Share

Terkabulnya Doa Istri Pertama

Terkabulnya Doa Istri Pertama

Bab 5 

Ini Tidak Adil! 

Walaupun Sarah masih dalam masa pemulihan pasca melahirkan, ia yang punya misi dan ambisi balas dendam membuatnya sama sekali tidak merasakan lelah. Setelah adzan subuh berkumandang, ia sudah siap mengotak-atik HP dan e-mailnya. 

Berbekal hubungan dirinya dengan teman kerja mantan suaminya yang pernah bertandang ke rumahnya dulu, Sarah berhasil mendapatkan alamat e-mail dan no pribadi milik direktur utama perusahaan tempat Hendrik bekerja serta para staff yang bisa diajak kerja sama. 

Ia yang tahu akan peraturan ketat perusahaan tersebut dengan semangat empat lima segera mengirimkan video bukti perselingkuhan dan arakan Hendrik kepada Dirut dan staff. Tak lupa, ia memprovokasi sang Dirut agar memberikan hukuman yang setimpal. 

Sementara itu di rumah Pak Adam. Ia yang baru saja menyelesaikan sarapan, sangat terkejut begitu membuka e-mail maupun chat di aplikasi gagang ijo. Kebersamaan sarapan bersama keluarga yang hangat berubah menjadi sangat panas penuh emosi. 

"Ada apa, Pa?" Sang Istri begitu khawatir dengan perubahan sikap suaminya. 

"Tidak! Ini urusan kantor," jawabnya singkat seraya bangkit dari kursi makan untuk segera berangkat ke kantor tanpa sedikitpun bisa menyembunyikan kemarahan. Hal itu tidak luput dari perhatian sang istri. 

Sesampainya di kantor, Pak Adam menyuruh staff agar menghubungi dirinya ketika Hendrik sudah tiba. 

****

"Eh, liat deh! Ini Pak Hendrik, kan?" Staff kantor di perusahaan tempat Hendrik bekerja, memperlihatkan video penggerebekan semalam kepada rekannya. 

"Iya, ini mah! Gila, ya, kelakuannya. Kok bisa jadi begini? Apa gak kasihan sama Istrinya? Padahal, selingkuhannya biasa aja. Istrinya kira-kira tahu, gak, ya?" timpal rekan di sampingnya. 

Bak bensin tersambar api, video itu sudah ditonton oleh semua orang-orang yang bekerja di gedung itu. Cibiran, cemoohan, caci-maki, sumpah serapah, dan hujatan mereka layangkan untuk Hendrik yang saat ini masih mampir untuk sarapan di dekat kantor. 

Mereka sama sekali tidak menyangka jika seorang Hendrik, sang cucu dari pemilik perusahaan tempat mereka bekerja, bisa melakukan hal keji seperti yang mereka lihat. Kasak kusuk perghibahan terjadi begitu saja. Meskipun begitu, tak ada yang berani bersuara secara langsung. Sebab, tak ingin kehilangan pekerjaan seketika. 

"Eh, eh! Tuh orangnya datang!" Staff frontliner memberi kode kepada teman-temannya agar diam. 

"Ih, masih punya muka rupanya tuh orang setelah kelakuan semalam?" Salah satu staff memulai ghibah kembali setelah Hendrik menghilang dari pandangan. 

"Hooh. Mana mukanya gak ada rasa bersalahnya sama sekali. Ih, amit-amit! Kalau aku jadi dia, udah menghilang dari dunia kali. Kok ada ya manusia gak tahu malu kek dia?" sahut rekannya dengan kesal. 

"Malu? Manusia kek gitu mah udah gak punya malu lagi. Sama Tuhan aja gak punya malu, apalagi sama kita." Rekan lainnya pun tak kalah kesalnya. 

"Udah, ah! Kita ke sini kerja, bukan ngeghibah. Mau lembur lagi kalau gak kelar-kelar?" Rekan yang selama ini dikenal diam pun menyudahi acara ghibah tersebut. 

****

"Mereka kenapa, sih? Gak ada hormat-hormatnya, malah cuek dan  kek risih gitu sama aku. Emang aku jelek, bau?" Hendrik mencium badan dan lengannya sendiri saat menyadari tatapan para staffnya tadi. Hal itu membuat kedongkolan Hendrik kian bertambah-tambah. 

 

Kring! Kring! Kring!  

"Ini siapa sih? Gak ngerti apa kalau lagi kesal? Ganggu aja!" gerutu Hendrik seraya angkat telepon.

"Iya, ha—"

"Hendrik, kamu ke ruangan saya. Cepat!" titah seseorang di seberang sana tanpa perlu mendapatkan persetujuan Hendrik.

