Sudah terduduk di atas ranjang dengan pakaian tidur, Riehla sedang menatap boneka el. Riehla pikir boneka beruang putih itu pertanda baik. Bukan hanya mendapat boneka el, ia juga mendapat si pemberi boneka. "Siapa sangka kalau mantan bos jadi pacar," gumam Riehla.Drrrtt drrrtt drrrttDiambilnya handphone yang ada di atas nakas, nampak panggilan masuk dari Ellio. Tentu Riehla menerimanya."Hallo," ucap Riehla dengan wajah berseri."Lagi apa?""Mau tidur. Kamu sendiri?" Sembari menatap boneka yang masih ia pegang itu."Lagi di Balkon Kamar, mikirin seorang perempuan yang akhir-akhir ini terus memenuhi pikiran."Riehla tersenyum bahagia dan sedikit malu. Bukannya Ellio sedang menggodanya?"Siapa sih perempuannya? Cantik gak?""Cantik. Terlebih dia adalah perempuan yang baik, perhatian, dan mencintai saya. Perempuan yang berharga. Saya gak mau kehilangan dia."Perempuan mana pun akan tersentuh mendengarnya. Riehla merasa ia tidak salah memberikan hatinya pada Ellio. Bukankah Ellio nampak
Ellio mencoba membangunkan Riehla dengan membelai lembut kepala perempuan itu. "Riehla," ucap Ellio dengan nada lembut. Namun, Riehla tidak langsung membuka matanya. Tidurnya terlihat nyenyak. Sepertinya Riehla sedikit kelelahan. "Rie Rie. Kita sudah sampai depan Rumah kamu."Perlahan mata itu terbuka dan Ellio menghentikan kegiatannya membelai lembut kepala Riehla. Riehla tatap wajah yang sudah mampu membuatnya jatuh cinta. Membuatnya mencoba memulai suatu hubungan. "Susah ya bangunin aku?""Sedikit." Seraya tersenyum.Saat Riehla mencoba duduk dengan benar Ellio menjauhkan wajahnya. Riehla tatap Ellio. "Terima kasih atas satu hari ini. First date yang gak akan aku lupakan."Ellio sentuh salah satu tangan Riehla, menggenggamnya lembut. "Terima kasih sudah bersedia menerima perasaan saya.""Terima kasih sudah bersedia menerima perasaan aku juga." Seraya tersenyum.Ellio lepas tangan Riehla. Riehla buka sabuk pengaman, lalu menoleh ke arah Ellio. "Hati-hati." Ellio membalasnya dengan t
Hari itu Yura hanya cedera sedikit dan tidak lama berada di Rumah Sakit. Dan sejak saat itu hingga sudah hari ke-tiga Riehla tidak bertemu Ellio. Lebih baik dari hari pertama, Ellio dapat mengirim pesan atau menelepon hanya untuk menanyakan Riehla sedang apa. Riehla pikir ia tidak apa-apa tidak bertemu Ellio sehari pun, karena sebelum memulai hubungan dengan Ellio, Riehla tahu sesibuk apa Ellio.Teringat perkataannya saat di Pantai. Riehla bilang jika ia tidak apa jarang bertemu dengan Ellio. Nyatanya tidak seperti itu. Sudah tiga hari Riehla menahan rindu ingin bertemu Ellio. Bukannya tidak cukup hanya dengan berkomunikasi via telepon, hanya saja kurang puas. Di hari libur pun Ellio masih sibuk dengan kerjaan. Sepertinya Ellio lupa jika sesibuk sibuknya dirinya ia akan berusaha meluangkan waktu untuk Riehla. Mana yang katanya akan berusaha membuat Riehla bahagia?Seharusnya hari ini ia pergi dengan Ellio, jadinya ia pergi sendirian ke Toko Buku yang ada di Mall. Melihat-lihat buku. I
Mereka bertiga yang ada di meja makan tengah berbincang hangat dengan sesekali tertawa. Rasanya seperti Riehla memang bagian dari keluarga itu. "Rasanya kayak aku punya Kakek lagi," ucap Riehla."Kakek kan memang Kakek kamu." Lalu, meminum habis air putih yang tinggal sedikit."Kayaknya gak lama lagi kamu benar-benar akan menjadi bagian dari kita," ujar Yura dengan santainya."Walau akhirnya kamu gak jadi sama Lio, kamu akan tetap Kakek anggap sebagai Cucu."Riehla tersenyum. Ia belum memberitahu Kakek jika hubungannya dengan Ellio kembali membaik. "Riehla sama Kak Ellio sudah balikan," kata Yura."Benar?" tanya Kakek sembari menatap serius Riehla yang ada di hadapannya."Iya." Seraya tersenyum."Bahagia dengarnya," ujar Kakek dengan wajah terharu. Pria lansia itu benar-benar berharap bahwa yang akan menjadi Cucu Menantu-nya adalah Riehla."Kakek harap gak ada lagi perpisahan di antara kalian." Riehla hanya membalasnya dengan lengkungan manis yang menghiasi bibirnya.Beberapa saat kem
