Bulu mata lentik itu mengerjap perlahan. Sinar mentari yang lancang menyelinap dari celah gorden membuat sang pemilik manik indah tersebut menyipitkan sudut matanya. "Enghhh." Allice menggeliat pelan sambil menutupi kilau sinar itu dengan telapak tangannya.Begitu kesadarannya telah sempurna, pun dengan nyawa yang seolah kembali melekat dalam raganya, Allice segera mengedarkan pandangan.Dinding berwarna cokelat gelap dan berbagai kerajinan sederhana menyapa penglihatan Allice. Jujur, Allice merasa sangat asing di tempat ini.Belum lagi ketika Allice merasakan suhu di kamar ini seakan menusuk hingga ke tulang-tulang. Dan detik itu juga, Allice menundukkan kepala.Bola matanya spontan melebar dua kali lipat saat menyadari tubuhnya yang polos. Terlebih saat Allice tak sengaja mendapati ada bercak keunguan di sekujur tubuhnya yang tak terhitung jumlahnya."Ya Tuhan?! Apa yang terjadi padaku?!" pekik Allice kaget bukan main.Dia ingat betul ketika Darren mengajaknya minum cokelat panas di
Allice melamun ruang tengah kamar hotel ber-tipe president suite sambil menunggu Arsen. Pikirannya sedang tertuju pada video asli kejadian pembunuhan Safira.Tadi Arsen menjelaskan semua kejahatan Darren. Termasuk status Safira yang ternyata anak dari ayah Darren. Artinya Safira dan Darren adalah saudara tiri.“Aku sungguh tidak menyangka kalau kejadian aslinya seperti itu,” gumam Allice.Dia tentu syock tadi dan hampir tak percaya. Sebab dia merasa Darren adalah pria yang sangat baik. Untunglah Arsen kini menjadi penyabar, menjelaskan semua sampai Allice yakin.“Kamu benar akan menemui Tuan Reymond?” tanya Arsen yang baru keluar dari pintu kamar.Allice menoleh, dia melihat sang suami sedang memasang jam tangannya. Penampilannya sudah kembali tampan setelah mereka berdua bergelut di atas ranjang sebagai sarapan pagi ini.“Ya, aku ingin menemui orang tua Safira. Sekaligus mengetahui apa tindakan mereka terhadap Darren,” jawab Allice masih terlihat murung.Arsen mendekat. Dia mengulurk
Arsen memang pandai berkelahi. Dia juga sudah bisa menumbangkan beberapa musuh. Tapi lawannya tidak hanya tiga atau lima. Ada sekitar 10 orang yang mengeroyoknya. Satu pukulan di wajah dan punggung pun akhirny Arsen terima. Dia juga bisa melihat sekilas Allice yang sudah ketakutan di dalam mobil. Ditambah dua orang nampak berusaha memecahkan kaca mobil. Darren? Itu lah nama yang ada di otak Arsen. Siapa lagi kalau bukan ulah Darren. Pria itu sudah bertindak cukup jauh. Tidak mungkin akan melepas Allice begitu mudah. “Kalian pikir akan bisa mengambil Allice dariku? Jangan harap!” Arsen memaksimalkan tenaganya. Dia menarik tangan musuh yang hendak menusuknya dengan pisau. Kemudian dia pelintir dan pukul bagian sikunya. “Aaaargh!” teriakan musuh yang kesakitan kembali terdengar. Rupanya keadaan masih berpihak pada Arsen. Ada tiga buah mobil melaju ke arah mereka. Kemudian berhenti di belakang mobil musuh. Seolah mengerti siapa yang datang. Mereka langsung mundur sambil menunduk.
