"Mas!" panggil Kinan sambil mengguncang bahu Shaka di sampingnya. "Mas Shaka!" panggilnya kembali saat hanya mendengar gumaman dari Shaka yang sedang tertidur lelap."Ya, Sayang?" Shaka buru-buru membuka mata saat mendengar seruan Kinan. "Ada masalah? Ada yang sakit? Kamu pingin sesuatu?" tanyanya dengan wajah panik."Ish! Enggak!" sahut Kinan sambil memasang wajah cemberut. "Aku nggak bisa tidur, Mas," keluhnya. "Oh, okay," ucap Shaka lega. Belakangan ini dia suka panikan sendiri kalau Kinan membangunkannya tengah malam begini. Dia takut Kinan kenapa-kenapa. "Terus, gimana?"Kinan mendecak sebal. "Kok gimana? Ya Mas Shaka jangan enak-enakan tidur, dong.""Oh, iya, iya, maaf.""Nyebelin banget, sih?" gerutu Kinan."Iya, nih aku nggak akan tidur sebelum kamu tidur," ujar Shaka seraya berusaha membuka mata lebar-lebar untuk mengusir rasa kantuknya."Tapi aku bosen di kamar, pingin jalan-jalan.""Hah? Jalan-jalan?" Shaka menoleh ke arah jam dinding. Pukul dua dini hari. "Jam segini?""N
"Kok si brengsek mantan kamu itu nggak keliatan lagi, ya?" tanya Rena sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling."Ya bagus kan dia nggak ganggu-ganggu lagi." Kinan menyahut sambil mencebik. Mereka berdiri di depan gerbang kampus untuk menunggu jemputan Kinan. Biasanya Shaka yang menjemput. Sebuah mobil sedan berwarna hitam metalik berhenti di depan mereka. Seorang pemuda tampan berkemeja hitam dengan lengan digulung hingga ke siku keluar dari mobil dan menghampiri. Rena yang trauma dengan mantan pacar Kinan, segera mencegah pemuda itu untuk berbicara dengan Kinan. "Kamu siapa dan mau apa? Ada perlu apa sama Kinan?" tanya Rena ketus sambil menatap miring pada pemuda itu. Sementara Kinan hanya senyum-senyum saja di balik punggung Rena karena dia sudah tahu siapa pemuda itu. "Eh, ditanya diem aja. Denger nggak sih?" ujar Rena sewot."Non Kinan, ini temannya kok galak banget mirip herder ya?" Si pemuda berucap pada Kinan."Heh! Kok ngata-ngatain aku mirip anjing sih? Kurang ajar bange
"Beneran nggak mau makan?" tanya Raka pada Rena di seberang meja yang hanya memesan es jeruk. Sementara pemuda itu menikmati makanan pesanannya dengan lahap. Rena sedikit heran dengan tingkah Raka yang seakan tidak ada jaim-jaimnya. Makan dengan lahap dan cueknya. Padahal Raka sedang bersama dengan dirinya yang notabene baru saja kenal."Aku bilang udah makan." Rena menimpali pertanyaan Raka sambil mengaduk es jeruk dengan sedotan. "Ya siapa tahu setelah melihat menu makanannya kamu tergiur untuk makan lagi," kekeh Raka. "Nggak lah."Raka tersenyum melihat betapa acuhnya gadis di hadapannya itu. Cantik, cuek, dan judes. Tapi dia tertarik dengan Rena. Setelah menghabiskan makan siangnya, dan Rena menghabiskan setengah dari es jeruknya, keduanya pun keluar dari rumah makan setelah sebelumnya Raka membayar ke kasir."Makasih udah diantar," ucap Rena. Sebal juga sebelumnya dia dibilang tidak tahu terimakasih. "Nanggung. Aku anter sampai depan rumah lah." Raka membuka pintu mobil dan me
Nikita murung seharian, dia merasa badannya lemas dan seakan isi perutnya ingin dia keluarkan. Beberapa kali dia berlari ke kamar mandi, tapi saat ingin memuntahkan isi perutnya, tak ada apa pun yang keluar dari dalamnya. Itu yang membuatnya tersiksa bukan main. Ada apa dengan dirinya sebenarnya. Kenapa tubuhnya terasa aneh. Dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. "Nggak, nggak mungkin." Nikita menggeleng hebat saat terlintas di dalam pikirannya, kalau dia hamil. "Nggak mungkin," lanjutnya. Nikita berusaha menepis pikiran-pikiran aneh yang silih berganti melintas di benaknya. Hanya dengan satu cara untuk menjawab pertanyaan yang menghantuinya, yaitu dengan membeli test pack. Dengan hati berdebar Nikita pergi ke apotik untuk membeli barang yang akan menjadi jawaban atas pertanyaannya yang begitu menakutkan. Setelah selesai membelinya, perempuan itu kembali ke apartemennya. Dia melakukan apa yang harus dilakukannya untuk mempergunakan alat tes kehamilan itu. Dengan hat