"Nanti kamu saja yang antar aku pulang," ucap Riehla di sela makan roti bakar dengan selai kacang."Yakin?" Sembari menatap Riehla yang berada di hadapannya."Aku gak mungkin terus diam. Kita gak berbuat salah, sudah sepantasnya Ibu tahu soal hubungan kita."Ellio tersenyum. "Senang dengarnya." Lalu, digigitnya roti bakar dengan selai cokelat.Ketika Riehla sedang mencuci peralatan bekas makan, Ellio yang duduk di kursi makan, merogoh saku celana bahannya. Mencoba menelepon Yura."Hallo, Kak.""Gak jadi antar Riehla pulang." Sembari menatap Riehla yang sibuk dengan kegiatannya."Kenapa? Riehla gak mau? Seingat aku kita sudah membereskan masalah kita.""Kak Ellio yang akan antar Riehla.""Ohh, kira aku Riehla gak mau diantar aku.""Ya sudah, Kak Ellio cuma mau bilang itu.""Mm."Berdiri dari duduk, kembali memasukkan handphone ke dalam saku. Berjalan mendekati Riehla dan berdiri tepat di belakang Riehla. Melingkarkan tangannya yang cukup kekar itu di perut rata Riehla. "Menurut kamu Ib
"Saya rasa gak ada yang bisa mengalahkan masakan kamu," ujar Ellio setelah memakan spaghetti dan roti baguette dengan topping paprika, nanas dan smoked beef."Di langit masih ada langit." Lalu, memasukkan gulungan spaghetti ke dalam mulut."Saya rasa gak ada yang bisa mengalahkan. Mereka gak punya cinta yang kamu berikan buat saya," jelas Ellio. Lalu, tersenyum konyol.Riehla hanya bisa menggelengkan kepala mendengarnya. Hari tiap hari sikap Ellio semakin menghangat dan terlihat sangat mencintai Riehla. "Kamu bilang Ibu malam ini gak pulang, berarti aku boleh dong bermalam di sini?""Kamu bisa tidur di Kamar aku."Mendadak wajah Ellio berubah. Tersenyum penuh makna. "Ada apa dengan wajah dan senyum itu?!" Sembari menatap Ellio dengan sorot mata tidak habis pikir dengan apa yang sedang dipikirkan lelaki satu itu. Riehla terlalu cukup mengerti."Gimana kalau tiba-tiba Ibu pulang?""Apa masalahnya? Aku kan tidur di Kamar Ibu."Sontak raut wajah Ellio berubah. Lesu. Tidak sesuai dengan ap
Menghentikan langkah kaki di depan lift dengan beberapa karyawati dan ada Lusi juga di sana. "Pagi, Bu." Riehla menyapa Lusi yang berada tepat di depannya. Namun, Lusi hanya diam. Apakah Lusi tidak mendengarnya? Tidak mungkin. Lusi sedang tidak memakai earphone bahkan tidak lagi melamun. Saat orang di sampingnya mengajak ngobrol, Lusi menjawab.Ada apa dengan Lusi? Terlihat jelas mengabaikan Riehla. Lusi bukan seseorang yang suka mengabaikan orang lain. Semua orang masuk ke dalam lift dan Riehla berdiri di samping Lusi. Sampai Riehla keluar lebih dahulu, Lusi tidak juga mengatakan sepatah kata pun. Riehla tentu memikirkannya.Beberapa saat kemudian...Riehla yang sedang sibuk dengan pekerjaannya memeriksa beberapa buku baru, datang Kepala Editor yang seorang laki-laki itu menaruh tiga lembar kertas dengan nama para Penulis di atas meja. Riehla ambil kertas, melihatnya. Menoleh ke arah Kepala Editor."Daftar Penulis yang karyanya harus selesai kamu tinjau hari ini. Ada sekitar 300 Penu
'Hufftthhh' entah sudah ke berapa kalinya helaan itu terdengar sejak kemarin. Walau seperti itu tidak ada alasan Riehla untuk mengeluh. Ia hanya seorang karyawan yang sudah sepatuhnya mengerjakan apa yang diinginkan atasan."Sudah waktunya makan siang dan Bu Lusi memberitahu saya kalau beliau akan mentraktir kita di Restaurant depan Kantor. Oh ya, Riehla sebaiknya kamu ikut. Ada baiknya makan dulu." Sembari berdiri di depan meja kerja-nya."Ada baiknya segera menyelesaikan pekerjaan dengan begitu bisa pulang tepat waktu," ujar Lusi sembari berjalan masuk.Riehla yang mendengar itu tak masalah. Tidak mengharapkan juga bahwa Lusi akan membujuknya makan siang dahulu. Lagi pula Riehla saat bekerja di tempat Ellio sering melewatkan makan siang. Itu bukan apa-apa. Satu persatu orang meninggalkan ruangan, dan Riehla terus fokus pada pekerjaannya.Datang seorang laki-laki dengan helm yang masih dipakainya dengan salah satu tangan memegang paper bag. "Permisi," ucap laki-laki itu.Riehla menol