Moses dan Marvelo duduk bersebelahan, kedua pria itu hanya saling membelakangi sambil memegang es batu masing-masing untuk meredakan rasa sakit di wajah mereka yang kini terluka. Sementara Winter, dia diam kebingungan karena kini Marvelo dan Moses tidak bersuara. Winter bersedekap melihat kedua pria yang sempat bertengkar hebat hingga saling baku hantam, kini mereka bersikap tenang, namun aura pertikaian di antara mereka berdua masih bisa di rasakan begitu kuat. “Kalian tidak akan berbaikan?” Tanya Winter melihat keduanya bergantian. Marvelo dan Moses tidak bersuara, keduanya memilih diam dan berpura-pura tidak mendengarkan ucapan Winter. Marvelo maupun Moses, merekat tidak ingin memulai untuk berbaikan. “Tanganku masih kuat menghajar jika kalian tetap diam,” ancam Winter dengan serius. Dengan terpaksa Moses menurunkan tangannya dan mengulurkan tangannya mengajak salaman terlebih dahulu, dengan eskpresi ogah-ogahan Marvelo menerima uluran tangan Moses dan menggenggamnya dengan ku
Kegelapan malam semakin terlihat pekat, cuaca yang dingin semakin terasa kuat. Kegundahan di hati Winter malam ini membuat dia tidak bisa memikirkan apapun, Winter berdiri di sisi jendela melihat keindahan kota Loor yang berkilauan. Suasana hati Winter mendadak kelabu di penuhi oleh banyak kesedihan, pikirannya terpaku terbayang-bayang percakapan beberapa jam yang lalu mengenai Nathan dan Aurin. Jiwa Kimberly sangat hancur. Kimberly baru sadar ternyata kematiannya adalah sebuah pesta yang besar bagi orang lain. Tidak ada yang benar-benar tulus mencintainya. Mendadak mata Winter memanas, gadis bernapas dengan sesak melihat bayangannya sendiri di kaca jendela, dengan cepat dia menghapus air matanya. Rupanya setelah begitu banyak menangis satu jam lalu, itu saja tidak cukup untuk meredakan kehancuran di hatinya sekarang. Satu-satunya hal yang hal yang bisa meredakan rasa sakit di hatinya saat ini adalah mendengarkan kabar kebakaran di bar Pentagon. Winter sangat menantikan kebaka
Winter mengenakan kaus kemeja berwarna hitam milik Marvelo yang cukup kebesaran untuknya, lengannya yang panjang melewati tangan, sementara bagian bawahnya setinggi pahanya yang membuat Winter tidak perlu mengenakan celana panjang, gadis itu terlihat cukup puas dengan penampilannya. Tubuh Winter yang semakin menyusut membuat semakin percaya diri untuk mengenakan pakaian apapun karena kini semuanya terlihat cukup sempurna untuk di kenakan. Lagi pula, Winter tidak perlu khawatir dengan Marvelo. Meski Winter berpakaian terbuka, Marvelo tetaplah Marvelo. Si pria polos yang hanya pandai dalam mata pelajaran, selebihnya dia payah dalam hal wanita. Meski Marvelo memiliki perasaan pada Winter dan sedang berada dalam situasi gejolak pubertas, Marvelo tetaplah Marvelo, dia tidak akan melakukan apapun kepada Winter. Winter memutuskan untuk mengikat rambutnya tinggi-tinggi, gadis itu kembali melihat penampilanya sekali lagi sebelum pergi keluar dari ruangan pakaian. Pandangan Winter mengedar
Peluh keringat membasahi wajah Marvelo, pria itu mundur dua langkah begitu pula dengan Winter yang pergi menjauh. Mereka mengatur ulang musik dari awal lagi untuk kembali mengulangi tarian yang sudah mereka lakukan. Suara musik kembali memulai dari awal, Winter melangkah dengan kaki telanjangnya mendekati Marvelo, kaki gadis itu bergerak menyapu lembut lantai begitu sudah berada di hadapan Marvelo. Marvelo langsung menempatkan satu tangannya di pinggang Winter, sementara Winter menempatkan tanganya di bahu Marvelo, satu tangannya lagi saling berpegangan dengan Marvelo. Kaki mereka bergerak searah, pandangan mereka saling bertemu, Marvelo melepaskan pegangannya dari pinggang Winter dan memutarnya di lantai, membawa Winter untuk menyapu lantai. Gerakan demi gerakan mereka coba, tarian sederhana dan dasar mereka lakukan dengan serius hingga bisa di hapal setelah meghabiskan lebih dari tiga jam lamanya menari bersama. Tarian yang di lakukan cukup menguras energy Winter, sangat sulit
