“Darren! Mmmh!” Lagi, Darren menahan kepala Dhea untuk bisa dia cium kembali. Kegilaannya pada Allice seolah mampu menghilangkan kewarasannya. Dhea menggelengkan kepalanya cepat. Ini salah. Dia tidak mau seperti ini. Apalagi yang di hadapannya adalah Darren, kakaknya sendiri. Dipikirannya pun ada Hexa. Tidak, ini untuk Hexa pria yang dia pilih untuk jadi suaminya kelak. Dhea akhirnya menggigit bibir Darren sekuatnya. “Argh!” Darren mengerang sakit. Bibir bawahnya sampai keluar darah segar. Dhea tidak peduli. Keselamatannya yang utama. Dia mendorong Darren saat lengah. Brukk! Akhirnya, dengan sekuat tenaga yang ia miliki, tubuh Darren kembali jatuh ke sofa. Persetan dengan Darren yang meringis kesakitan, Dhea hanya mau kebebasan. Plak! Dhea menampar Darren setelah dia terlepas dari pelukan gila itu. "Hentikan kegilaanmu, Kak! Apa kamu pikir dengan bertingkah seperti ini, Allice akan kembali? Tidak! Dia bukan milikmu! Dan aku bukan pelampiasanmu!" Darren yang masih terkapar
Darren masih ingat terakhir bertemu dengan Elmira minggu lalu. Perempuan itu ingin melahirkan ditemani Darren. Kalau pria itu tidak kunjung kembali ke New Zealand di hari menjelang melahirkan. Maka Elmira yang akan nekat menemui Darren di Indonesia. Setahu Darren, Elmira mengatakan kalau kelahiran anak mereka masih ada waktu bulan depan. Tapi kenapa Elmira sudah ingin menemuinya sekarang? Katakan Darren gila. Ya, dia memang sudah kehilangan akal sehatnya sejak mendarat di New Zealand beberapa menit yang lalu. Kini, taksi yang membawa Darren juga Dhea yang mau tak mau ikut karena desakan sang kakak melaju cepat menuju rumah sakit, tempat Elmira dirawat. Darren tampak gelisah dan pemandangan gusar itu ditangkap oleh manik mata Dhea yang duduk di sampingnya. "Aku yakin Elmira baik-baik saja. Kak Darren jangan khawatir. Kita harus doakan Elmira dan bayi kalian," ucap Dhea berusaha mengurangi kegundahan hati kakak tirinya ini. Helaan napas berat menguar dari bibir Darren. "Ini bukan t
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Tepatnya di Glovazi's Restauran, Hexa telah siap dengan penampilan super rapi, setelan jas abu-abu muda juga rambut yang disisir klimis. Semua itu Hexa lakukan demi melancarkan niat baiknya malam ini. Ya, tekad Hexa telah bulat. Dia memutuskan untuk melamar Ardhea setelah sekian lama penantian panjang. Pandangan Hexa tertuju pada kotak beludru yang tersimpan baik di genggaman tangannya. Sebuah cincin emas putih dengan aksen twinkle wave tampak begitu elegan. Persis seperti cerminan sosok Ardhea yang lembut dan pengertian. "Aku sudah berusaha memantapkan diri untuk sampai ke titik ini. Semoga saja, kamu tidak mengecewakanku, Ardhea," gumam Hexa sambil tersenyum simpul. Ditutupnya kembali kotak beludru itu dan sengaja Hexa simpan dalam saku jasnya. Untuk sekarang, Hexa akan sedikit bersabar karena mungkin Ardhea sedang dalam perjalanan menuju ke resto favoritnya ini. Sembari menunggu, sedikit banyak Hexa berlatih untuk tidak gugup. In
Bohong kalau cinta tidak berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Buktinya, Hexa yang biasanya mampu untuk menyapa dengan senyum kini terlihat datar dan tak bersemangat.Sekalipun bersitatap dengan orang yang dikenalnya, Hexa hanya tersenyum seadanya. Tidak menanyakan kabar sebagai basa-basi seperti keramahannya selama ini."Hei, Dokter!"Satu tepukan di bahu Hexa membuat laki-laki berjas putih ala dokter itu membalikkan badan. Sorot matanya seketika tertuju pada Arsen yang entah dari mana muncul."Apa?" Hexa merespon singkat.Arsen yang merasa aneh dengan sahutan temannya ini langsung mengerutkan kening. Dia bahkan sampai harus menaruh tangan ke dahi Hexa, memastikan temannya tidak sedang sakit."Kamu sehat kan? Tumben mukamu sangat kusut begitu."Hexa menepis tangan Arsen lalu berdecak pelan. "Tidak usah lebay! Aku baik-baik saja."Sudut mata Arsen menyipit curiga. "Terus kenapa wajahmu begitu? Seharunya berbahagia karena cincinnya pasti disukai oleh Dhea.""Kau bukan seperti dokter,
