“Di tahun 30an dunia mengalami krisis ekonomi yang cukup parah, krisis parah itu bisa di sebut masa The Great Depression. The Great Depression adalah depresi ekonomi di mana terjadi penurunan tingkat ekonomi secara drastis di seluruh dunia dan itu berlangsung selama 10 tahun.” Winter berhenti berbicara dan memperhatikan semua orang yang kini memperhatikan dirinya. Winter meremas kuat sisi roknya sebelum kembali berbicara.“Akibat dari krisis ekonomi yang sangat besar-besaran ini. Dunia mode juga terkena dampak besar dalam penurunan kualitas material. Perbedaaan fashion antara kelas atas dan menengah menjadi melebur, fashion mereka menjadi terlihat sama rata. Hal ini di karenakan, para desainer mulai menghilangkan ornament dan dekoratif yang mahal pada pakaian mewah para orang-orang kaya. Dan, karena krisis ekonomi ini, kebanyakan orang hanya mampu membeli pakaian dengan bahan yang murah dengan gaya minimalis agar menghemat bahan. Karena itu, terbentuklah gaya pakaian seperti ini.”Su
“Madam, apakah menjadi korban bully banyak orang adalah sebuah rumor yang buruk bagi korban bully? Apakah Anda menganggap orang yang pernah menjadi korban bully itu memiliki catatan hitam? Bagaimana dengan sang pelaku bully? Anda ingin menamainya apa?.” Pertanyaan balik Winter membuat madam Valleria langsung menjauhkan diri dari microfon dan mematikannya, madam Valleria langsung menekan tombol merah sebagai tanda penolakan atas audisi Winter. Semua orang cukup di buat kaget karena madam Valleria mengambil keputusan sebelum di minta. Akan tetapi keputusan tergesa madam Valleria membuat banyak orang berpikir bahwa tidak sepatutnya dia bersikap buruk padahal dia seorang guru attitude. Apa yang madam Valleria lakukan membuat banyak murid dan guru yang menonton menganggap jika madam Valleria tidak memiliki rasa belas kasih sayang yang adil pada muridnya dan tidak menghormati Winter sebagai sesama wanita. Sikap angkuh madam Valleria hanya membuat dia tidak mendapatkan rasa hormat lagi d
Brakk! Suara bantingan pintu terdengar cukup keras hingga meninggalkan dengingan di lorong. Paula memasuki sebuah ruangan kosong dengan mata memerah menahan tangisan yang begitu kuat mendesaknya. Suara pengumuman Winter lolos audisi terdengar di mana-mana seperti sebuah terror yang begitu menakutkan bagi Paula. “Arght!” erang Paula meledak-ledak begitu marah usai melihat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. Paula sangat marah karena Winter menjadi pusat perhatian banyak orang dan berhasil memutar balikan penilaian orang-orang hanya dengan satu kali tampil. Susah payah Paula membentuk karakter Winter menjadi buruk dan menjadi pusat kebencian semua orang, namun dengan mudahnya Winter menghancurkan itu semua. Hati Paula memanas, amarah yang tidak terkendali membuat dia mengambil bangku dan melemparnya dengan keras. “Winter sialan! Seharusnya aku yang ada di sana! Seharusnya tidak seperti ini. Ini tidak adil!” teriak Paula kian marah. Paula bernapas dengan cepat, gadis itu ter
Dalam lorong yang cerah, dinding-dinding kaca besar dan indah membuat sinar matahari menerangi setiap sudut ruangan. Marius menggerakan kursi rodanya dan berjalan sendirian. Pria itu mengenakan pakaian yang formal sore ini, namun ekspresi di wajahnya terlihat tegang terlihat tidak begitu terlepas seperti biasanya. Marius menegakan punggungnya begitu dia sampai di depan pintu besar yang langsung di sambut oleh dua orang sekretaris yang terlihat sangat mengenali dirinya. Kedua sekretaris itu langsung membungkuk memberi hormat melihat kedatangan Marius dan segera membantu membuka pintu. Marius tetap menunjukan ekspresi dinginnya yang tidak terbaca. Kursi roda yang di dudukinya bergerak melewati pintu, Marius masuk ke dalam sebuah ruang besar yang menjadi ruangan kerja. Kedatang Marius ke ruangan itu membuat Levon, ayahnya Marius yang semula sibuk berbicara dengan seseorang di handpone langsung mengakhiri perbincangannya. Tanpa memberi salam, Marius menggerakan kursi rodanya lagi dan