Hati Levon yang dingin dan tanpa belas kasihan melunak perlahan sejak mengetahui puteranya mengalami kecelakaan dan kehilangan Kimberly. Hati Levon tergerakan dan menyadari kesalahan yang telah dia perbuat. Akan tetapi, keputusan Levon yang besar ini, sepertinya tidak begitu berhasil membuat Marius bisa melunak juga kepada dirinya. Marius tidak begitu mengharapkan harta meski itu menjadi haknya. Marius tidak lagi peduli mengenai hubungannya dengan Levon. Marius tidak peduli lagi dengan apapun yang ada di sekitarnya, dia hanya ingin memperhatikan Jenita lebih banyak dan menikmati sisa waktunya selagi masih lancar bisa berbicara dan keluar. Akhir-akhir ini Marius mulai merasakan kembali rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, dia akan ambruk tidak bertenaga jika banyak bergerak, beberapa kali dia juga harus melewati rasa sakit menyiksa saat tidur. Diam-diam Marius sudah bisa merasakan jika kondisi tubuhnya dari ke hari tidak memiliki peningkatan, dengan pikiran realistis dia sadar b
Marvelo mendekat, pria itu sedikit berdeham dan berkata, “Kau belajar memakai buku milikku,” komentar Marvelo dengan nada dinginnya seperti biasa. “Kau tidak memperbolehkannya?” “Tidak juga.” Marvelo melangkah ragu melewati Winter, sekilas dia melihat gadis itu yang sama sekali tidak mengangkat wajahnya dan sibuk membaca, sesekali memberikan tulisan di bukunya. Marvelo pergi ke ruangan pakaian untuk berpakaian. Beberapa menit kemudian Marvelo kembali, dia masih melihat kehadiran Winter yang berada di posisi yang sama, dan masih serius belajar. Sekilas Marvelo melihat ke arah jam di dinding yang sudah menunjukan pukul dua dini hari. Marvelo membungkuk, mengambil bantal. Dia sudah sangat lelah dan ingin tidur. “Kau mau ke mana?” tanya Winter seraya mengangkat wajahnya. “Aku mengantuk dan ingin tidur.” “Tidur saja di sini. Ini kan ranjangmu,” jawabnya seraya menepuk-nepuk sisi ranjang yang lain. Marvelo berdecih, Winter sudah berubah sangat jauh, tidak hanya gigih dan lebih su
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Jenita terdengar takut. Marius yang berada di sisinya tersenyum samar, pria itu merasakan kerisauan Jenita kepada dirinya. “Aku akan menerima semua yang dia berikan dan melakukan koferensipers juga.” Jenita terbelalak kaget, tangannya yang tengah memegang segelas minuman sedikit gemetar. Rasa takut dan khawatir yang awalnya hanya meraba, kini perlahan mencekiknya. Jenita sangat tahu Marius seperti apa, namun dia tidak tahu isi hati puteranya yang sesuangguhnya seperti apa. Marius sangat membenci Levon, namun Marius dapat mengendalikannya. Akan tetapi itu dulu, dulu sebelum meninggalnya Kimberly. Setelah kepergian Kimberly, kebencian Marius kian nyata kepada Levon dan Sean. Jenita sangat khawatir jika ada suatu rencana buruk di balik keputusan Marius menerima warisan itu karena Marius bukanlah seorang penggila harta dan jabatan. Jenita tidak ingin Marius hidup tenggelam dalam dendam, dia sangat ingin puteranya hidup dalam kebebasan dan
“Untuk apa?” “Saat aku tersadar dan bangun setelah kejadian di atap gedung sekolah. Aku merasa sangat gila dan kacau, aku membutuhkan beberapa dokter untuk memastikan kesehatan mentalku. Sangat berat memikirkan untuk melewati hari esok, aku mengurung diri begitu lama sendirian dan merenung hanya untuk memikirkan bagaimana cara aku bisa menjalani kehidupanku. Aku semakin merasa gila ketika mengetahui bahwa Paula adalah orang yang sangat jahat dan beracun, semakin berat aku rasakan ketika berada di sekolah dan mengetahui jika begitu banyak orang membenciku, menghinaku hanya karena aku gemuk dan bodoh. Ku pikir, tidak ada yang bisa aku percaya. Namun, ketika aku berbicara denganmu, aku menyadari bahwa mungkin kau satu-satunya orang yang tulus kepadaku. Aku menerima penuh apapun yang kau katakan padaku, aku tidak peduli kau memakiku dan berkata menyebalkan, karena aku tahu, kau peduli padaku.” Marvelo tercekat kaget, dengan sesak kesulitan dia menarik napas dalam-dalam melihat Winter ki