POV Diva.
{ Maaf, Kali ini tolong kamu mengerti. Saya gak bisa menemani kamu makan siang. Kita bisa makan malam di rumah nanti. Jangan merajuk, sayang }
Aku menatap pesan teks Liam tak berkedip. Siang ini aku masih duduk di kantor seorang diri. Jam makan siang seperti ini kantor akan sepi, hanya aku yang belum makan siang karena menunggu kedatangan Liam.
Waktu berlalu dengan cepat, hari semakin sore. Aku mengemas barang-barangku, lalu kumasukan ke dalam tasku. Aku berjalan tidak bersemangat dengan langkah pelan menuruni tangga.
Sampai di luar gedung, aku memesan taxi online pulang ke rumah. Di persimpangan jalan di dalam mobil, aku memutuskan mengganti alamat tujuanku.
"Pak, saya minta tolong mobilnya putar balik, saya arahin tempatnya. Nanti saya tambahin ongkosnya."
"Baik Bu."
Apa aku sudah siap dengan kenyataan buruk yang nantinya aku terima. Pengalaman
POV DivaMalam ini lebih panjang dari satu hari untukku yang bermimpi buruk ini, dan siang lebih panjang dari malam untukku yang menunggu kedatangan Liam saat ini. Hanya terdengar rintik hujan yang menemaniku malam ini.Saat malam semakin larut, aku berbaring di sofa putih yang terletak di ruang tamu memejamkan mata, membiarkan kekhawatiranku memudar. Hanya tidur lelap yang bisa membantuku dapat memulai hari besok dengan seperti biasa.Kenapa Liam tidak mengabariku jika dia pulang terlambat? Pikiranku penuh dengan banyak pertanyaan untuk Liam. Memikirkan kemana saja Liam seharian ini.Tidak lama suara pintu terbuka terdengar, mataku masih terpejam namun kupingku tajam mendengar suara langkah kakinya."Sayang... kamu sudah tidur?" Dia menyentuh bahuku, terpaksa aku pura-pura seperti orang yang baru bangun tidur, "Lihat saya bawa apa ini? Di seberang gedung tadi ada pembukaan kafe, saya dengar spaghettinya enak jadi saya ngantri untuk membelika
Liam terbangun setelah mendengar suara horden tergeser. Mata besarnya menangkap Diva yang sedang membuka horden putih itu, bibirnya melengkung. "Morning, sayang.""Nanti temenin aku ya beli bahan makanan, hari ini kan libur."Liam bangkit ke posisi duduk, kemudian berkata. "Maaf sayang, bukan saya gak mau. Tapi, Papa nyuruh saya dateng ke rumahnya. Saya juga gak tau ada apa."Diva masih diam dan hanya mengamati wajah suaminya, dengan perasaan curiga Diva bertanya. "Jangan bilang keluarga kamu ngelarang kamu bawa aku?""Mm-mm ya gaklah sayang. Kalau kamu mau ikut ya gak apa-apa. Kamu bisa ikut." Liam tampak kesulitan menjawab ucapan Diva. Orang tuanya bahkan terang-terangan mengingatkan Liam untuk tidak membawa Diva ikut ke acara keluarga mereka.Diva segera masuk ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi bersama Liam sebelum pria itu memberikan banyak alasan untuk meralat kembali ucapannya. Liam menyisir rambutnya dengan kasar dan fru
Sekarang Diva sedang berada di rumah mewah keluarga Liam Kavindra. Ia sendiri tidak tahu keluarga itu sedang membuat acara apa, Liam hanya bilang berkunjung biasa dan makan siang bersama.Sejak menikah Liam memang tidak pernah membawa Diva ke rumah keluarganya, karena Rayhard masih belum menerima Diva sebagai istri Liam. Bagi Rayhard Diva adalah perusak rumah tangga Liam dan Samira.Liam menggandeng Diva untuk masuk dan menyapa keluarganya. Diva tidak menyangka Samira juga ada di sana, wanita itu berpikir positif. Mungkin keluarga Liam masih menganggap Samira sebagai bagian dari keluarga ini. Dari tempatnya berdiri Diva bisa melihat Samira sedang asyik mengobrol bersama Ibu mertuanya dan Viona."Apa kabar Mah? Maaf Diva gak bawa apa-apa soalnya tadi buru-buru." Ucap Diva kepada wanita yang berambut disasak itu.Ibu Liam menoleh dan berkata, "Santai aja, gak apa-apa." Lalu kembali melanjutkan obrolannya dengan Samira dan Viona. "Kap
Diva kembali ke dalam, duduk di sofa dan kembali melihat interaksi keluarga Liam dengan Samira. Dia diam saja mendengar suara tawa Samira. Sejujurnya Diva sangat merindukan kehangatan di rumah bersama keluarganya, tapi sayangnya hal itu pun tidak ia dapatkan di keluarga Liam.Seandainya saja ibunya masih hidup dan ayahnya tidak berselingkuh mungkin keadaan keluarganya tidak seperti ini."Kenapa dari tadi diam aja?" Ujar Liam.Diva menghela pelan, ia berusaha tersenyum kepada Liam. "Gak apa-apa. Aku hanya merasa iri melihat keluarga kamu tertawa bahagia, kelihatan sangat seru berkumpul seperti ini."Liam melirik ke arah Samira, ada perasaan tidak nyaman terbersit. "Kamu mau pulang, sayang?"Sebenarnya Diva ingin pulang saja, tapi ia malah menggeleng. "Jangan. Kan belum malem, gak enak kalau kita pulang begitu saja." Ucap Diva. Liam mengelus kepala Diva lembut."Yaudah kita bentar lagi pulangnya, tapi kalau kamu pingin kita pulang sekarang bil
