Share

Selamat Datang, Aleta

"Gimana, Let? Apa Langit bisa dihubungi?"

Leta menggeleng lemah, ia terduduk lesu seraya menutupi seluruh wajahnya menggunakan kedua tangannya.

"Pasti dia lagi sibuk banget, makanya nomornya nggak aktif," lirih wanita itu.

"Ya udah, kita tunggu nanti aja ya. Semoga aja nomor Langit bisa dihubungi dan mau bantu kita," tutur ibu Leta, Tika.

Leta tak menjawab, dia hanya mengangguk.

"Semoga aja Satria nggak apa-apa ya, Let. Tega banget sih yang nabrak abang, kenapa dia nggak bertanggung jawab sama apa yang dia perbuat," keluh wanita paruh baya itu.

"Iya, Bu. Semoga aja abang nggak apa-apa. Kita banyak-banyak berdoa aja ya, Bu, semoga ada keajaiban datang."

"Keluarga Satria?"

Leta dan ibunya, Tika, langsung berdiri dari duduknya ketika ada dokter yang menghampiri mereka.

"Iya, Dok, bagaimana dengan kondisi anak saya?"

"Begini, Bu, luka yang anak beliau alami cukup parah, kita harus segera operasi secepatnya. Bagaimana, Bu?" tanya dokter tersebut.

Tanpa berpikir panjang, Tika langsung mengangguk mantap.

"Baik, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya."

"Baik, Bu, kita akan segera melakukan tindak operasi kalau biaya administrasinya sudah dilunasi ya, permisi."

Leta menghela napas berat, dia melihat dokter itu melangkah pergi.

"Dokter, tunggu!" panggil wanita itu.

"Iya, ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Mengenai operasi, apa bisa dilakukan terlebih dahulu, untuk pembayaran apa bisa diurus belakangan?" tanya Leta hati-hati.

Dokter itu tersenyum tipis seraya menggeleng pelan. "Mohon maaf, tidak bisa. Prosedurnya memang seperti itu."

"Atau gini aja, Dok. Apa pembayarannya bisa dicicil? Saya janji pasti akan segera melunasinya," tawar Leta lagi

"Tetap tidak bisa! Permisi." Dokter itu berkata tegas, setelahnya pria itu benar-benar pergi.

'Ah, bagaimana ini?' keluh Leta dalam hati.

***

"Langit masih belum bisa dihubungi, Let?"

"Belum bisa, Bu."

"Terus kita harus cari pinjaman ke mana lagi dong?"

Leta memandang ibunya dengan senyum getir. "Sabar ya, Bu, aku yakin pasti kita akan menemukan jalan keluar. Aku yakin pasti Langit akan segera bantu kita."

Tika menghela napas berat. "Iya, semoga aja Langit mau bantu kita."

Sebenarnya Leta juga bingung harus mencari pinjaman ke mana, apalagi uang yang akan dipinjam itu nominalnya tidak sedikit. Saat ini yang paling dia harapkan adalah kedatangan Langit, kekasihnya. Hanya pria itu yang bisa membantunya, karena Langit dari keluarga berada. Leta sangat yakin kalau uang yang dia butuhkan tidak ada apa-apanya untuk Langit.

'Ya Tuhan. Kenapa sampai detik ini nomor Langit tidak bisa dihubungi,' keluh Leta dalam hati.

Wanita itu mulai gelisah, pikirannya sudah ke mana-mana, tapi semua itu tidak dia perlihatkan pada ibunya, dia berusaha tetap tenang agar ibunya juga tidak khawatir.

'Sepertinya nggak ada cara lain, aku harus datang ke rumah Langit. Aku harus minta bantuan ke papanya Langit, semoga saja om Mahendra mau membantuku.'

"Mau ke mana?" tanya Tika.

"Aku mau pergi sebentar, Bu. Ada urusan sedikit. Nanti aku bakal balik lagi."

Tika mengangguk. "Hati-hati di jalan, dan juga jangan lupa kembali ke sini lagi."

"Iya, Bu."

***

Tok ... tok ... tok ...

Leta terus saja mengetuk pintu itu, hingga pada akhirnya pintu pun terbuka membuat wanita itu bernapas lega.

"Loh, Leta? Ada apa ke sini? Langitnya nggak ada di rumah loh?" tanya Mahendra heran.

Leta mengangguk kaku. "Iya, Om. Aku tahu kalau Langit sedang pergi menjalankan bisnisnya. Niat saya memang ingin menemui Om."

"Oh, ada perlu sama Om? Ya udah kalau gitu mari silahkan masuk."

Wanita itu menuruti perintah Mahendra, ia pun langsung menuju ke arah sofa dan duduk di situ.

"Mau minum apa?" tawar pria itu.

