Menghentikan langkah kaki di depan lift dengan beberapa karyawati dan ada Lusi juga di sana. "Pagi, Bu." Riehla menyapa Lusi yang berada tepat di depannya. Namun, Lusi hanya diam. Apakah Lusi tidak mendengarnya? Tidak mungkin. Lusi sedang tidak memakai earphone bahkan tidak lagi melamun. Saat orang di sampingnya mengajak ngobrol, Lusi menjawab.Ada apa dengan Lusi? Terlihat jelas mengabaikan Riehla. Lusi bukan seseorang yang suka mengabaikan orang lain. Semua orang masuk ke dalam lift dan Riehla berdiri di samping Lusi. Sampai Riehla keluar lebih dahulu, Lusi tidak juga mengatakan sepatah kata pun. Riehla tentu memikirkannya.Beberapa saat kemudian...Riehla yang sedang sibuk dengan pekerjaannya memeriksa beberapa buku baru, datang Kepala Editor yang seorang laki-laki itu menaruh tiga lembar kertas dengan nama para Penulis di atas meja. Riehla ambil kertas, melihatnya. Menoleh ke arah Kepala Editor."Daftar Penulis yang karyanya harus selesai kamu tinjau hari ini. Ada sekitar 300 Penu
'Hufftthhh' entah sudah ke berapa kalinya helaan itu terdengar sejak kemarin. Walau seperti itu tidak ada alasan Riehla untuk mengeluh. Ia hanya seorang karyawan yang sudah sepatuhnya mengerjakan apa yang diinginkan atasan."Sudah waktunya makan siang dan Bu Lusi memberitahu saya kalau beliau akan mentraktir kita di Restaurant depan Kantor. Oh ya, Riehla sebaiknya kamu ikut. Ada baiknya makan dulu." Sembari berdiri di depan meja kerja-nya."Ada baiknya segera menyelesaikan pekerjaan dengan begitu bisa pulang tepat waktu," ujar Lusi sembari berjalan masuk.Riehla yang mendengar itu tak masalah. Tidak mengharapkan juga bahwa Lusi akan membujuknya makan siang dahulu. Lagi pula Riehla saat bekerja di tempat Ellio sering melewatkan makan siang. Itu bukan apa-apa. Satu persatu orang meninggalkan ruangan, dan Riehla terus fokus pada pekerjaannya.Datang seorang laki-laki dengan helm yang masih dipakainya dengan salah satu tangan memegang paper bag. "Permisi," ucap laki-laki itu.Riehla menol
Sebuah gelas plastik meluncur seperti itu saja menyentuh dinginnya lantai, menumpahkan cairan cokelat yang pekat. Perempuan yang sebelumnya fokus mengetikkan sesuatu pada handphone sembari berjalan itu, mengangkat kepalanya. Manik mata Riehla yang terkejut dan merasa bersalah itu bertemu dengan manik mata Lusi yang mematikan. Seperti siap membunuh Riehla kapan saja. "Maaf, Bu. Saya benar-benar minta maaf." Dengan wajah penuh penyesalan.Riehla memaki dirinya sendiri. Bukan hanya sekedar menumpahkan kopi, ia juga membuat baju Lusi yang berwarna putih itu menjadi kotor. Lusi menghela nafas, berat. "Kalau jalan itu lihat ke depan!""Saya gak akan mengulanginya lagi.""Oh ya? Saya nggak yakin. Kamu mungkin akan melakukan kesalahan yang sama. Saya rasa sudah salah menerima kamu!"Iliana yang berada di samping Lusi, menatap tak percaya Adik-nya. Itu hanyalah masalah sepele tapi Lusi bertingkah seperti itu masalah besar. Riehla pun tidak menyangka bahwa apa yang sudah ia lakukan itu akan mem
Berdiri dari duduk. Ellio balikan tubuh beriringan dengan terbukanya pintu. Manik mata Ellio bertemu dengan manik mata Iliana. Iliana melangkah masuk dengan wajah terlihat tidak baik-baik saja. Menghentikan langkah kak sedikit jauh dari Ellio. "Apa kabar?" tanya Iliana."Baik. Kamu sendiri?""Baik. Akhirnya kita bertemu setelah beberapa kali menolak ajakan aku bertemu.""Karena Kalian sudah saling bertemu seperti ini ada baiknya pergi untuk mengobrol," ucap Lusi yang masih duduk di kursi-nya."Gak, Lu. Lio pasti sibuk." Sembari menatap Lusi."Kak Lily!" Lusi terlihat tidak suka dengan sikap penyabar Iliana. Seharusnya bukan seperti itu sikap yang seharusnya Iliana atau bisa kita sebut Lily itu setelah beberapa tahun tidak bertemu dengan laki-laki yang masih ia cinta. Lelaki yang selama ini mengabaikannya."Kita bisa pergi bersama," ujar Ellio.Riehla sedang berjalan santai di dekat Lobi dengan salah satu tangan yang memegang sebuah kertas dan retina matanya menangkap suatu pemandangan
