergerak maju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan pulang, Zion tampak hanya terdiam menatap keluar kaca jendela mobilnya.Dia kembali mengingat keadaan Fara yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Fara, sahabat sekaligus istri dari mendiang sahabatnya itu. Di