"Tapi, Pak... " Aku berusaha menolak."Udah, Ngga papa. Pak Beni itu orangnya baik. Pasti dengan senang hati mengijinkan. Apalagi, saya ajak kamu sebagai ucapan terima kasih karena saya sangat kagum akan presentase kamu yang sangat mudah di mengerti." ucap Riki. Sekilas aku dan Ayah Beni saling tatap. Dia tersenyum dan mengangguk padaku. Ah! Sebenarnya aku ingin menolak, tak enak hati pada Ayah. Dia pasti curiga kalau aku sudah memiliki hubungan khusus makanya aku menyuruhnya untuk berbohong tentang siapa aku. "Silahkan duduk!" Riki menarik satu kursi untuk kududuki. Dia seolah memperlakukanku layaknya kekasihnya. Aku sangat segan. Kami memesan beberapa makanan, entah kebetulan atau memang selera kita sama. Kita memesan makanan dan minuman yang sama, sampai akhirnya kita tersenyum bersama karena menyebutkan bebarengan. "Kamu sangat profesional dalam bidang itu, berapa lama kamu bekerja?" tanya Riki."Baru sekitar empat bulan," jawabku jujur. "Empat bulan? Pasti pengalaman kamu ba
"Kamu nggak papa?" "Maaf!" ucapku pada laki-laki yang menabrak. "Indah!""Pak Riki!"Kami sama-sama menyebutkan nama ketika melihat wajah masing-masing. "Kamu ngapain di sini?" tanya Pak Riki yang kaget melihatku. "Ini nganter a--. Eh... Maksudnya nganter anak Pak Beni." entah ide dari mana, tiba-tiba muncul saja kalau aku akan suruh Dian pura-pura jadi anak Pak Beni. "Oh, mana orangnya?" terlihat Pak Riki mencari-cari sosok anak Pak Beni. Sepenasaran itu kah? "Pak Riki sendiri ngapain di sini?" tanyaku kemudian. "Oh, antar ponakan juga." Dia memanggil seseorang yang tak jauh darinya. Akupun melambai pada Dian agar segera kemari. "Perkenalkan Pak! Ini Dian anak Pak Beni.""Dian kenalkan ini Pak Riki, seorang direktur kepercayaan Ayahmu." Aku mengedipkan mata pada Dian, memberi kode agar dia mau menurut saja apa yang aku katakan. "Riki," Pak Riki menjabat tangan Dian, "Oh, ya. Perkenalkan ini sepupuku. Namanya Bagus."Pak Riki memperkenalkan sepupunya yang sudah berada di samp
"Aku! Kamu tanya aku siapa!" dengan wajah garang dan mata melotot wanita itu menatapku, "Aku itu pacarnya Riki, Riki Ginanjar! Direktur di perusahaan D."Aku menggeleng sambil tersenyum. "Sopan sedikit Tanti!" kali ini Riki bersuara. "Aku harus sopan! Sopan pada pelakor macam dia?!" ucapnya lagi menohok hati. Sambil menuding wajahku. Faza seketika menangis ketakutan. Kuraihnya dalam gendongan. "Mas! Kamu lebih memilih wanita yang sudah beranak macam dia dari pada aku yang masih perawan!" ucapnya lagi. "Maaf, Mbak. Aku hanya rekan kerjanya!" ucapku sedikit kesal. "Lebih baik dia! Walaupun sudah punya anak tapi hasil pernikahan dari pada kamu yang masih perawan tapi tidur dengan laki-laki!" Pak Riki kembali berargumen. Seketika Tanti memerah wajahnya. "Mas! Kan sudah aku jelaskan kalau aku di jebak! Aku dikasih obat hingga melakukannya tanpa sadar!" belanya dengan linangan air mata yang hampir jatuh di wajah mulusnya. "Bulsit semua itu! Di jebak kok sampai berkali-kali!" Pak Riki
"Shinta! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku ketika sudah berhadapan dengannya. "Ya Allah, Mbak Indah. Akhirnya aku bertemu dengan seseorang yang aku kenal." Dia langsung memelukku erat. Entah apa yang terjadi hingga penampilannya kusut marut dan tak terurus. "Ayo ikut, Mbak!" Kutuntun dia masuk kedalam mobil. Wajahnya berbinar seolah baru saja menemukan secercah harapan akan hidupnya. Mobil kembali melaju, kemacetan yang terjadi akhirnya bisa terurai. Aku menatap iba pada mantan adik iparku itu. "Bagaimana kamu bisa sampai kekota ini?" tanyaku penasaran. "Ceritanya panjang, Mbak. Aku sudah dua hari lantang lantung di pinggir jalan. Huu.... " Dia menangis mengingat kejadian yang baru saja di alami. Kuraih dalam pelukku agar sedikit tenang. "Ya sudah, ceritanya nanti aja. Biar kamu tenang dulu. Sekarang ngga usah khawatir, kamu aman sama Mbak.""Makasih ya, Mbak." Aku tersenyum padanya. Kubawa dia pulang kerumah.Shinta mengekor ketika masuk kerumah, matanya menatap sekelili