Bunyi klakson kendaraan roda empat terdengar sampai ke dalam. Penghuni rumah mewah itu tentu langsung terkesiap dan melompat dari sofa.Mereka berlarian, bersaing siapa yang lebih dulu sampai di depan pintu.“Hei! Jangan lari! Nanti jatuh!”Teriakan Imelda tidak mereka hiraukan.“Yeeeyyyy aku duluaan! Anna kalah!” seru Brian setelah dia berhasil membuka pintu rumah lebih dulu.Kedua kaki kecil itu loncat-loncat sambil mengangkat tangan mereka, menunggu pintu mobil terbuka.Kepulangan Allice dan Arsen menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Brian dan Anna. Bagaimana tidak, mereka sudah sangat rindu karena berlibur tanpa sang ibu. Tapi ketika pulang, kedua orang tuanya justru tidak ada di rumah.Ya, hanya itu yang mereka berdua tau. Pergi berlibur supaya bisa nambah adik, katanya.Allice yang lebih pertama muncul. Dia langsung ikut heboh merentangkan tangan berlari ke arah kedua anaknya.Begitu sampai, dia berjongkok dan memeluk bersamaan.“Anak-anak, mama!” Allice mengecupi wajah Brian le
“Dokter Allice.” Panggilan itu membuat wanita yang memakai jas putih pun menoleh ke belakang. Allice, bibirnya mengulas senyum lebarnya melihat sang suami berjalan dari lorong ke arahnya. Tangan kanan Arsen menggenggam satu buket bunga mawar merah berukuran sedang. “Apa yang Anda lakukan Tuan? Menggoda pasien disini?” tanya Allice dengan senyuman meledek. “Untuk apa?” Arsen berhenti tepat di hadapan Allice. “Aku hanya ingin menggoda dokter cantik yang satu ini,” sambungnya sambil memberikan buket itu pada sang istri. Senyuman Allice makin lebar. Dia menerima buket itu lalu menghidunya. “Tidak bosan dengan bunga mawar?” Tidak hanya sekali ini saja. Tapi, sejak hubungan mereka membaik dua bulan lalu. Arsen sering mengunjungi tempat kerja Allice sambil membawakan buket bunga dengan jenis dan ukuran yang sama. Arsen sangat menyukai senyuman Allice ketika menghidu bunga mawar. Wajahnya akan terlihat segar seperti bunga itu. “Bagaimana bisa bosan. Bunga ini sangat cantik. Ayo ke ruan
Ini adalah bulan ke 3 Dhea bekerja di sebuah rumah sakit terkemuka demi bisa melanjutkan hidupnya. Meski memiliki senior galak seperti Hexa. Dia tetap semangat. Ya, Dengan langkah penuh semangat, sepatu high heels membawanya menuju halte yang terletak tidak jauh dari apartemennya.Namun ada satu pemandangan yang membuat semangatnya meredup.“Bukankah itu Andi dan Mitha?” terka Dhea saat netranya menangkap sosok sang kekasih yang tengah bergandengan tangan masuk ke dalam mobil dengan Mitha, sahabat karibnya.Meski hubungan Dhea dan Andi hanya sebatas perjodohan, tapi dia tidak terima dikhianati begini.Tidak mau berpikir panjang lagi, Dhea menghentikan taksi meminta untuk mengikuti mobil Andi dari belakang.Mata Dhea sudah memerah saat melihat Andi lagi-lagi nampak mesra turun dari mobil masuk ke dalam apartemen. Dia hanya bisa meremas tas jinjingnya dalam pangkuan, kemudian mengatur nafasnya supaya bisa menyelesaikan sandirawa itu.Buru-buru Dhea turun, dia berjalan menuju unit apart
“Siapa yang memintaku datang lebih cepat?” Suara keras Arsen di sambungan telefon membuat Hexa menjauhkan ponselnya sejenak. Dia melirik pada Dhea yang sudah duduk di sampingnya, di dalam mobil. “Aku baru saja menolong anak kucing dari kejaran anjing. Bahaya kalau aku diamkan saja. Bisa-bisa dia kena rabies.” Jawaban Hexa membuat Dhea menoleh. Wanita itu menajamkan telinganya karena merasa Hexa sedang dibicarakan. Membuat hatinya jadi menggerutu. “Apa dia bilang? Anak kucing? Apa dia menyebutku anak kucing?” Dhea hanya memicingkan matanya menatap Hexa. Tapi pria itu masih tidak menghiraukan. Justru kini setelah menutup telefon, Hexa langsung menginjak gas pergi dari area pertengkaran sepasang kekasih tadi. “Jadi sekarang kita pacaran, Dok?” tanya Dhea memiringkan kepalanya menghadap Hexa yang tengah menyetir. Pria itu melirik sekilas, masih dengan ekspresi datarnya. Okelah, kalau dia sedang berada di depan Arsen atau teman dekat lainnya. Hexa bisa bersikap konyol bahkan songong.
Anak-anak nampak senang melihat alam terbuka dan pemandangan hijau di sekitar mereka. Belum lagi tenda-tenda yang berjejer berwarna biru serta ada area untuk bermain. “Anak-Anak! Sekarang kalian bisa masuk ke tenda sesuai dengan nomor yang ada di tanda pengenal itu.” Guru yang biasa dipanggil Miss Susi menunjuk pada tanda pengenal yang menggantung di tali leher miliknya. Anak-anakpun langsung menunduk melihat tanda pengenal masing-masing. “Nah, sudah lihat kan nomornya. Sekarang, untuk nomor satu sampai 10 ada di tenda utara. Sedangkan nomor 11 sampai 20 ada di tenda selatan. Selebihnya ada di tenda barat. Ayoo, jangan berlarian. Jalan santai saja.” Jasmine menarik tanda pengenal yang mengalung di leher Brian. “Kamu ada di dekat tendaku,” ucap gadis kecil itu. “Memangnya kenapa?” Brian menarik tanda pengenalnya dari tangan Jasmine dan berlalu lebih dulu. “Huuu! Galak,” surak Jasmine. Tapi pada akhirnya dia tetap mengejar temannya itu. Mereka tentu tidak sebuk sendiri. Orang tua