Keesokan harinya Saat aku menyambut kedatangan keluargaku di halaman depan rumah, mobil Clara melintas di jalanan depan rumah. Aku tidak terlalu hiraukan. Rani yang kehamilannya semakin membesar menghampiriku. Begitu juga Sri, Priska dan Radith. “Kami dari Jakarta berangkat sehabis subuh, Pa, Papa gimana kabarnya?” tanya Rani sembari cipika-cipiki.“Alhamdullillah Papa sehat, syukurlah gak ada hambatan di jalan ya.”Saat aku mau ajak keluargaku masuk, mobil Clara kembali muncul di jalanan di depan rumah. Clara menghentikan mobilnya dan menurunkan kaca jendela. Dia menatap ke arahku. Isteriku melihat kehadiran Clara dan bertanya,“Itu siapa mas? Kok berhenti di depan rumah? Mas kenal sama dia?”“Mas gak terlalu pasat melihat wajahnya,Sri, karena terlalu jauh. Kalau dia kenal mas,pastinya dia hampiri ke sini.”Semua mata memandang ke arah Clara, akhirnya mobil Clara beranjak pergi.“Kok sepertinya mencurigakan sekali, Pa? Ada kepentingan apa ya?” tanya Rani.“Udah.. gak usah terlalu
Orang pertama yang ditemui Noni adalah isteriku, Noni seakan melepas rindu pada isteriku, “Mama.. maaf Noni baru bisa ketemu, Mama sehat?” Noni tanyakan itu sembari memeluk isteriku dengan erat. “Alhamdulillah.. Mama sehat, kamu gimana? Sudah lebih sehat sekarang ya? Mama juga minta maaf gak bisa besuk kamu.”Noni seakan tidak terlalu hirau dengan keberadaanku. Setelah bertemu isteriku, Noni juga bertemu dengan Priska, Rani dan Radith. Adriana pun ikut bersalaman dengan isteriku. “Ini Adri sepupunya Noni ya mas?” tanya isteriku saat bertemu Adriana. “Iya Sri, Adri dan Noni juga baru bertemu lagi setelah mereka dewasa. Mas yang mempertemukan Adri dengan Noni dan neneknya.”Aku ajak Noni dan Adriana untuk masuk ke dalam rumah, kami berkumpul di ruangan tamu. Aku sangat terharu melihat keakraban Noni dengan Rani dan Priska. Padahal, mereka tidak ada hubungan apa-apa. Kalau saja mereka tahu, seperti apa hubungan aku dengan Noni mungkin situasi seperti itu tidak akan terjadi. Memang,
Aku kembali ngeriung bersama keluarga. Adriana dan Noni tidak merasa canggung sama sekali berada diantara keluargaku. Padahal, mereka selama ini merupakan teman kencanku dalam keseharian. Siapa nyana hal seperti itu bisa terjadi? Itulah yang membuat aku selalu ingin memperlakukan siapa saja yang dekat denganku merasa nyaman. Tapi, hal seperti itu juga yang aku lakukan terhadap Clara. Namun, penerimaannya terhadap perlakuanku terlalu berlebihan. Sehingga dia berusaha ingin memiliki aku seutuh ya. “Papa kok kayaknya gak enjoy gitu sih? Ada apa, yang mengganggu pikiran Papa?” tanya Noni tiba-tiba. “Gak Non! Papa itu justeru kagum sama kalian semua, kenal secara dekat belum, tapi hubungan kalian sudah seperti keluarga.”“Itulah hebatnya om Danu, bisa menciptakan kedekatan yang membuat kami menjadi seperti keluarga.” timpal Adriana. Sri juga merasa nyaman berada di dekat Noni dan Adriana, itu diakuinya secara terang-terangan, “Noni dan Adriana ini pintar dalam pendekatan, mas, kita m
Satu minggu kemudianAku benar-benar merasa kesepian, Noni dan Nara semakin intim. Satu sisi aku senang melihat keintiman mereka berdua, namun disisi lain aku merasa kehilangan Noni. Memang, sekarang aku tidak lagi memburu gadis ABG seperti dulu. Tapi, kalau kebetulan ketemu dan sama-sama senang untuk berkencan aku tidak menolaknya. Sebetulnya, dengan Clara aku tidak ada masalah. Hanya saja Clara keinginannya sudah melebihi dari biasanya. Dia menginginkan aku selalu ada saat dia membutuhkan. Sampai sekarang dia terus meneror aku dengan berbagai cara. Clara bisa muncul di rumah atau di kantor dengan tidak terduga. Saat aku di ruang kerja sendirian, tiba-tiba dia muncul begitu saja, “Pagi om.. maaf kalau kedatangan aku mengganggu.” Ucapnya dengan santai sembari duduk di kursi di depan ku. “Pagi Clara, kok kamu bisa nyelonong masuk? Emangnya kamu gak ke resepsionis dulu?”“Gak tuh.. tapi, resepsionisnya lihat aku kok. Aku tinggal tunjuk ruangan om.”Clara sempat berpikir kalau aku s