“Kenapa melamun?”Suara Darren cukup mengejutkan Dhea. Wanita itu menoleh ke belakang dan melihat kakaknya terlihat sudah rapi.Seperti yang mereka rencanakan. Darren akan pergi ke rumah Elmira untuk mendapatkan maaf juga meminta hak asuh atas bayi yang baru lahir.“Kak, bisa bicara sebentar?” tanya Dhea.Darren menaikkan satu alisnya. Dia melihat raut resah di wajah adiknya itu.“Ya, tentu.” Darren sudah nampak lebih baik sekarang. Penampilannya sudah lebih segar. Bulu halus di dagu telah hilang. Dia juga lebih tenang dan hangat sekarang.Pria itu duduk di depan Dhea, sofa single, samping memperhatikan Dhea.“Ada apa, Ardhea?” tanya Darren.Dhea menggigit bibir bawahnya. Dia sebenarnya ragu mengatakan ini karena takut Darren tersinggung.“Setelah kita berhasil membuatmu diterima oleh keluarga Elmira. Apa aku boleh kembali ke Indonesia?”***Beberapa hari setelah Hexa merasa mendapat penolakan dari Dhea, dia tidak lagi menghubungi perempuan itu.Meski rasanya masih mengganjal.Wajar k
Dhea masuk ke ruang pemeriksaan setelah perawat mengatakan jika Hexa sudah selesai di periksa.“Apa yang terjadi dengan Hexa?” tanya Dhea pada Allice yang sedang bertugas di IGD malam ini. Dia lalu beralih menatap Hexa yang sudah memakai baju pasien. Selang infus sudah terpasang sempurna di salah satu punggung tangannya. Serta pria itu nampak terpejam erat.“Dokter Hexa harus istirahat 100%. Dia terkena tifus. Jadi, paling cepat satu minggu ke depan dia masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kita akan terus meninjau suhu tubuhnya supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk lagi,” ungkap Allice.Dhea menghela nafas beratnya. “Bagaimana bisa? Bukannya setiap harinya sepertinya dia baik-baik saja, tidak pernah mengeluh sakit dan sebagainya?” dahi Dhea berkerut, dia benar-benar khawatir melihat kondisi Hexa.“Aku rasa Hexa terlalu sibuk beberapa hari ini hingga dia tidak merasakan perubahan kesehatan dalam tubuhnya. Jam kerja yang tinggi ditambah lagi pola makan yang tidak seimba
Di sebuah ballroom gedung bertingkat yang dihias semegah istana negeri dongeng dengan sentuhan sky blue yang memanjakan mata, sepasang suami istri melangkah mesra menuju panggung utama. Allice Lovania, wanita cantik bergaun indah warna putih gading yang kini menjadi pusat atensi setiap mata yang memandang, tersenyum haru saat rengkuhan di pinggangnya terasa begitu nyaman. Dan siapa lagi kalau bukan dari tangan kekar milik suaminya, Arsenio Mahardika yang tampil gagah dengan tuxedo senada. Ah, rasanya Allice benar-benar kewalahan syukur. Mendapatkan cinta yang begitu besar dari seorang Arsen. Pun dengan sikapnya yang semakin hari membuatnya kian jatuh hati. "Kamu sangat cantik hari ini, Sayangku," bisik Arsen dengan tatapan terpukau ketika bola mata mereka saling bertemu. Rona merah di pipi Allice seketika muncul. Hati ini rasanya kian berbunga-bunga. Tak dipungkiri, walau sudah 7 tahun usia pernikahannya dengan Arsen, tapi setiap pujian yang meluncur dari bibir suaminya itu mampu
“Tenang Arsen, dia sudah jinak,” ucap Hexa kemudian dia beralih pada Darren. "Terima kasih sudah mengantar Dhea ke sini,” sambungnya. "Jangan khawatir. Biar bagaimanpun, aku tetap kakaknya Dhea." Darren tertawa kecil. Ini memang kali pertama Hexa bertemu lagi dengan Darren. Tapi Dhea sudah menceritakan kalau Darren akan hadir di acara Wedding Anniversary Allice untuk meminta maaf. Kini, pandangan Darren tertuju pada Arsen dan Allice. "Selamat untuk anniversary pernikahan kalian ya. Aku turut bahagia. Dan ya, aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku selama ini. Aku sadar, aku terlalu egois." Darren memberikan tangannya pada Arsen ingin menjabat sebagai ucapan selamat. Tapi Arsen disana masih diam mengamati. Dia hampir tidak lagi memiliki kepercayaan pada pria itu. Hingga Darren mengangkat kedua tangannya dan pasrah. “Kamu bisa meminta anak buahmu untuk memeriksaku.” “Emh, Tuan Arsen. Maaf, aku tidak berniat membawa Kak Darren. Dia sendiri yang minta ikut dan sengaja datang