Aku masih terbengong dengan ucapan Pak Riki. Sungguh aku tak punya pikiran sampai sejauh itu. Terlebih ketika kejadian kemarin di restoran. Rasanya enggan untuk tertarik padanya, karena aku bukan tipe pelakor. Asal nyaman dan suka tak peduli sudah ada pemiliknya. "Ma-maaf, Pak! Aku tak punya pikiran sejauh itu. Aku tak mau menjalin hubungan, aku bukan lagi ABG atau anak gadis yang berpacaran." Kuucapkan dengan tegas. "Maaf jika tadi kata yang aku ucapkan salah, Ndah! Maksud aku juga begitu. Entah keberanian dari mana aku dapat ungkapkan ini sekarang. A-aku tak ingin jawabanmu sekarang tapi setidaknya aku sudah ungkapkan sekarang dan aku bisa pergi dengan tenang." Kali ini dia meremas tangannya. Aku masih terdiam, ketika tiba-tiba Ayah Beni datang dan mengajak ngobrol Pak Riki. Mereka membahas tentang kepergian Pak Riki yang ke Sidney untuk urusan kemenangam tender dan pembelian sebagian saham yang di lelang. "Berapa lama kamu di sana?" tanya Ayah Beni. "Belum tahu, Pak. Sekiranya
Segera kuberusaha melepaskan tangan satu dari pinggangnya. Secepatnya aku berusaha berlari menuju keluar, tapi naas kerudungku di tariknya. "Mau lari kemana, Cantik! Aku takakan menyakitimu kalau kamu nurut! Tenanglah, akan kubuat kamu mabuk kepayang dan selalu terbayang-bayang." Rasanya muak sekali mendengar ucapannya. "Lepaskan aku!" sergahku."Tak usah munafik, Sayang. Ayahmu saja sudah percaya padaku. Bahkan dia mendukung kita menikah!" Kugelengkan kepala cepat. Aku rasa tak mungkin Ayah membiarkan aku menikahi laki-laki brengsek itu. "Lepaskan! Aku tak sudi punya suami piktor macam kamu!" "Hhaaa... Ha... Baru kali ini aku bertemu wanita yang bilang begitu! Biasanya mereka justru bilang aku lelaki sempurna, romantis, gagah dalam ranjang dan juga kaya! Apalagi yang di cari dari laki-laki seperti diriku ini."Cuihh! Aku ludahi dia dengan penuh emosi, "Tak semua wanita gila harta! Aku jijik dengan laki-laki sepertimu!" Plakk!! Satu tamparan mendarat di pipiku, aku terhuyung jat
"Siapa yang membawa aku kerumah sakit dan bagaimana kondisiku saat di temukan?" aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Ibu tersenyum, "Sebaiknya besok saja ya ibu ceritakan. Setidaknya Allah masih menyayangimu." Ibu membawaku masuk kekamar, perasaan itu masih berkecambuk. Benarkah aku sudah di nodai ketika aku pingsan? Rasanya aku jijik sekali dengan tubuhku. Kenapa ini harus terjadi! Aku memeluk Faza, rasanya kangen sekali beberapa hari tak bertemu. Hanya dia yang membuat aku semangat menjalani hari-hari berikutnya. Hpku berdering, di layar ponsel tertera nama Pak Riki. Aku ragu untuk mengangkatnya. Benarkah dia sudah tahu apa yang aku alami, malu sekali rasanya. "Hallo... " kuucapkan setelah memencet tombol dial. "Hallo, Ndah! Gimana kabarmu?" tanya Pak Riki di seberang sana. "Alhamdulillah baik, Pak." "Kenapa beberapa hari tak pernah akrif HPmu?" tanyanya lagi. "Maaf, Pak. Aku terlalu sibuk." "Oh... Baiklah. Kalau sudah dengar kamu baik-baik saja, rasan
Aku makin sibuk dengan segala pekerjaan kantor, hingga tak ada waktu untuk sekedar bermain HP. Kadang Pak Riki memang kirim chat dan hanya kujawab sekali dua kali. Bukan tanpa respon tapi aku sendiri benar-benar sibuk dengan semua urusan kantor. "Mbak, Aku boleh izin pulang, Nggak?" tanya Shinta takut-takut. Aku dapat melihat raut wajah ketakutannya. Mungkin dia tak enak karena baru sebulan lebih bekerja di sini. "Ada apa, Shin? Apa kamu tak betah?" tanyaku kemudian. "Nggak, Mba. Aku dapat kabar dari Dea kalau ibu sakit dan sampai masuk rumah sakit," jawabnya sambil menunduk, ada bulir bening yang hampir jatuh di sana. "Ya Allah... Sekarang kamu pesan tiket pulang!" "Iya, Mbak." kulihat Shinta segera meraih HPnya. "Kalau gitu, aku pamit, Mbak. Nanti kalau ibu sudah sembuh aku usahakan berangkat lagi secepatnya." "Baik, Shin. Salam buat Ibu. Oh, Ya... Ambil gajimu ke Sekretaris ya. Bilang saja aku sudah suruh siapkan." "Iya, Mba. Makasih banyak, maafkan semua kesalahan Ibuku di