"Kau pulang," sapa Lena yang saat itu tak seperti biasanya sudah menunggu kepulangan Oliver dengan wajah yang ceria.Hati Oliver langsung berdesir hangat karenanya. Lantas dia pun balas tersenyum hangat dan mengambil langkah lebar untuk segera menghampiri Lena."Iya, aku pulang Lena." Dia memeluk Lena erat-erat tanpa menaruh bingkisan yang dibawanya. "Aku membeli tiramisu, apa kau menyukainya?"Lena tak langsung menjawab, dia lebih dulu menghidu aroma tubuh Oliver sebanyak mungkin, sebelum kemudian menengadah dan menatap Oliver dengan senyuman ceria seperti sebelumnya. "Aku menyukainya, terima kasih." Kali ini tanpa aba-aba Lena mendaratkan kecupan kecil pada Oliver yang bisa dia jangjau dengan tinggi badannya.Untuk sejenak, Oliver tertegun di tempatnya. Seluruh saraf di tubuhnya berdesir, jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik karena rasa terkejutnya oleh sikap impulsif dari Lena. Ini kali pertama Lena melakukan hal seperti
"Terima kasih untuk tiramisunya, rasanya enak." "Iya. Mau kubelikan lagi besok?" Lena menggelengkan kepalanya. "Tidak. Besok aku ingin kau langsung pulang saja. Kali ini aku benar-benar tak berbohong, aku selalu ingin segera òp0ⁿ9p denganmu." "Baiklah, kalau begitu besok aku akan pulang lebih cepat." Oliver beranjak dari meja makan sembari membawa piring dan garpu kotor yang sebelumnya mereka gunakan ketika memakan kue. Oliver menaruh piring kotor itu di wastafel lalu mencuci tangannya. "Omong-omong Oliver, apa hari ini kau benar-benar bekerja?" tanya Lena tiba-tiba. Walau sempat terdiam sejenak, Oliver pun kembali menghampiri Lena dan membantu perempuan itu untuk berdiri , lalu bergegas mengajaknya pergi ke kamar. "Oliver," panggil Lena lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban. "Hari ini aku pergi ke kantor tapi tak berkerja," jawab Oliver akhirnya. "Kau memangnya pergi ke mana? Apa kau-" "Jika kau akan bertanya apakah aku menemui perempuan lain, maka jawabannya adalah ti
Lena terusik dari tidurnya ketika sayup-sayup dia mendengar seseorang yang sedang bicara. Begitu dia membuka matanya perlahan, dia mendapati Oliver sedang berbicara di depan perutnya."Papa akan pergi bekerja ke luar negeri untuk satu bulan lamanya, nak. Bisakah kau tetap baik-baik saja dan tumbuh dengan sehat selagi Papa tidak ada? Kau juga harus menjaga ibumu dengan baik," Oliver berbicara pelan pada janin di perut Lena. Tapi tentu saja Lena tetap bisa mendengarnya dengan jelas.Pada momen itu, Lena kehilangan rasa kantuknya. Dia hanya diam mendengarkan semua dialog Oliver pada jabang bayi di perutnya tanpa sekalipun berniat untuk menimpali."Jangan dulu lahir sebelum Papa pulang. Ingat, usiamu saat ini baru saja berusia tujuh bulan, jangan sampai kau kahir lebih awal. Papa hanya ingin kau lahir tepat waktu dan kau terlahir sehat."Lena tetap diam dan mendengarkan baik-baik ucapan Oliver. Pelahan hatinya berdesir hangat dan tanpa sadar bibirnya membuat garis lengkung dari senyuman t
"Kepalaku benar-benar sakit," keluh Lena saat maid datang ke kamarnya setelah membawakan semangkuk sup ayam dan teh hangat.Sudah dua minggu lamanya Oliver pergi untuk perjalanan bisnisnya, Lena benar-benar merasa kesepian terlebih ketika kondisinya sedang sakit seperti ini. "Bisakah kau memberiku obat? Aku benar-benar tak bisa menahan sakit kepalaku lagi."Maid itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Saya tidak bisa melakukan itu, nona Blade. Anda sudah makan, selebihnya istirahat yang cukup atau lebih baik minum chamomilenya selagi masih hangat, itu bisa sedikit menenangkan rasa sakit kepala anda. Lagipula sakit kepala yang terjadi pada anda disebabkan oleh demam. Biar saya ambilkan kompres air hangat untuk meredakan demam anda."Tanpa banyak bicara lagi, Maid itu pun bergegas pergi meninggalkan Lena yang sedari tadi hanya mengaduh kesakitan. Sebenarnya tak sesakit itu, tapi tetap saja Lena merasa tak nyaman dengan kondisinya saat ini. Kepalanya terasa berdenyut nyeri disertai deng