Nikita duduk tegang di kursi di ruang tunggu klinik dokter kandungan. Keputusannya untuk melakukan aborsi tidaklah mudah. Bukan karena dia menyanyangi bayi dalam kandungannya, tapi lebih pada rasa sakit yang membuatnya ketakutan. Namun, dia merasa tidak ada pilihan lain. Setelah beberapa saat menunggu, namanya dipanggil oleh perawat."Silakan masuk ke ruang dokter," kata perawat seraya membuka pintu.Nikita mengangguk dan berjalan perlahan menuju ruangan dokter. Dia melihat seorang pria paruh baya dengan kacamata duduk di belakang meja."Dokter, saya datang untuk melakukan aborsi," ucap Nikita dengan suara gemetar.Dokter itu menatap Nikita dengan serius, "Maaf, tetapi saya tidak melakukan aborsi. Saya memiliki keyakinan serta prinsip etika medis yang melarang saya melakukan tindakan tersebut. Dan di negara kita dilarang karena itu melanggar hukum."Nikita terkejut mendengar penolakan dokter itu. Dia merasa putus asa, tidak tahu harus berbuat apa lagi. "Tolonglah, Dok. Saya akan bayar
Akhir pekan, Kinan hanya bermalas-malasan saja. Rebahan di tempat tidur sambil bermain dengan ponselnya. Shaka tidak berangkat ke kantor, tapi pagi itu sudah ada di ruang kerjanya yang ada di rumah. Entah proyek apa lagi yang sedang dia kerjakan dengan ayah Kinan, karena Kinan sudah jarang ke kantor ayahnya untuk belajar, sejak dia hamil. Memikirkan badannya yang terasa aneh saja sudah membuatnya lelah, apa lagi kalau harus melakukan aktifitas di kantor. Tentu saja ayahnya tidak keberatan Kinan belum bisa belajar lagi. Kinan bebas melakukan apa pun yang dia mau. Secara dirinya adalah anak tunggal yang akan menjadi pewaris kerajaan bisnis Arka Gunawan. Bosan berguling-guling saja di atas tempat tidur, Kinan beranjak dari ranjangnya dan hendak menemui Shaka di ruang kerjanya. Sampai di sana, dia melihat suaminya itu sedang sibuk berkutat dengan kertas-kertas file yang bertumpuk. "Weekend loh, Mas. Masih kerja aja," celetuk Kinan dari ambang pintu. Shaka menoleh ke arahnya dan terseny
Kinan senang sekali melihat kedatangan Rena dan Raka. Dipeluknya sahabatnya itu dengan erat. "Akhirnya bisa jalan-jalan sama kamu, terus kamunya nggak sendirian lagi, udah ada pasangannya," ujarnya gembira."Ih, apa sih, Kinan. Mas Raka bukan pasanganku, ya?" Rena meralat ucapan Kinan."Nggak papa kali, Ren ... kalian cocok kok," sahut Kinan sambil menggerakkan dagu ke arah Raka di halaman rumah. Pemuda itu sedang memeriksa mesin mobil untuk memastikan perjalanan mereka nanti aman dan lancar. Sedang Shaka berdiri tak jauh dari Raka. Keduanya terlibat obrolan."Apa sih, dia itu cowok paling kepedean dan nyebelin banget.""Cieh! Udah mulai kenal satu sama lain nih ceritanya."Rena mendesis. "Terserah kamu deh, Kinan," timpalnya pasrah. Kinan tergelak, lalu menggandeng Rena menuju mobil karena Shaka memanggil mereka. Mobil sudah siap dan mereka akan melakukan perjalanan ke Puncak. Raka yang menyetir, Rena duduk di sampingnya, sementara Shaka dan Kinan duduk di kursi belakang. Perjalana
Pagi itu, angin segar menerpa perkebunan teh yang terletak di lereng gunung yang indah. Shaka, Kinan, Raka, dan Rena dengan semangat berjalan-jalan di antara deretan pohon teh yang rimbun."Jalannya disini sejuk banget ya," ujar Shaka sambil menikmati segarnya udara pagi. Ide Kinan mengajak jalan-jalan ke tempat ini ternyata bagus juga. Sudah lama dia tidak menikmati alam yang sejuk. Sehari-hari hanya disibukkan dengan rutinitas pekerjaan, dan juga suasana kota yang berpolusi."Iya, pemandangan di sekeliling juga bikin hati jadi tenang," sahut Kinan sambil memandang keindahan panorama perkebunan teh. Dia menarik napas dalam-dalam menikmati udara pagi yang sejuk. "Ideku bagus kan, Mas?" cebiknya sambil menggandeng lengan suaminya itu."Iyaa, kamu emang pinter, Sayang. Aku juga udah lama banget nggak piknik kaya gini." Kinan tersenyum lebar menanggapi ucapan Shaka.Sementara itu, di belakang mereka, Raka berjalan di sebelah Rena. Mereka berdua saling diam. Terutama Rena yang merasa begi