Samira sengaja meminum susu kotaknya dengan lambat diselingi obrolan ringan. Dia sangat menyukai ketika berada di dekat Liam, nyaman dan penuh sensasi yang menyergap hatinya. Tangannya masih memegang gelas isi susu.Sesuatu yang Samira tidak percaya bahwa rasa itu masih sama, dia pikir perasaan itu malah semakin bertumbuh semenjak keadaan tubuhnya menjadi berbeda."Cepat habiskan, semua orang sedang menunggu kita di atas," ujar Liam lembut."Aku bisa tersedak kalau cepat-cepat. Lagian aku gak pernah makan minum tergesa-gesa," sahut Samira."Saya tau," Liam mengangguk, "kamu masih suka minum. Udah berhenti ke club kan?" Mata Liam mengintimidasi, seakan ucapan itu amaran untuk Samira."Tenang aja. Kamu masih aja protektif."Namun, seolah dipermainkan takdir. Diva berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri, mendengar pembicaraan mereka. Mendengar ucapan Liam yang bernada perhatian dan cemas itu. Perhatian Liam itu membuat Diva cemburu dan mer
POV DivaApakah Liam adalah bayi anak dalam kandungan Samira?Banyak yang mengganggu pikiranku sekarang dan sulit untukku terima. Mengapa tidak ada seorangpun yang memberitahuku tentang apa yang sedang terjadi. Dalam waktu singkat aku harus menerima suamiku telah mempunyai calon bayi di perut wanita lain.Aku tidak menyangka berada di tengah-tengah orang yang menutupi kebenaran ini padaku. Mereka bisa sesantai itu?Aku pikir wajar Samira masih menjaga hubungan dengan keluarga mantan suaminya, tapi ternyata ada yang mereka sembunyikan. Kehamilan Samira. Aku memperhatikan perut Samira yang tidak bisa jelas kulihat bentuk tubuhnya karena ia memakai pakaian baby dol yang mengembang.Di kantor ia jarang memakai dress ketat, lagi pula aku tidak pernah sedetail itu memperhatikan dia.Bisa kubayangkan betapa bahagia kedua orang tua Liam karena akan mempunyai cucu. Lalu bagaimana dengan perasaan Liam?Aku melangka
"Saudari Samira Basagita, silahkan masuk." Seorang wanita di dampingi pria berjas hitam rapih masuk untuk melakukan pemeriksaan setelah menunggu dua puluh menit lamanya.Diva yang mematung dari kejauhan langsung berjalan ke arah pintu yang telah tertutup itu. Membaca tulisan di depan pintu 'Dokter spesialis kandungan' wajahnya yang cantik berubah 180 derajat kaget, sedih, bercampur aduk membuatnya hancur.Tadi pagi Diva langsung mengikuti Liam dengan taxi, bersamaan dengan kedatangan Liam, Samira muncul di rumah sakit itu membuat Diva menunggu apa yang sedang kedua orang itu lakukan di rumah sakit. Kecurigaannya ternyata benar, Samira hamil. Tapi Diva tidak bisa membuktikan itu, ia harus masuk dan langsung menanyakan pada mereka yang sudah tertangkap basah. Tapi Diva tidak cukup keberanian untuk masuk menemui Liam."Maaf Mbak, itu yang tadi masuk pasangan suami-istri?" Tanya Diva kepada wanita yang tadi memanggil Samira."Maksudnya Bu Samira,
POV : Diva"Diva?" Suara Liam terdengar di belakangku, dia sedang memasuki dapur melihatku yang duduk di ruang makan dengan dahi berkerut, "Apa kamu sakit? Akhir-akhir ini kamu banyak melamun, sayang?"Liam membuat sendiri kopi pahitnya lalu duduk di depanku membawa secangkir kopi. Aku menyerup tehku yang sudah dingin. Sudah hampir dua jam aku duduk di sini dengan pikiran campur aduk."Aku gak apa-apa. Bagaimana dengan pekerjaanmu apa semua berjalan lancar?" Tanyaku."Proyek yang kemarin ada masalah dengan investor? Oh, itu Mas Ray nyuruh saya mengambil alih dan menyelesaikannya." Jawab Liam lalu menyerup kopinya, "Sebenarnya saya gak mau menerima itu, mas Ray itu hanya baik kalau ada maunya aja." Tambahnya mendumel.Aku memperhatikan wajahnya yang datar tanpa eksepresi. Entah mengapa aku terus dibayangi rasa takut kehilangan karena kata-kata Nara. Aku butuh mendengar kebenaran dari mulut Liam."Kamu sama Samira kembali dekat kan