"Nggak usah, Om."

Mahendra manggut-manggut, dia pun ikut duduk agak jauh dari kekasih anaknya itu.

"Jadi kamu ada perlu apa sama Om?"

"Jadi gini, Om, keluarga aku sedang mengalami musibah. Kakak aku kecelakaan hebat, dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit."

"Intinya?"

"Kendalanya ada di ... dana, Om. Jadi maksud tujuan aku ke sini, aku ingin meminta bantuan ke Om agar Om mau bantu aku."

Mahendra kembali manggut-manggut. "Langit sudah tahu hal ini?"

Leta menggeleng. "Belum, Om. Nomornya susah dihubungi, tapi kalau dia sudah nggak sibuk pasti bakal aku kabari."

"Nggak perlu. Langit nggak perlu tahu hal ini." Mimik wajah pria berusia hampir 50 tahun itu berubah menjadi serius.

Leta terdiam cukup lama, dia menatap Mahendra ragu.

'Ada apa ini? Kenapa om Mahendra melarangku?'

"Kenapa, Om?" Akhirnya Leta memberanikan diri bertanya seperti itu.

"Apa kamu nggak kasihan sama dia? Dia itu cukup sibuk ngurusin bisnisnya. Bayangkan saja pasti sangat capek. Capek mikir segala hal, ditambah lagi kamu yang nambahin beban dia. Apa kamu nggak ngasih dia waktu buat istirahat sejenak saja?"

Leta kembali terdiam. Tidak ada yang salah dengan ucapan Mahendra, semua yang pria itu katakan memang benar.

"Sebenarnya Om bisa aja bantu kamu, tapi semua itu ada timbal baliknya."

"Aku janji, Om, pasti bakal segera aku lunasi."

Mahendra tertawa sinis. "Dengan cara apa kamu bayar? Pasti ujung-ujungnya pakai duit Langit, kan?"

Sungguh! Baru kali ini Leta melihat sisi lain dari Mahendra, papa dari kekasihnya itu. Biasanya Mahendra selalu cuek dengan apa yang Langit lakukan terhadapnya. Namun untuk kali ini, pria itu sepertinya tidak suka jika dirinya dekat dengan anak dari pria itu. Apakah ini sifat asli Mahendra yang selama ini disembunyikan?

"Aku bisa bantu kamu, bahkan malam ini pun aku bisa langsung kasih kamu uang berapapun yang kamu mau, asalkan kamu jauhi Langit dan menikahlah denganku."

"Let?"

Leta tersentak kaget, refleks dia mengelus dada saking terkejutnya.

"Kamu ini lagi mikirin apa sih? Dari tadi kok Ibu perhatikan bengong terus?"

"Nggak ada kok, Bu. Gimana kondisi bang Satria, apa dia udah baikan?"

Tika tersenyum lebar. "Iya, dokter bilang kondisi abangmu semakin membaik. Besok udah boleh pulang."

Leta memandang wajah ibunya yang tampak berseri-seri. Terlihat begitu jelas kalau ibunya tampak bahagia melihat kesembuhan kakaknya.

"Syukurlah, kalau udah boleh pulang," gumam Leta.

"Iya. Ibu nggak tahu lagi kalau nggak ada kamu pasti sampai sekarang kakakmu keadaannya masih kritis. Oh iya, gimana kabarnya papa Langit? Apa dia udah baikan juga?"

Leta merasa dejavu, kejadian ini seperti terulang kembali. Waktu itu dia pernah meminta bantuan pada Mahendra yang berakhir dia harus mengorbankan dirinya menikah dengan pria itu tanpa sepengetahuan ibunya. Dan kini ketika dia meminta bantuan ke Langit demi pengobatan papanya, pria itu pun menawarkan hal yang sama gilanya.

Ketika Leta ingin mengambil ponselnya di dalam tas, tiba-tiba dia teringat sebuah cek yang pernah Langit berikan.

"Bu, aku pergi dulu," pamit Leta tiba-tiba.

"Mau ke mana?"

Sayangnya pertanyaan ibunya tak dijawab oleh Leta.

'Aku harus segera mencairkan cek itu. Aku sangat yakin Langit tidak akan setega itu sama aku, terlebih lagi dengan papanya.' Leta sangat percaya diri, padahal dia tidak tahu nasib sial apalagi yang akan menimpanya setelah ini.

Beberapa jam kemudian Langit tersenyum licik ketika mendapat pesan dari asistennya bahwa Leta sudah mencairkan cek yang ia berikan.

"Selamat datang di kehidupan selanjutnya, Aleta Dewi Wulansari. Setelah ini hidupmu akan lebih tampak mengerikan bersamaku," ucap pria itu dengan tangan mengepal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status