Dalam kesunyian Marius bergerak dengan kursi rodanya, sorot matanya yang dingin menyimpan segunung cerita yang hanya bisa dia simpan di dalam hatinya. Marius datang menemui Levon karena dia pikir hanya mereka berdua yang akan berbicara serius setelah sekian lama tidak saling menyapa, namun apa yang Marius harapkan tidak terjadi. Kehadiran Marius di perusahaan mencuri perhatian beberapa orang yang mengenalnya, namun pria itu tidak membiarkan siapapun berani mendekatinya. Marius sibuk dengan dunianya dan bergelut dengan kemarahan-kemaraan yang membuat dia semakin muak untuk berada di perusahaan, tempat yang dulu begitu sangat dia banggakan. Kini kebanggan itu sudah hilang seperti bayangan yang berada dalam kegelapan. “Marius” panggil Sean dengan cukup keras. Sean berjalan dengan cepat mengejar kepergian Marius yang tetap bergerak menjauh. “Marius, tunggu!” panggil Sean lagi. Marius langsung membalikan kursi rodanya dan melihat Sean yang berjalan dengan cepat kerahnya. Kedua pria i
Marius sedikit mengangkat wajahnya dan membalas senyuman Shanom. “Seperti yang kau harapkan. Masih lumpuh tidak bisa berjalan,” jawab Marius dengan kasar. Shanom sedikt tersentak kaget, wanita itu langsung membuang mukanya dan enggan untuk bersuara lagi karena Marius akan berbicara kurang ajar kepadanya. “Minggu depan adalah hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibu. Kau harus datang,” Sean angkat bicara, pria itu sengaja membahasnya untuk menutupi rasa canggung ibunya yang di permalukan oleh Marius. “Datanglah sendiri karena mereka ayah dan ibumu. Ibuku ada di rumah,” jawab Marius terdengar datar. “Jaga bicaramu Marius, kita adalah keluarga,” geram Sean. “Aku tidak memiliki keluarga kelomok criminal,” jawab Marius yang menyiratkan sesuatu. “Marius. Hentikan.” Nasihat Levon terdengar lembut, Levon tidak ingin bertindak keras karena itu hanya akan membuat Marius pergi lagi. Semua orang langsung di buat diam, begitu pula dengan Marius yang menutup mulutnya dan masih memasang ekspr
“Apa maksud Ayah? Kenapa berbicara seperti itu? Jelaskan semuanya dengan benar agar aku tidak kebingungan,” desak Sean. “Aku sudah membicarakan ini semua dengan beberapa orang sejak tiga minggu yang lalu. Sekarang, notariesku akan memberitahun warisan yang akan kalian dapatkan, warisan ini sudah sah di mata hukum dan tidak dapat di ganggu gugat lagi. Dua jam setelah ini, aku akan langsung melakukan konperensi pers di depan media untuk pengumumankannya resmi.” Mata Sean melebar, “Ayah kenapa terburu-buru? Ayah masih sehat. Kenapa terburu-buru mengumumkan pembagian warisan?.” “Ya, sekarang aku masih sehat. Namun, jika esok hari aku tiba-tiba meninggal, semua hartaku akan menjadi rebutan,” jawab Levon dengan suaranya yang serak. “Levon, berhenti berbicara sembarangan.” Shanom angkat bicara, sekilas wanita itu melihat Marius dengan tajam. “Kita tidak perlu membicarakan warisan.” “Jika kau tidak mau membicarakannya. Keluarlah. Aku tidak akan memaksa siapapun yang tidak mau menerima
Kedua pria itu saling diam dan merenung dalam kesunyian dalam waktu beberapa menit. “Mengapa kau terlihat tidak bahagia?” Tanya Levon dengan suara yang serak dan napas yang tersendat-sendat. Semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan bagian mereka, bahkan mereka tidak berhak mendapatkan, merasa memiliki hak untuk mendapatkannya. Terutama Sean dan Shanom. Levon sangat tahu apa yang sesungguhnya terjadi di belakangnya, Levon tahu seperti apa kelicikan Shanom dan Sean yang beberapa kali berusaha menyingkirkan Marius dan merebut apapun yang di miliki Marius, termasuk merebut Kimberly. Levon juga tahu ada berapa banyak rencana yang di buat Shanom dan Sean untuk mendapatkan harta Levon. Sean yang menduduki jabatan di dalam perusahaan selalu berusaha mengubah banyak hal dan diam-diam membuat orang-orang yang dulu setia kepada Levon mengkhianatinya. Karena itulah, dengan tergesa Levon membuat keputusan dari sekarang agar tidak terjadi sesuatu di masa depan. Levon memberikan begitu ban