"Dih! Enak banget main suruh-suruh! Ngapain, sih?" Walaupun jengkel dipanggil ke ruangan dengan seenaknya, Hendrik tetap datang. 

Tak butuh lama, Hendrik sudah di depan pintu ruangan milik seseorang yang memanggilnya itu. 

"Permisi, Pak!"

"Gak usah basa-basi. Kamu tahu kenapa dipanggil?" Seorang yang meja kerjanya bertuliskan "Direktur" itu menatap tajam Hendrik 

"Tidak tahu, Pak! Memangnya ada apa?" Dibalik rasa gugup dan takut akan aura direktur bernama Pak Adam yang menakutkan, Hendrik berusaha sesantai mungkin. 

Tanpa mempersilakan Hendrik untuk duduk, Pak Adam mengotak-atik phone cellnya. Lalu, menyerahkan pada Hendrik. 

"Bisa dijelaskan ini apa?" serahnya penuh kegeraman. Telepon pintar tersebut diterima Hendrik dengan  keterkejutan. Lidahnya tiba-tiba kelu, otaknya berputar keras mencari jawaban yang pas dan cepat. 

"I-ini tidak mungkin, Pak! Ini pasti editan orang yang benci pada saya, Pak! Itu bukan saya. Bapak, kan, tahu sendiri bagaimana saya menjaga nama baik," jawabnya dengan terbata. 

Dibalik rasa gugup dan malu yang tak terkira, Hendrik berusaha sekuat mungkin untuk menahan amarah juga tidak bersalah. 

"Haha! Kamu pikir saya ini buduh? Saya sudah memeriksakan kepada ahli IT terbaik perusahaan ini. Kamu tahu apa jawabannya?" Hendrik menggeleng cepat. Sungguh! Ia berharap jawaban tidak. 

"Kamu bisa membohongi saya dengan sanggahan tak bermutumu itu. Tapi, tidak dengan kenyataannya." Pak Adam nampak menghela napas. "Ini asli!" tegasnya membuat Hendrik bersusah payah menelan ludah.

"Cepat keluar dari sini dan ini surat skors enam bulan untuk kamu!" titah Pak Adam melemparkan amplop ke wajah Hendrik. 

Otak Hendrik berhenti tiba-tiba membiarkan amplop itu jatuh di kakinya. Seluruh tubuh, terutama lututnya lemas tak bertenaga. Keputusan sepihak membuatnya tidak bisa berpikir apa-apa. Kenyataan pahit di depan mata membuatnya bak menjadi patung hidup tak berguna. Hal itu sebabkan Pak Adam tak  bisa tahan untuk tidak membentaknya. 

"Hendrik! Apakah saya memanggilmu untuk menjadi patung tak berguna?" Seketika kesadaran Hendrik kembali. Bahkan, ketakutan dan kegugupannya lenyap. 

"Pak, yang benar saja? Bapak tidak bisa seenaknya memutuskan secara sepihak, dong! Ini masalah sepele, tidak seharusnya dibesar-besarkan dan diseriusi. Saya tidak mau dimutasi. Cabut keputusan itu, atau Bapak saya laporkan pada Nenek!" 

Brak! Spontan Pak Adam menggebrak meja seraya berdiri lalu menarik kuat-kuat kerah Hendrik. 

"Sepele katamu? Apakah kamu ingin terjadi kerugian dan kebangkrutan jika hal ini sampai di telinga dan mata seluruh client? Hah! Jawab! Silakan buat perusahaan sendiri dan kau jalankan sesukamu! Dan apa katamu? Adukan Nyonya Santi? Silakan saja, jika kamu ingin dijadikan bulan-bulanan Nenekmu itu! Cepat bereskan barang-barangmu!" 

Disebut nama Neneknya, nyali Hendrik menjadi ciut. Hal itu menyebabkan dirinya hampir jatuh ketika Pak Adam melepaskan cengkraman seraya mendorong  tubuhnya  kuat-kuat. 

"Awas kamu, Adam!" Brak!!! Hendrik keluar dari ruangan Pak Adam dengan membanting pintu kuat-kuat disertai kemarahan, dendam dan hilangnya sopan santun. 

Brak!!! 

Tepat di depan ruangan miliknya yang sebentar lagi akan ditinggalkan itu, Hendrik masuk dengan menendang pintu sekuat-kuatnya. Beruntung, keadaan sekitar sepi dari lalu lalang staff.

Setibanya di dalam, Hendrik melampiaskan kemarahannya itu dengan melempar apa saja barang yang ada di atas meja kerjanya, termasuk laptop mahal kesayangannya. 

Rak-rak tempat menyimpan dokumen pun tak luput dari amukannya. Tak butuh lama, ruangan yang serba rapi dan bersih itu menjadi berantakan bak kapal pecah. 

"Ini tidak adil. Akhrghhhh!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status