Bukannya tidak percaya akan cinta yang diberikan Ellio selama ini. Tatapan tulus penuh cinta dan perhatian itu terlihat jelas terpancar di sana. Hanya saja kenapa Ellio harus menyembunyikannya dari Riehla? Memangnya kenapa jika menceritakannya? Menceritakan masa lalu bukan sesuatu yang buruk. Riehla tidak mengerti dengan apa yang berada di kepala Ellio.Seorang lelaki yang sedang mengemudikan mobil-nya, terus berusaha menghubungi sang kekasih yang sejak siang tadi tidak juga mengangkat teleponnya. Ini kali pertama Riehla mengabaikannya. Seingat Ellio sesibuk-sibuknya Riehla, perempuan itu masih sempat mengirim pesan. Tentu Ellio khawatir. Pikirannya sedetik pun tidak bisa lepas dari Riehla.Menghentikan mobil di depan Kantor Lily. Keluar dari dalam, menghentikan langkah kaki di depan pintu yang sudah ditutup. Mencoba melihat ke dalam yang sudah gelap. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam."Apa semua karyawan sudah pulang?""Iya. Saya baru saja mengeceknya.""Gitu yaa." Mel
Ellio sandarkan kepala ke sandaran kursi, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Tidak sepatah kata pun berhasil lolos dari mulut-nya. Yura yang melihat itu pun tahu apa yang sedang terjadi. "Mau kapan kalian seperti ini?" tanya Yura."Kamu sendiri sudah coba tanya Riehla?"Yura menggelengkan kepala. "Beberapa hari ini aku sibuk, jadi belum ada waktu bicara sama Riehla.""Kak Ellio gak tahu harus seperti apa.""Satu hal yang aku tahu, kalau jangan terlalu lama memberinya waktu. Bisa-bisa keadaan semakin buruk dan Kak Ellio kehilangan Riehla."Iliana melangkah masuk ke dalam Ruang Kerja sang Adik. Menarik kursi, mendudukkan diri. "Kakak dengar kamu gak kasih izin Riehla libur.""Kenapa? Bukannya itu bagus? Jadi mereka gak akan berdua menikmati indahnya liburan."Iliana menghela nafas, mulai frustrasi. "Harus sampai bertindak seperti ini?""Kalau Riehla lebih banyak waktu sama Kak Lio, kesempatan Kakak buat kembali akan semakin kecil.""Itu masalah Kakak, Lusi! Kamu gak ada hubunganny
Menikmati sejuknya udara Pantai siang itu yang sedikit berawan. Membiarkan kaki tanpa alas tersapu dinginnya air. Menatap lurus ke depan dengan kedua tangan yang berada di belakang badan. Pantai adalah pilihan terbaik saat ingin melepas stres. Walau beban tidak hilang sepenuhnya setidaknya ada detik di mana terasa sedikit ringan."Tante penasaran kenapa tiba-tiba kamu memutuskan ikut." Sembari menghentikan langkah kaki di samping Riehla."Mmm. Mendadak ingin ke Bali?" Lalu, menoleh ke arah Laras. Tersenyum lembut."Sebelumnya bersikeras menolak karena katanya banyak kerjaan. Apa saat ini kamu lagi lari dari tanggung jawab?" canda Laras.Membuat wajah seperti berpikir. "Sepertinya."Dari jarak yang cukup jauh, terdapat seorang lelaki tinggi, tampan dengan kulit putih pucat, dengan kacamata hitam yang dipakainya, berdiri dengan sorot mata terus melihat ke arah Riehla. Ya, lelaki itu Ellio. Pergi setelah membatalkan semua jadwal pekerjaan.Ellio menyetujui ucapan Yura jika ia sebaiknya t
Ellio gapai salah satu tangan Riehla yang hendak pergi dari hadapannya. Riehla menoleh ke arah Ellio dengan tatapan kecewa dan Ellio melepas tangan Riehla. "Saya gak bermaksud menyakiti kamu.""Sebaiknya kita bicarakan di Kamar kamu," ujar Riehla.Ellio ajak masuk Riehla ke dalam Kamar yang ditempatinya. Ellio berdiri di belakang Riehla dengan sedikit jauh. Riehla balikan tubuhnya. "Aku tahu kalau mungkin kamu gak suka bahas masa lalu. Mengingatnya. Aku tahu yang paling penting masa kini. Tapi ... aku perlu tahu tentang masa lalu kamu. Kalau kamu cerita senggaknya sedikit, kesalahpahaman ini gak mungkin ada.""Maaf.""Sebenarnya aku ini penting gak sih buat kamu?""Kamu sangat penting buat saya.""Kenapa gak cerita soal Bu Iliana? Apa karena masih ada perasaan? Dan kalau kamu mengingatnya kamu seperti akan siap berlari ke arahnya?"Ellio menggelengkan kepala dengan wajah sedih. Ia sedih harus melihat betapa kecewanya Riehla. "Saat memutuskan memulai hubungan sama kamu, saya sudah lupa