Marius sedikit mengangkat wajahnya dan membalas senyuman Shanom. “Seperti yang kau harapkan. Masih lumpuh tidak bisa berjalan,” jawab Marius dengan kasar. Shanom sedikt tersentak kaget, wanita itu langsung membuang mukanya dan enggan untuk bersuara lagi karena Marius akan berbicara kurang ajar kepadanya. “Minggu depan adalah hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibu. Kau harus datang,” Sean angkat bicara, pria itu sengaja membahasnya untuk menutupi rasa canggung ibunya yang di permalukan oleh Marius. “Datanglah sendiri karena mereka ayah dan ibumu. Ibuku ada di rumah,” jawab Marius terdengar datar. “Jaga bicaramu Marius, kita adalah keluarga,” geram Sean. “Aku tidak memiliki keluarga kelomok criminal,” jawab Marius yang menyiratkan sesuatu. “Marius. Hentikan.” Nasihat Levon terdengar lembut, Levon tidak ingin bertindak keras karena itu hanya akan membuat Marius pergi lagi. Semua orang langsung di buat diam, begitu pula dengan Marius yang menutup mulutnya dan masih memasang ekspr
“Apa maksud Ayah? Kenapa berbicara seperti itu? Jelaskan semuanya dengan benar agar aku tidak kebingungan,” desak Sean. “Aku sudah membicarakan ini semua dengan beberapa orang sejak tiga minggu yang lalu. Sekarang, notariesku akan memberitahun warisan yang akan kalian dapatkan, warisan ini sudah sah di mata hukum dan tidak dapat di ganggu gugat lagi. Dua jam setelah ini, aku akan langsung melakukan konperensi pers di depan media untuk pengumumankannya resmi.” Mata Sean melebar, “Ayah kenapa terburu-buru? Ayah masih sehat. Kenapa terburu-buru mengumumkan pembagian warisan?.” “Ya, sekarang aku masih sehat. Namun, jika esok hari aku tiba-tiba meninggal, semua hartaku akan menjadi rebutan,” jawab Levon dengan suaranya yang serak. “Levon, berhenti berbicara sembarangan.” Shanom angkat bicara, sekilas wanita itu melihat Marius dengan tajam. “Kita tidak perlu membicarakan warisan.” “Jika kau tidak mau membicarakannya. Keluarlah. Aku tidak akan memaksa siapapun yang tidak mau menerima
Kedua pria itu saling diam dan merenung dalam kesunyian dalam waktu beberapa menit. “Mengapa kau terlihat tidak bahagia?” Tanya Levon dengan suara yang serak dan napas yang tersendat-sendat. Semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan bagian mereka, bahkan mereka tidak berhak mendapatkan, merasa memiliki hak untuk mendapatkannya. Terutama Sean dan Shanom. Levon sangat tahu apa yang sesungguhnya terjadi di belakangnya, Levon tahu seperti apa kelicikan Shanom dan Sean yang beberapa kali berusaha menyingkirkan Marius dan merebut apapun yang di miliki Marius, termasuk merebut Kimberly. Levon juga tahu ada berapa banyak rencana yang di buat Shanom dan Sean untuk mendapatkan harta Levon. Sean yang menduduki jabatan di dalam perusahaan selalu berusaha mengubah banyak hal dan diam-diam membuat orang-orang yang dulu setia kepada Levon mengkhianatinya. Karena itulah, dengan tergesa Levon membuat keputusan dari sekarang agar tidak terjadi sesuatu di masa depan. Levon memberikan begitu ban
Dua orang wanita berseragam pakaian pegawai butik berdiri di belakang Paula, mereka diam dan hanya memperhatikan bagaimana Paula mencoba dan mengambil pakaian manapun yang dia mau tanpa melihat sedikitpun harganya. Sudah banyak barang yang Paula jual demi menunjang gaya hidupnya selama dia kehilangan pemasukan dan jauh dari Winter hingga kehilangan rumah mewahnya. Kini, begitu Winter kembali mengajaknya berbelanja, Paula kehilangan kendali dengan kesenangan yang membuncah di hatinya. Loona, manager butik itu tersenyum formal di samping Winter yang kini berdiri jauh dari Paula karena Paula tidak memberikan izin Winter berdiri dekat-dekat dengannya. Paula tidak peduli, meski Winter yang membayar semua yang Paula ambil, Paula tetap tidak ingin Winter lebih mencolok darinya, apalagi kini Winter sudah semakin kurus dan pandai berdandan. Paula tidak suka jika Winter berpakaian lebih mahal dan modis darinya. Paula marah jika Winter terlihat lebih cantik darinya. Paula tetap ingin, saat s