“Om selalu membuatku terpuaskan.. Tidak ada alasanku untuk menjauh dari om” dia katakan itu saat kami keluar dari kamar mandi. Aku mengerti apa yang Clara maksudkan, dia inginkan diriku dan tidak ingin menjauh dariku. Aku kenakan pakaianku untuk segera kembali ke kantor. Melihat itu Clara seakan tidak ingin aku segera pergi, “Om emang mau kemana? Kok buru-buru amat? Itukan baru pemanasan, om!?”“Clara.. inikan masih jam kerja? Om harus segera kembali ke kantor!” aku tidak peduli apa yang diucapkan Clara. Clara beranjak dari depan meja rias dan menghampiriku, dipeluknya aku dengan erat. Dia seakan tidak inginkan aku segera kembali ke kantor. Aku mencari akal untuk melepaskan dari jeratan Clara, aku berusaha untuk bersikap lembut terhadapnya. “Clara.. selamanya kamu bisa dekat dengan om. Tapi, untuk kali ini biarkan om kembali ke kantor. Ini soal reputasi jabatan om, Clara.” Aku membujuknya sembari membalas pelukannya. “Om tahu gak? Setiap kita habis bercinta, aku selalu ingin men
“Kok kamu bisa tahu kalau om di Bandung, Anya?” aku tak habis penasaran pada Anya. “Itu sih perkara mudah, om, aku sengaja tidak menghubungi om. Aku Cuma berpikir kalau om sangat sibuk.”Berbagai pertanyaan aku lontarkan pada Anya, untuk memenuhi rasa ingin tahumu. Namun, Anya terus berkelit untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Menjawab pertanyaan om itu tidak lagi penting, yang jelas aku hadir dihadapan om karena mengejar rindu, om.”Aku hampiri Anya dan aku peluk dia dengan hangat, “Apakah pelukan om ini bisa mengobati rindu kamu, Anya?”“Bagaimana bisa mengobati rindu, om, kalau masih ada yang belum sempat kita tuntaskan.”Ternyata Anya menagih janji yang belum tuntas aku penuhi. Pada pertemuan terakhir aku dengannya, belum sempat berlanjut untuk kencan. Anya belum sempat membuktikan penanda dari hidungku, karena saat itu belumlah tuntas sampai berhubungan intim. “Jadi? Kamu masih penasaran ya?”“Karena itulah aku sampai mengejar rindu pada om.” bisik Anya. Aku melepaskan pel
“Membuktikan penasaran kamu tentang hidung om ya, Non?”“Kok Non sih om? Anya bukan Non.. Siapa itu Non, om?”Tanpa aku sadari sering sekali aku menyebutkan nama Anya dengan Noni. Sehingga Anya mempertanyakannya, aku terpaksa harus jujur pada Anya, “Non itu panggilan sayang om pada Noni, anak angkat om, karena kamu mirip sekali dengan Noni.”“Masak sih om?” tanya Anya dengan tatapannya yang dalam. Aku jelaskan seperti apa hubungan aku dengan Noni pada awalnya. Sampai hubungan cinta terlarang yang sulit dihindari. Anya mendengar dengan antusias, dia sampai membayangkan dirinya berada di posisi Noni. “Jadi, aku beruntung dong om? Bisa menjadi pengganti Noni? Suer.. aku gak nolak om, aku yakin om orang yang baik.”Seketika Anya ingin aku memperlakukan layaknya Noni, dia ingin merasakan berada diposisi Noni. Tapi, aku tidak berkeinginan untuk bercinta dengan Anya. Itu setelah aku menyadari bahwa, perlakuanku pada Noni sudah kelewat batas. “Om akan perlakukan kamu layaknya Noni, Anya,
Ada yang terlupa, aku tidak sempat membawa ponsel Clara. Padahal aku harus menghubungi orang tuanya. Dalam kondisi yang sangat panik aku tidak memikirkan hal yang lainnya, yang ada dibenakku hanya menyelamatkan nyawa Clara. Aku minta Anya untuk kembali ke Paviliun Clara untuk mengambil ponselnya, “Anya.. kamu kalau om minta ke Paviliun Clara bisa gak? Kamu ingat jalannya?”“Tenang aja om.. Aku kan asli Bandung, om.” Anya bergegas kembali ke Paviliun Clara. Saat Anya ke Paviliun Clara, dokter mengajakku bicara, “Bapak orang tuan?” tanya dokte“Bukan dok.. saya orang yang teleponnya sebelum peristiwa ini terjadi. Gimana keadaannya, dok?”“Sampai saat ini kondisinya kritis, tapi masih dalam penanganan. Orang tuanya bisa dipanggil pak?”Aku jelaskan pada dokter, bahwa ponsel Clara sedang diambil ke Paviliun. Aku ceritakan kronologisnya pada dokter, mulai dari saat aku di telepon sampai saat aku temukan Clara dalam keadaan sekarat di dalam kamar mandi. “Sepertinya dia mencoba bunuh di