“Apa yang kau pikirkan, Deu? Mengapa menghindariku?”Harger mendengar suaranya sendiri begitu lirih. “Lihat aku.” Sekali lagi dia masih berusaha. Menunggu kapan iris gelap itu bergerak. Namun, keterdiaman sang hakim sudah cukup untuk menegaskan kalau mungkin pria itu tak ingin berbicara langsung dengannya.Ntah keberanian dari mana akhirnya Harger membiarkan udara berembus dari celah bibir. Dia meletakkan kening bersentuhan di ceruk leher sang hakim. Merasakan sensasi kulit yang hangat, dan hati – hati menggerakkan lengan untuk mendekap tubuh liat itu sekadar mencari kenyamanan.Saat tersebut, Harger pikir sang hakim tidak akan melakukan apa pun. Tidak akan membalas setiap sentuhan darinya, tetapi dia mendadak harus menegang ketika menerima rengkuhan lembut yang menarik tubuh mereka lebih rekat.“Hari ini aku sudah ingin memberitahumu tentang kehamilanku.” Terlalu buruk harus berdiam diri. Harger memutuskan segera bicara. Melawan golakan – golakan hebat dan beta
Harger terbangun, mendapati sang hakim sudah tidak di sampingnya. Samar, dia tahu bahwa satu hal, tidak beres sedang terjadi. Sesuatu di dalam perut bergolak. Rasanya begitu sakit, sebuah tembakan yang pelan – pelan semakin terjal menggerogoti saraf – saraf di tubuh Harger. Lengannya segera terulur nyaris memeluk diri sendiri. Dia meringkuk di atas blankar, lonjakan menyedihkan terasa pula di sekitar pinggul. Betapa mencekat, dan ini begitu tiba – tiba; tidak dapat Harger hentikan, selain dari pada menahan kontraksi yang begitu menusuk. Menunjukkan betapa perasaan ini segelap langit di luar jendela.Harusnya Harger masih bisa menekan dirinya dengan berusaha terpejam. Tetapi suara pintu terbuka seketika menjadi sebuah alasan dia mengatur posisi sebagaimana mestinya. Menelusuri setiap langkah sang hakim saat pria itu masuk. Harger bergerak gelisah, ragu – ragu coba berlagak dia sedang baik – baik saja di hadapan sang hakim. Pria yang membawa sekotak makanan baru saja meletakkan kantong
Howard muncul dengan canggung ketika Harger dan sang hakim tengah bersiap akan meninggalkan rumah sakit. Pagi ini diperbolehkan pulang; bersyukurlah Howard tidak terlambat satu menit lebih lama. Harger tersenyum melihat Howard membawa sesuatu di tangan.“Kemarilah, Big’H.”Sudah Harger putuskan akan memanggil Howard lewat sebutan demikian jika pria itu memberikan hadiah. Buah tangan, dia menganggap hal itu bagian dari bentuk pemberian manis yang Howard lakukan, meskipun kecanggungan semakin tinggi begitu sang hakim berpamitan lebih dulu pergi ke mobil.Tidak banyak yang bisa Harger katakan. Betapan pun dia ingin mencoba. Sikap dingin sang hakim terlalu membekukan, membuatnya telanjur merasa takut.“Kalian bertengkar gara – gara aku.” Howard mendekat, demikian hanya itu yang bisa Harger mulai sebagai percakapan. Telapak tangan pria itu tiba – tiba mendarat di puncak kepalanya.“Tidak usah dipikirkan. Aku mengenal Don. Bukan sekali ini saja dia tak ingin bicara denganku. Kita hanya per
Namun, nyatanya, betapa pun Harger berjuang. Terkadang hal paling sulit adalah mengendalikan diri sendiri. Setelah makan malam langkahnya benar – benar hanya terpaku; menatap setengah kosong dari dapur menuju satu titik di mana siraman lampu berkilau di permukaan air. Dan yang paling mencolok adalah tubuh sang hakim sedang duduk memeluk sesuatu; gitar yang senar-nya dipetik begitu tenang.Sang hakim mungkin mengira Harger telah masuk ke kamar; tidur beristirahat. Namun, kebutuhan Harger untuk mencari keberadaaan sang hakim lebih mendesak dari apa pun. Sebenarnya sedikit terkejut menemukan sang hakim untuk kali pertama bermain alat musik; bernyanyi dengan lagu Italia. Suara berat-nya yang khas dan seksi, jelas memberi Harger ultimatum yang mantap.Dia masih terpaku. Ada satu bagian lainnya. Lagu itu terlalu sedih, terlalu mudah mengingatkan Harger terhadap kehilangan mereka, meski dia sudah bertekad tidak ingin tenggelam jauh oleh peristiwa itu. Secara kasar tangan Harge