Paula mengambil sendok dan memulai makan dengan lahap. “Winter, kak Vincent sudah kembali ke Manchester. Apakah sekarang kita bisa pergi bersama lagi dan aku bisa bermain ke rumahmu?” “Aku minta maaf Paula. Kak Vincent masih belum mengizinkannya, dia malah menambahkan pengawal untukku, Nai selalu melaporkan setiap delapan jam sekali. Meski begitu, kita bisa bertemu di sekolah, dan aku masih bisa mengajakmu sesekali untuk keluar seperti ini. Ku harap kau tidak marah, aku akan berusaha meyakinkan kak Vincent jika kau bukanlah sahabat yang buruk untukku. Aku juga berusaha membujuk ayahku untuk kembali memberikanmu uang jajan di setiap minggunya. Ku harap kau mau bersabar menunggu.” Kali ini Paula mengangguk setuju dan tidak marah seperti sebelumnya. Hal itu di karenakan Paula yakin dengan apa yang di lakukan Winter hari ini kepadanya sudah cukup membuat dia percaya bahwa Winter memang tidak berubah kepadanya. “Winter. Kontesmu tadi siang terlihat buruk dan kacau,” komentar Paula sam
Malam yang indah memanjakan mata, setelah sekian lama tidak menyetir, kini Winter bisa merasakan bagaimana bepergian dengan begitu tenang tanpa bersembunyi. Mobil yang di kendarai Winter bergerak semakin cepat membelah jalan kota Loor yang indah dan tidak pernah sepi. Dua buah mobil pengawalan tidak pernah lepas memantau dan mengikuti. Winter melihat ke sekitar, menikmati pemandangan di sekitarnya sambil menyetir. Perlahan sudut Winter terangkat membentuk senyuman puas karena suasana hatinya menjadi semakin baik dengan jalan-jalan di malam hari. Hari-hari yang Kimberly jalani sebagai Winter Benjamin mulai membuat jiwa Kimberly nyaman meski belum sepenuhnya dia berdamai dengan masa lalunya. Kini timbul rasa penasaran di dalam jiwa Kimberly mengenai kehidupan orang-orang yang dulu mengkhianati Kimberly. Apakah Tuhan sudah memberikan mereka karmanya? Ataukah Tuhan membiarkan mereka tetap bahagia? Jika mereka masih baik-baik saja, maka Winterlah yang akan membuat perhitungan. Wint
Rasa sakit muncul di dalam hati Winter begitu tahu Nathan masih bertemu dengan Aurin. Padahal Aurin adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa uang Kimberly Feodora di bawa kabur oleh Nathan. Winter tertunduk merasa bimbang apakah dia harus pergi atau tetap tinggal sejenak saja. “Kenapa dengan penampilanmu? Ya Tuhan, bagaimana bisa kau terluka?” Tanya Aurin yang terlihat khawatir dan ketakutan. “Aku tidak apa-apa,” jawab Nathan seraya mengibaskan tangannya di udara. Nathan langsung menatap tajam Aurin penuh dengan perhitungan dan kejengkelan yang membuatnya tidak tahan untuk diam saja. “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?” tanya Nathan terdengar tajam. Aurin memberikan segelas minuman agar Nathan bisa sedikit tenang. “Memangnya ada apa?.” “Aku butuh uang.” Kening Aurin mengerut, wanita itu menatap heran pria yang duduk di hadapannya itu. “Aku sudah memberikan banyak uang padamu minggu ini Nathan. Bagaimana bisa kau menghabiskan uang ribuan dollar kurang dari satu minggu. Lag
Winter berdiri di atas sebuah jembatan, riasan cantik yang memoles wajahnya sudah berantakan, gaun yang dia kenakan berkibar tidak beraturan di gerakan oleh angin malam. Winter termenung merasakan perasaan yang menyakitkan yang kini kembali memporak porandakan seluruh isi hatinya. Sempurna sudah deritanya seakan kemenangan hanya di miliki oleh orang-orang yang berbuat jahat. Bibir Winter terbuka perlahan, gadis itu menghenmbuskan napasnya dengan berat membuang beban yang begitu sulit dia pikul. Perlahan Winter mengangkat wajahnya, gadis itu menatap langit yang cerah malam ini, di hiasi banyak bintang yang bersinar. Bola mata indah Winer kembali berkilauan terlapis genangan air mata yang perlahan jatuh melalui sudut matanya. Sebuah suara nada panggilan masuk terdengar di handpone Winter, gadis itu merongoh handponenya dari tasnya dan melihat layar yang tertera nama Benjamin. Dengan cepat Winter menerima panggilan itu, “Ayah.” “Winter, bagaimana kabarmu?” Winter menghapus air ma