Esme baru saja sampai di rumah sakit setelah menyempatkan pulang sebentar ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian, meskipun dia baru saja pulang dari rumah tapi raut wajahnya terlihat tidak begitu segar. Bahkan jika diperhatikan lebih dekat, kantung mata wanita itu semakin jelas terlihat.
“Apa kita akan terus di sini, Ma?” Suara cempreng Matthew itu membuayarkan lamunan Esme. Bocah laki-laki itu menoleh pada ibunya yang masih termenung menatap kosong ke depan.Barulah setelah mendapat teguran itu dari sang putra, Esme langsung tersenyum tipis, menatap wajah Matthew yang tampak polos itu.“Apa kamu sudah tidak sabar bertemu dengan Tante Lena?”Matthew mengangguk dengan penuh antusias, senyumnya juga terlihat sangat lebar. “Iya, aku igin bertemu dengannya. Sudah sangat lama aku tidak bertemu dengan Tante Lena,” jawabnya.Mendengar antusias Mtthew membuat Esme tersenyum. “Tapi, nanti kalau sudah di dalam kamu tidak boleh berisik. Tante LeJam telah menunjukkan pukul lima sore. Esme telah selesai membersihkan tubuh Lena yang masih berbaring di ranjang rumah sakit menggunakan lap basah dan air hangat. Meskipun Lena belum sadar dari tidur panjangnya, Esme tetap memastikan wanita itu dalam keadaan bersih, rapi dan wangi. “Cantik sekali kamu sore ini Lena,” kata Esme sambil memijat tangan Lena yang tidak terkena cairan infus. “Ayo cepat bangun, ya. Aku, Oliver dan Matthew di sini. Kami semua menunggumu di sini dengan penuh harap. Matthew bilang dia rindu bermain denganmu. Dia kemarin nangis memanggil namamu berkali-kali, tapi kamunya belum mau membuka mata.” Esme berkata panjang lebar kepada Lena. Esme tidak mau menangis lagi walaupun tanpa bisa ia cegah tangisannya kembali pecah dan membanjiri wajah Esme yang terpoles make up. Sakit sekali dadanya begitu mendengar apa yang menimpa Lena. Mengapa orang sebaik Lena harus diperlakukan seperti itu? “Aku tahu kamu ora
"Terima kasih, Pak. Semoga dengan barang bukti tambahan yang kuberikan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk memperberat hukuman Vincent. Meskipun dia adalah keponakanku, kejahatan yang dia lakukan sudah sangat keterlaluan." Oliver mengulurkan tangan pada lelaki berseragam polisi di hadapannya. Dia baru saja memberikan bukti terakhir mengenai kejahatan Vincent yang kemungkinan bisa memberinya pasal berlapis."Sama-sama, Tuan Oliver. Kami juga berterima kasih karena Anda sudah banyak membantu penyelidikan. Nama Vincent memang akhir-akhir ini menjadi sorotan di sini karena keterlibatannya dalam memperjualbelikan anak di bawah umur. Sebagian anak buahnya sudah ditangkap sebelum ini. Setelah berbagai paksaan akhirnya mereka mau buka suara mengenai siapa pimpinan mereka dan nama Vincent yang disebut.." Polisi tersebut menerima jabatan tangan Oliver dan mengguncangnya sekilas."Iya, Pak. Anak buahnya memang banyak dan dia bergerak dengan sangat rapi. Kami yang
Esme duduk sambil menundukkan kepalanya di pojokan kursi. Saat ini ia masih setia menunggu Lena di rumah sakit. Ia teringat pertengkarannya dengan Sebastian beberapa waktu lalu. Ada rasa penyesalan di dalam hatinya karena ia terlalu membela Oliver. "Sepertinya aku terlalu keras padanya," gumam Esme. Meskipun Sebastian marah padanya, pria itu tetap menepati janji mengajak bermain Matthew. Hal tersebut lah yang membuat Esme sadar jika tindakannya salah sebab Sebastian bukannya bersikap egois, kekasihnya itu merupakan sosok yang sangat bertanggungjawab dan penuh perhatian. "Aku harus meminta maaf padanya." Esme mengambil ponselnya dan mencari nomor Sebastian. Ia hendak menelepon, tapi tangannya terhenti menekan layar sebab ia ragu. "Hahh ... lebih baik meminta maaf secara langsung padanya. Hanya saja bagaimana dengan Lena?" Pandangan mata Esme tertuju pada Lena yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Ha