"Anda terlihat resah, ada masalah apa?" tanya Maid ketika membantu Lena mandi. "Apa anda merasa sakit?" Lena menggelengkan kepalanya, sementara keresahan kian terlihat jelas di wajahnya. "Aku tak merasa sakit. Tapi aku benar-benar takut. Ketika beberapa hari aku menjalani pemeriksaan dengan dokter, dokter bilang keadaanku baik-baik saja begitu juga dengan janinnya. Dokter hanya memintaku untuk berhenti mengonsumsi obat pereda nyeri itu. Tapi ini aneh..." "Aneh?" "Iya, ini aneh... sudah dua hari ini aku tak merasakan bayi di dalam perutku bergerak. Padahal biasanya dia sangat aktif menendang dan bergerak setiap waktu. Apa menurutmu ini adalah hal yang umum terjadi?" Lena menolehkan wajahnya menatap maid itu meminta pendapat. Pupil mata maid itu sseketika melebar dan menatap Lena dengan tatapan terkejut, membuat Lena jadi semakin risau. "Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu, jangan membuatku takut." Maid itu pun mulai mengendalikan ekspresi wajahnya dan menghela napas berat untuk me
"Kau membunuh anakku hanya karena sejak awal kau tak menginginkannya?" tuduh Oliver. Dia memandangi Lena dengan tatapan sedih dan penuh kekecewaan besar. Lena tak menjawab. Di tempat tidurnya, dengan selang infus yang terpasang pada tangan, Lena hanya menundukan kepalanya.Wajahnya sembab dengan kelopak mata yang merah dan bengkak karena terlalu lama menangis. Tatapannya kosong."Tuan, ini tak seperti yang anda pikirkan. Nona Blade hanya tidak tahu kalau-" maid itu tak melanjutkan kalimatnya ketika Oliver membuat gerakan menghalau."Aku tak sedang bicara padamu. Sebaiknya kau keluar, ini urusanku dengan istriku," tegasnya begitu marah.Maid itu hanya tertunduk patuh dan dengan berat hati melangkah keluar ruangan. Sebelum menutup pintu itu rapat-rapat, maid itu pun lebih dulu melirik ke arah Lena dengan tatapan iba."Jawab aku Aralena, apa kau sengaja membunuh putraku agar kau bisa segera memenuhi keinginanmu untuk menemui Vincent?"Lena masih bungkam."Jawab aku Lena!" bentak Oliver
Luka caesar di perutnya masih berdenyut nyeri juga payudara yang membengkak karena hormon di tubuhnya masih menganggap bahwa janin seharusnya masih tumbuh di rahimnya."Maafkan saya nona Blade, saya tak bisa melakukan apapun selain benar-benar mengantarkan anda ke Bandara..." ucap sopir pribadi Oliver yang melirik Lena dengan rasa bersalah melalui kaca spion tengah.Lena menyeka air matanya dan mengangguk lemah. "Tak perlu merasa bersalah, ini bukan salahmu. Ini memang sudah seharusnya terjadi karena aku yang ingin pergi. Aku menangis karena merasa terkejut, itu saja."Air mata kembali meleleh membasahi pipi Lena tanpa aba-aba. Sehingga untuk kesekian kalinya Lena menyeka airmatanya.Kepulangan yang mendadak dan penerbangan yang sudah diatur oleh Oliver ini seharusnya membuat Lena bahagia, sebab kepulangan ini adalah hal yang sudah lama sekali dia idam-idamkan. Tapi anehnya Lena justru tak merasa bahagia sama sekali, dia justru merasa sangat sedih sampai-sampai tak kuasa menahan air m
"Ada apa dengan perutmu? Apa kau sakit?" tanya Vincent seraya menatap penuh khawatir ke arah perut Lena yang masih membuncit. Sedangkan Lena menggelengkan kepalanya untuk menjawab tidak."Ceritanya panjang." Lena tersenyum canggung ketika mengatakan jawabannya itu.Sejenak, Vincent tampak menatap Lena lekat-lekat, seolah memastikan sesuatu. Sampai akhirnya dia pun mengangguk mengerti."Aku sangat merindukanmu. Apa kau pulang demi diriku, Lena?" tanyanya."Iya, Vincent... aku pulang demi dirimu." Garis bibir Vincent pun melengkung membentuk senyuman termanis yang pernah dia punya. Sarat akan rasa bahagia. Kemudian, sekali lagi dia memeluk Lena dan menghidu aroma tubuh perempuan itu dalam-dalam."Aku sangat merindukanmu, Aralena. Aku pikir... aku pikir kita tak akan bertemu lagi."Lena balas memeluk pelukan itu dan menumpahkan segala kerinduannya pada Vincent yang selama ini dia pendam. "Aku tak mungkin melakukan hal itu. Aku pulang menemuimu," ucapnya."Ayo kita bicara di dalam, sayan