Saat keluar dari kelas, Kinan dan Rena dikejutkan oleh kehadiran Doni yang menghadang langkah mereka menuju cafetaria kampus. Rena yang sejak awal memang tidak suka dengan Doni, segera pasang badan untuk melindungi sahabatnya. "Mau apa kamu?" tanya Rena dengan kepala yang dia tegakkan dengan angkuhnya."Aku ada urusan sama Kinan." Doni memandang miring Rena. Batinnya, gadis ini menyebalkan dan bisa jadi batu sandungan dirinya mendekati Kinan."Iya, urusan apa?" tantang Rena. "Bukan urusan kamu," timpal Doni sebal. Dia menatap Rena sinis. Cantik-cantik sengak, pikirnya. "Kalau urusan sama Kinan ya itu urusanku juga. Apalagi yang mau berurusan itu cowok kayak kamu." Rena berucap dengan sengit. Doni mengibaskan tangan, menganggap ucapan Rena hanya angin lalu. "Kinan, bisa kan kita ngobrol?" Dia menggeser badannya untuk memandang ke arah Kinan yang ada di belakang Rena. "Kayaknya nggak deh, Don. Aku laper banget mau makan sama Rena." Kinan menolak dengan halus. "Tuh, kan ... nggak b
Doni berusaha untuk fokus dengan apa yang sedang dibicarakan oleh Nikita yang tak henti-hentinya mengoceh. Perempuan itu sudah dalam pengaruh alkohol yang tinggi. Namun mata Doni tidak mampu lepas dari dada Nikita yang terlihat begitu montok dan menggiurkan. "Shaka memang brengsek. Tega banget dia sama aku." Tangis Nikita tiba-tiba pecah. Doni dengan cekatan meraih tubuh perempuan itu dan memeluknya. Akhirnya, Nikita pun menangis dalam pelukannya. Doni menarik sudut bibirnya saat tiba-tiba saja ide jahat melintas di benaknya. "Nona Nikita, gimana kalau aku antar kamu ke hotel?" tawar Doni. "Hotel?" tanya Nikita seraya mengerutkan kening. "Ah, ya ... aku mau tidur hotel," kikinya kemudian. Doni terlihat senang dengan jawaban Nikita. Pria itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia bimbing Nikita yang sempoyongan keluar dari club menuju mobilnya. Kemudian setelah mereka masuk Doni melajukan mobil Nikita menuju salah satu hotel bintang lima yang paling dekat dengan club.Setelah menguru
"Mas!" panggil Kinan sambil mengguncang bahu Shaka di sampingnya. "Mas Shaka!" panggilnya kembali saat hanya mendengar gumaman dari Shaka yang sedang tertidur lelap."Ya, Sayang?" Shaka buru-buru membuka mata saat mendengar seruan Kinan. "Ada masalah? Ada yang sakit? Kamu pingin sesuatu?" tanyanya dengan wajah panik."Ish! Enggak!" sahut Kinan sambil memasang wajah cemberut. "Aku nggak bisa tidur, Mas," keluhnya. "Oh, okay," ucap Shaka lega. Belakangan ini dia suka panikan sendiri kalau Kinan membangunkannya tengah malam begini. Dia takut Kinan kenapa-kenapa. "Terus, gimana?"Kinan mendecak sebal. "Kok gimana? Ya Mas Shaka jangan enak-enakan tidur, dong.""Oh, iya, iya, maaf.""Nyebelin banget, sih?" gerutu Kinan."Iya, nih aku nggak akan tidur sebelum kamu tidur," ujar Shaka seraya berusaha membuka mata lebar-lebar untuk mengusir rasa kantuknya."Tapi aku bosen di kamar, pingin jalan-jalan.""Hah? Jalan-jalan?" Shaka menoleh ke arah jam dinding. Pukul dua dini hari. "Jam segini?""N
"Kok si brengsek mantan kamu itu nggak keliatan lagi, ya?" tanya Rena sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling."Ya bagus kan dia nggak ganggu-ganggu lagi." Kinan menyahut sambil mencebik. Mereka berdiri di depan gerbang kampus untuk menunggu jemputan Kinan. Biasanya Shaka yang menjemput. Sebuah mobil sedan berwarna hitam metalik berhenti di depan mereka. Seorang pemuda tampan berkemeja hitam dengan lengan digulung hingga ke siku keluar dari mobil dan menghampiri. Rena yang trauma dengan mantan pacar Kinan, segera mencegah pemuda itu untuk berbicara dengan Kinan. "Kamu siapa dan mau apa? Ada perlu apa sama Kinan?" tanya Rena ketus sambil menatap miring pada pemuda itu. Sementara Kinan hanya senyum-senyum saja di balik punggung Rena karena dia sudah tahu siapa pemuda itu. "Eh, ditanya diem aja. Denger nggak sih?" ujar Rena sewot."Non Kinan, ini temannya kok galak banget mirip herder ya?" Si pemuda berucap pada Kinan."Heh! Kok ngata-ngatain aku mirip anjing sih? Kurang ajar bange