Harger menggeliat, mencoba mengingat detail dari peristiwa semalam. Bayangan tentang dia yang tertidur di bahu sang hakim masih kerasan. Harger tak mencoba menghapus momen manis itu, meski kemudian keningnya mengernyit mendapati langit – langit kamar. Dia tersentak; segera sadar bahwa malam sudah tak lagi berkuasa. Hanya sulur – sulur biasan cahaya yang mencoba menyusup masuk ke ruangan. Harger ingin bangun. Nyaris mengubah posisi terdahulu-nya, tetapi lengan seseorang seakan menariknya mengenyak jatuh di atas ranjang. Wajah Harger berpaling untuk melihat sang hakim sedang memejam dengan mulut terkatup rapat.Berikutnya, sudut bibir yang melekuk tipis memberitahu Harger supaya segera diam. Dia terpaku ketika sang hakim menariknya lebih dekat. Menyilangkan kaki hingga Harger semakin terkunci. Mulai berdebar merasakan sensasi merekat. “Kau seharusnya membiarkanku bangun, Deu,” ucap Harger setengah membujuk. Sayang sekali, tubuhnya justru ditarik lebih tinggi, dengan sebelah pipi bers
“Pelan – pelan, Harger, kau mengerti?”Kegiatan lainnya dilanjutkan sesuai kesepakatan di awal. Namun, Harger harus sering kali mendengkus saat sang hakim terduga begitu meragukan kemampuannya. Jelas – jelas separuh wajah itu telah dibaluri krim cukur. Hanya perlu melakukan gerakan ringan, yang karena kecurigaan sang hakim terlalu besar, sedikitnya membuat Harger mendadak ragu.Setengah jengkel Harger menangkap wajah sang hakin lurus – lurus menatap ke arahnya. Alat cukur sudah di tangan. Dia melihat ke dalam mata gelap sang hakim sebentar. Sekali lagi; dengan pasrah menjatuhkan wajah di garis bahu itu; persis tak mempedulikan bagaimana dia duduk westafel kamar mandi.“Jadi kau mau aku mencukurmu atau tidak?”“Mau.”Jawaban singkat menjabarkan bagaimana seharusnya Harger segera mengangkat wajah. Dia memilih tak mengatakan apa pun; dan mulai menolak bersitatap bersama pria yang ntah – ntah, mungkin sedang melihat ke arahnya. Harger harus mengambil jalan pintas. Kalau tidak, dia yakin t
Harger menatap sang hakim ragu ketika mereka telah melewati perjalanan dengan bis dan mobil sewa, lalu berhenti untuk berjalan kaki beberapa meter ke rumah Daisy. Rasanya Harger tak terlalu lama meninggalkan tempat ini, sekarang; kali kedua dia ada di sini atas satu tujuan. Sang hakim akan menitipkannya, sementara pria itu akan pergi demi sebuah urusan penting. Dan tanpa memberitahu kepada pasangan Thamlin, mereka sudah tiba; untuk waktunya mengetuk pintu rumah.Satu ketukan pertama diliputi suara gemerisik dari dalam. Langkah kaki terburu – buru secara tidak langsung menuntut Harger dan sang hakim saling melirik setelah mereka hanya fokus mengamati sesuatu di depan.Ketukan berikutnya, kemudian diliputi wajah Daisy yang melonggok keluar dari pintu. Wanita itu baru saja terkejut ketika sorot mata-nya terpaku kepada sang hakim, lalu ke arah Harger secara bergiliran.“Kalian ....”Wajah Daisy hilang sesaat, demikian pintu segera terbuka lebar. Betapa wanita itu disergap perasaan membunc
“Ya, Tuhan. Anak itu memang kadang – kadang terlalu nekat. Tapi aku senang akhirnya kalian menikah.”Setelah Harger bercerita runtut dari bagaimana Direktur Oscar memaksanya menikahi Matthew. Itu adalah saat – saat Daisy bersuara setengah takjub dan nyaris tak habis pikir. Tanpa sadar wanita itu membekap bibir sendiri seraya mengenyakkan bahu ke sandaran sofa. Sementara Harger hanya bisa mengamati Daisy dengan perasaan ambigu. Butuh waktu cukup lama membiarkan sudut – sudut paling hening akhirnya pecah. Tiba – tiba Daisy melanjutkan pertanyaan lain.“Jadi sekarang Deu berencana ke mana?”Harger meringis, sambil mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Dia melirik ke arah kamar sebentar. “Ada urusan penting, Daisy. Aku tidak terlalu mengerti. Tapi Deu akan pulang dengan cepat. Apa kau tidak keberatan sementara aku di sini?” Harger merasa mengajukan pertanyaan menjadi prospek bagus. Masih menunggu Daisy memberinya jawaban.“Tentu saja. Kenapa aku harus keberatan? Kau bagian dari keluarga