Hening menyelimuti ruang rawat inap Lena, dia sana hanya tersisa Oliver yang terduduk lemas sambil menatap sendu ke arah istrinya yang sama sekali tidak bergerak. Suara alat bantu yang menempel ditubuh Lena sesekali berbunyi membelah keheningan di ruangan itu, setiap kali Oliver mendengar itu rasanya keinginannya untuk melihat Lena segera siuman semakin tinggi.“Kenapa malam itu kamu harus menemuia pria bajingan itu, Sayang?” gumam Oliver mengenang malam kejadian itu.Dia merasa bersalah atas semua yang menimpa Lena, kenapa malam itu dia tidak pulang lebih awal dan menemani Lena. Jika malam itu dia pulang lebih awal, maka mereka akan menghabiskan waktu bersama dan Lena tidak memiliki kesempatan untuk menemui Vincent. Tetapi, tidak ada gunanya lagi penyesalan itu, semuanya sudah terjadi. Kini Oliver hanya berharap kalau Lena segera siuman dan bayi yang ada di dalam kandungannya masih kuat bertahan.Oliver beranjak dari tempat duduknya, berjalan mendekat pad
Pemulihan Lena setelah sadar dari tidur panjangnya terbilang cukup cepat, bahkan dokter pun sangat takjub dan memberikan semangat serta dukungan kepadanya. Ini bisa disebabkan karena keinginan Lena untuk sembuh begitu besar. Selain itu peran serta Oliver yang selalu berada di sisinya membuat Lena tidak merasa sendirian. Seperti hari ini, Oliver begitu setia menemani Lena di rumah sakit sampai-sampai ia rela mandi di kamar mandi ruang rawat inap Lena. Padahal pria itu begitu pemilih jika harus masuk ke dalam fasilitas umum. Untungnya kamar rawat inap yang ditempati Lena adalah VVIP. “Ada apa? Apa ada yang sakit? Di bagian mana?” tanya Oliver panik. Ia memeriksa seluruh tubuh Lena. “Aku panggilkan dokter.” Begitu Oliver hendak menelpon, Lena memegang tangan suaminya itu sembari terkekeh. “Aku baik-baik saja. Tidak ada yang sakit. Bukankah dokter sudah bilang juga padamu demikian? Bahkan aku adalah salah satu pasien yang pemulihannya cepat.” Lena
Belum ada satu jam lalu keluar dengan keadaan cukup baik, kini Lena digendong kembali ke rumah sakit dalam kondisi pendarahan.Tubuh Oliver gemetar hanya demi melihat darah mengalir dari paha sang istri dan menetes di sepanjang keramik putih.Seorang wanita berseragam perawat mendekat. Mengetahui Lena masih memakai seragam dan gelang rumah sakit, dia pun bertanya, "Apa yang terjadi, Tuan?""Istriku mengalami pendarahan. Dia sedang hamil dan beberapa hari ini dirawat di sini." Oliver menyebutkan ruang VIP tempat Lena dirawat.Mengangguk mengerti, perawat tersebut lantas membantu Oliver membawa Lena ke ruangan. Berpapasan dengan dokter yang hendak melakukan kunjungan rutin."Dokter, tolong istriku! Dia pendarahan." Oliver nyaris berteriak. Namun, urung begitu teringat mereka sedang berada di mana.Dokter tersebut menyuruh Oliver untuk membaringkan Lena ke atas ranjang. Sedari tadi, tidak ada sepatah kata pun yang mampu wanita itu k
Sejak tadi Esme mondar-mandir saja di dalam kamarnya. Tangannya memegang ponsel sambil terus menatap layar benda pipih pintarnya itu. Ada hal yang ia pikirkan sehingga ia tampak bingung dan gusar. "Hahh ... padahal aku sudah bertekad, tapi kenapa aku jadi gelisah begini?" gerutu Esme. Sejak memutuskan untuk meminta maaf pada Sebastian, pikiran Esme menjadi tidak tenang. Ternyata menghubungi kekasihnya lebih dulu untuk meminta maaf itu butuh keberanian yang besar. Apalagi saat ia mengingat betapa marahnya Sebastian waktu itu padanya. Mereka berdua belum berkomunikasi lagi sejak pertengkaran tempo hari. Esme juga merasa jika Sebastian menghindarinya bahkan tak mau menyapanya saat bertemu. "Baiklah! Aku tidak boleh ragu lagi. Aku akan menghubunginya sekarang," seru Esme penuh keyakinan.Akhirnya Esme benar-benar menelepon Sebastian. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar nada sambung telepon. Ada sedikit rasa takut jika Sebastian mun
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me