"Beneran nggak mau makan?" tanya Raka pada Rena di seberang meja yang hanya memesan es jeruk. Sementara pemuda itu menikmati makanan pesanannya dengan lahap. Rena sedikit heran dengan tingkah Raka yang seakan tidak ada jaim-jaimnya. Makan dengan lahap dan cueknya. Padahal Raka sedang bersama dengan dirinya yang notabene baru saja kenal."Aku bilang udah makan." Rena menimpali pertanyaan Raka sambil mengaduk es jeruk dengan sedotan. "Ya siapa tahu setelah melihat menu makanannya kamu tergiur untuk makan lagi," kekeh Raka. "Nggak lah."Raka tersenyum melihat betapa acuhnya gadis di hadapannya itu. Cantik, cuek, dan judes. Tapi dia tertarik dengan Rena. Setelah menghabiskan makan siangnya, dan Rena menghabiskan setengah dari es jeruknya, keduanya pun keluar dari rumah makan setelah sebelumnya Raka membayar ke kasir."Makasih udah diantar," ucap Rena. Sebal juga sebelumnya dia dibilang tidak tahu terimakasih. "Nanggung. Aku anter sampai depan rumah lah." Raka membuka pintu mobil dan me
Nikita murung seharian, dia merasa badannya lemas dan seakan isi perutnya ingin dia keluarkan. Beberapa kali dia berlari ke kamar mandi, tapi saat ingin memuntahkan isi perutnya, tak ada apa pun yang keluar dari dalamnya. Itu yang membuatnya tersiksa bukan main. Ada apa dengan dirinya sebenarnya. Kenapa tubuhnya terasa aneh. Dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. "Nggak, nggak mungkin." Nikita menggeleng hebat saat terlintas di dalam pikirannya, kalau dia hamil. "Nggak mungkin," lanjutnya. Nikita berusaha menepis pikiran-pikiran aneh yang silih berganti melintas di benaknya. Hanya dengan satu cara untuk menjawab pertanyaan yang menghantuinya, yaitu dengan membeli test pack. Dengan hati berdebar Nikita pergi ke apotik untuk membeli barang yang akan menjadi jawaban atas pertanyaannya yang begitu menakutkan. Setelah selesai membelinya, perempuan itu kembali ke apartemennya. Dia melakukan apa yang harus dilakukannya untuk mempergunakan alat tes kehamilan itu. Dengan hat
Nikita duduk tegang di kursi di ruang tunggu klinik dokter kandungan. Keputusannya untuk melakukan aborsi tidaklah mudah. Bukan karena dia menyanyangi bayi dalam kandungannya, tapi lebih pada rasa sakit yang membuatnya ketakutan. Namun, dia merasa tidak ada pilihan lain. Setelah beberapa saat menunggu, namanya dipanggil oleh perawat."Silakan masuk ke ruang dokter," kata perawat seraya membuka pintu.Nikita mengangguk dan berjalan perlahan menuju ruangan dokter. Dia melihat seorang pria paruh baya dengan kacamata duduk di belakang meja."Dokter, saya datang untuk melakukan aborsi," ucap Nikita dengan suara gemetar.Dokter itu menatap Nikita dengan serius, "Maaf, tetapi saya tidak melakukan aborsi. Saya memiliki keyakinan serta prinsip etika medis yang melarang saya melakukan tindakan tersebut. Dan di negara kita dilarang karena itu melanggar hukum."Nikita terkejut mendengar penolakan dokter itu. Dia merasa putus asa, tidak tahu harus berbuat apa lagi. "Tolonglah, Dok. Saya akan bayar
Akhir pekan, Kinan hanya bermalas-malasan saja. Rebahan di tempat tidur sambil bermain dengan ponselnya. Shaka tidak berangkat ke kantor, tapi pagi itu sudah ada di ruang kerjanya yang ada di rumah. Entah proyek apa lagi yang sedang dia kerjakan dengan ayah Kinan, karena Kinan sudah jarang ke kantor ayahnya untuk belajar, sejak dia hamil. Memikirkan badannya yang terasa aneh saja sudah membuatnya lelah, apa lagi kalau harus melakukan aktifitas di kantor. Tentu saja ayahnya tidak keberatan Kinan belum bisa belajar lagi. Kinan bebas melakukan apa pun yang dia mau. Secara dirinya adalah anak tunggal yang akan menjadi pewaris kerajaan bisnis Arka Gunawan. Bosan berguling-guling saja di atas tempat tidur, Kinan beranjak dari ranjangnya dan hendak menemui Shaka di ruang kerjanya. Sampai di sana, dia melihat suaminya itu sedang sibuk berkutat dengan kertas-kertas file yang bertumpuk. "Weekend loh, Mas. Masih kerja aja," celetuk Kinan dari ambang pintu. Shaka menoleh ke arahnya dan terseny