Share

Terkabulnya Doa Istri Pertama

Terkabulnya Doa Istri Pertama

Bab 4

Ada Apa, Ya?

Setelah keluar dari rumah Pak RT, Sabrina menemui orang-orang di sekitar rumah Hendrik. Tujuannya kali ini adalah menyuruh orang merekam apapun yang terjadi nanti. Setelah berhasil menemukan orang-orang tersebut, Sabrina memberitahukan hal yang harus mereka lakukan. 

Usai menyuruh orang, Sabrina menunggu arakan Hendrik dan Novi di pinggir jalan yang akan dilewati. Dan di sinilah ia sekarang berada.

Tak ingin merayakan misinya sendirian, Sabrina pun segera menghubungi Sarah.

Drttt! Drttt!

"Assalamu'alaikum, Na! Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?" Sarah yang sedang menyusui Emir di kamar barunya mendapat telpon dari Sabrina. Ia mendadak tidak enak hati, khawatir jika terjadi apa-apa dengan Sabrina. 

"Wa'alaykumussalaam. Tenang saja, Mbak! Aku baik-baik saja kok. Arakan Hendrik sudah mulai terlihat, apakah Mbak Sarah mau lihat?" 

"Aku siap, Na! Aku ingin melihat seperti apakah malunya si badjingan tengil itu." Di ujung sana, Sarah begitu berapi-api. Hal itu membuat Sabrina tersenyum penuh semangat untuk membalaskan sakit hatinya Sarah. 

"Mbak, udah datang tuh rombongan. Siap-siap, ya?" Tanpa menunggu jawaban Sarah, Sabrina mengubah dari panggilan suara ke panggilan video. 

Sorakan warga dalam mempermalukan Hendrik dan Novi terdengar dari ujung sana. Sarah dan Sabrina sudah siap untuk melihat musuhnya dipermalukan. Beruntung, Hendrik maupun Novi sama sekali tidak melirik akan keberadaan mobil di pinggir jalan yang dikendarai Sabrina. 

"Kami bukan pezina! Kami ini suami istri!" Teriakan demi teriakan Hendrik gaungkan di tengah-tengah cibiran dan sorakan untuk mereka berdua. 

"Bohong! Istrinya bukan dia, itu adalah pelatjur. Lihatlah pakaiannya. Ayo, lempari mereka dengan sampah!" 

Mereka pun melempari Novi dan Hendrik dengan telur busuk, air comberan dan sampah lainnya. Warga yang mencekal keduanya segara menghindar dari serangan itu. 

Peristiwa serangan sampah serba busuk itu tak terlepas dari mata Sarah melalui sambungan video. Bohong rasanya jika ia sudah tidak sakit hati. Bayangan Hendrik turun dari mobil membawa Novi dan dirinya diceraikan masih terngiang-ngiang di kepalanya. 

Dadanya kembali bergemuruh sekaligus nyeri. Tangannya mengepal penuh kemarahan dan kekecewaan. Perlahan-lahan air matanya lolos, hal itu tak luput dari perhatian Sabrina.

"Udah, Mbak! Jangan tangisi lelaki badjingan itu. Udah saatnya sekarang Mbak bahagia. Ayo, sama-sama kita balas dendam. Aku akan selalu bersamamu, Mbak!" Sabrina di dalam mobil berusaha menenangkan Sarah di sambungan tersebut.  

"Aku bersyukur dan berterima kasih sama kamu, karena sudah mau membantuku membalas dendamku padanya." Sarah berusaha tersenyum, menutupi rasa kecewanya. 

"Ngomong-ngomong, apa yang kamu lakukan keren, lho! Tapi, ini belum ada apa-apanya untuk mereka," lanjutnya. Sarah yang masih sanggup menonton arakan tersebut berusaha mengalihkan pembicaraan agar sambungan tidak canggung. 

"Ah, Mbak bisa aja. Gampang itu, mah!" 

Usai rombongan warga melintasi mobilnya, Sabrina menemui orang-orang yang telah disuruhnya itu. Kali ini ia akan membayar mereka dan meminta video hasil rekaman mereka.

"Aku suka kerja kalian. Terima kasih, ya?"

"Gampang ini, mah! Senang bekerja sama, kami juga berterima kasih." Mereka berjabat tangan. Di antara kedua belah pihak sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

Sementara itu, perarakan Hendrik dan Novi sudah berkilo-kilo meter jauhnya. Dan kini, keduanya ditinggalkan oleh warga di ujung jalan yang sangat sepi dengan tangan dan kaki ditali oleh warga agar tidak bisa pulang sebagai tambahan hukuman.

Tempat tersebut kanan kiri penuh semak belukar, gelap gulita tanpa pencahayaan  dan cukup membuat bulu kuduk merinding. Ditambah Hendrik dan Novi hanya menggunakan pakaian yang tidak pantas sama sekali. 

Akhirnya mereka berhasil  melepaskan ikatan satu sama lain, setelah belasan menit berusaha. 

"Mas, semua ini gara-gara kamu!" Novi yang sedari tadi kehilangan muka, berjalan tanpa sandal dan suara, melampiaskan itu semua pada Hendrik. 

"Gara-gara aku bagaimana? Memangnya kamu doang yang dipermalukan? Tidak, aku juga! Kok bisa-bisanya malah nyalahin aku. Memangnya aku pengen kita kayak gini? Gak! Jadi, jangan nyalahin aku!" Hendrik yang tidak terima disalahkan pun meninggalkan Novi. 

"Mas, tunggu. Jangan tinggalin aku!" Walaupun Novi marah, ia tetap menyusul Hendrik. 

Berpuluh-puluh menit, akhirnya Hendrik dan Novi sampai di rumah. 

"Biadab, bangsat! Siapa sih yang berani ngarahin orang sebanyak itu? Hah! Jadi rusak kan pintunya?" Hendrik menatap pintu secara bengis. 

"Jangan-jangan ini ulah Sarah, Mas? Kan hanya dia yang tahu kalau aku ada di rumah inj" terka Novi. Hal itu membuat Hendrik semakin marah.

"Tidak! Itu tidak mungkin. Sarah tidak mengenal orang sini." Hendrik begitu yakin dengan jawabannya. Bagaimana tidak? Hendrik sendiri adalah tipe manusia yang tidak pernah mau bergaul di lingkungannya. Ia tidak pernah mau tahu urusan Sarah jika sedang berada di kantor. 

"Kamu tadi kenapa tidak ada malu-malunya, sih, dilihat orang banyak? Kamu seneng jadi tontonan?" tanyanya penuh kekecewaan, barang yang seharusnya hanya untuknya malah dibiarkan dilihat orang lain. 

Hendrik baru mengingat ekspresi Novi saat digerebek. Ia menangkap istri barunya itu sama sekali tidak ada malunya. 

"A-anu… ya aku malu dong, Mas! Masa dilihat orang banyak gak ada malu-malunya. Mas kali yang seneng tuh dilihat orang-orang?" Untuk menutupi rasa gugup dan gelagapan, Novi menutup pintu lalu meraba-raba tubuh polos Hendrik. Dengan cara itu ia berharap tidak ditanya-tanya lagi olehnya. 

"Ssshhh! Kamu tahu aja. Yuk, lanjut yang tadi." Dasarnya penuh nafsu, hanya diraba seperti itu Hendrik sudah lupa daratan. Kemarahan, kekecewaan dan kebencian yang Hendrik rasakan malam itu hilang begitu saja. Tentu saja hal itu membuat Novi bernapas lega. 

*****

"Mana sarapanku, Nov? Kok gak ada?" kesalnya. Hendrik yang terburu-buru berangkat ke kantor karena bangun kesiangan harus menemui Novi di balik selimut. 

Hoamm!!!! Novi membuka selimut dan menggeliat. 

"Apa sih, Mas? Ganggu banget!" Jawaban Novi membuat Hendrik semakin kesal. 

"Sarapanku mana? Aku harus berangkat cepat ini, lho!" ulangnya, Novi bergeming. 

"Beli saja, Mas! Aku masih ngantuk." Novi kembali menarik selimut dan melanjutkan tidurnya. 

Walaupun dengan perasaan kesal, marah, dan kelaparan karena tenaganya habis semalam tanpa asupan kembali, serta dongkol, Hendrik terpaksa harus berangkat ke kantor detik itu juga. 

Berbeda dengan pagi Hendrik yang harus menelan kekecewaan atas kelakuan Novi, pagi Sarah penuh semangat. 

"Wah, keponakan tante udah ganteng aja. Sini sama tante, yuk!" Sabrina menghampiri Sarah yang memangku Emir di ruang makan.

"Iya, Tante!" Dengan nada kekanakan, Sarah mewakili Emir. 

"Ngomong-ngomong, apa yang akan Mbak Sarah lakukan selanjutnya?" Sarah pun membisikkan sesuatu di telinga Sabrina. Wajah keduanya sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa senang itu.

Sementara itu, Hendrik memasuki kantor dengan kedongkolan dari rumah yang belum hilang. Sepanjang jalan dari parkiran menuju ruangnya, tak seorang pun yang menaruh hormat padanya seperti biasa. Ia yang harus segera masuk ruangan, tidak pedulikan itu. 

Kring! Kring! 

"Kamu ke sini cepat, Pak Hendrik!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status