Di sela-sela jam istirahat kantor, Dewangga menyempatkan diri datang menjenguk adiknya. Kini perlahan kondisinya mulai membaik. Dewangga mulai berkonsultasi dengan dokter yang merawat adiknya. “Pak Ramdan sudah diperbolehkan pulang besok, Tapi dia harus tetap kontrol dan rawat jalan, akan saya siapkan jadwalnya.”“Baik, Pak dokter. Terima kasih banyak.”“Sama-sama ya, Pak.”Setelah berkonsultasi dengan dokter, Dewangga kembali menemui adiknya.“Mas, kondisiku kan sekarang begini, sepertinya aku juga takkan mungkin dapat bekerja di kantor lagi. Aku ingin pulang kampung saja, Mas. Dan melanjutkan hidupku di sana.”“Kau tidak akan pulang sebelum kamu sembuh. Siapa yang akan merawatmu kalau kau pulang?”“Tapi, di sini juga—““Aku akan menyewakan rumah dan perawat untukmu.”Ramdan tertunduk. Ia merasa tak enak hati pada kakaknya. “Tapi, bagaimana dengan Risna? Aku takut aku justru jadi beban dan penghalang kalian.”“Kalau kau berpikir seperti itu, berarti kamu belum mengenal Risna sepenu
Part 67Dewangga membawa Risna duduk sejenak dan mencoba menenangkan hatinya.“Kamu dapat kabar dari siapa?” tanya Dewangga.“Pak Kamal, tadi Pak Kamal yang memberi tahu, Mas.” Risna menangis lagi. Dadanya berdebar sangat kencang, seketika ia takut terjadi sesuatu pada kakaknya itu.“Sabar, kamu tenang dulu.”“Aku gak bisa sabar, Mas. Ini mengenai kondisi kakakku. Aku takut kalau kabar ini sampai ke telinga Mama, aku takut beliau shock dan depresinya kumat lagi, Mas,” ujar Risna lagi. Dewangga merasa tak tega dengan Risna yang terus menerus menangis. “Kita akan cari kebenarannya dulu. Untuk sementara, jangan katakan apapun pada Mama.”Risna mengangguk, ia tak kuasa menahan air matanya. Ramdan yang melihat Risna menangis pun ikut merasa sedih dan juga ibu.“Jadi ini nomor yang menghubungimu?” tanya Dewangga saat memeriksa log panggilan terakhir.Risna mengangguk.“Ini nomor asing, Dek, siapa tahu ini hanya orang yang mengaku-ngaku dan ingin memanfaatkan kamu.”“Tapi tadi itu benar-ben
Mereka langsung menaiki mobil menuju ke rumah utama. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi hanya diam, hanya ketegangan yang tersisa di wajah masing-masing.Kedatangan mereka disambut oleh istri papanya.“Tumben kalian datang, kirain sudah gak ingat sama keluarga sendiri,” ujar Bu Martha menyindirnya. Wajahnya tampak tak bersahabat.Risna ingat betul, bahkan saat pernikahannya, istri papanya itu tak datang. Entah kenapa dia terlihat sewot sekali.“Kami ingin bertemu Papa.”“Papamu sedang tidak enak badan, beliau tidur di kamarnya.”Risna langsung melangkah masuk, tapi Bu Martha justru menghalangi. “Kamu tidak boleh bertemu dengannya. Jangan ganggu waktunya istirahat.”“Kenapa tidak boleh? Beliau papaku! Ada yang ingin kami bicarakan dengannya,” sahut Risna. Padahal ia tahu benar, dua hari lalu Papanya tidak apa-apa, bahkan berangkat ke kantor dalam kondisi sehat, lalu kenapa tiba-tiba dia sakit?Risna menatap manik mata ibu tirinya, hingga tatapan mereka beradu. Tak peduli dengan kesinisan
Part 68Uhuk-uhuk...! Lelaki yang terbaring di ranjang itu terbatuk-batuk. Ia mulai membukakan matanya perlahan, mengerjap sembari mengambil napas yang masih terasa berat. Kepalanya masih terasa berat dan juga pusing. Badannya sangat sakit, bahkan untuk bergerak sedikit saja badannya berasa remuk redam. Nyeri terasa di sekujur tubuhnya. Reyhan memicingkan matanya, berusaha mengingat apa yang sudah terjadi sebelum ini. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, merasa berada di tempat yang begitu asing.Ini dimana? tanyanya dalam hati. Suaranya tak mampu keluar. Sembari menahan rasa sakit, lelaki itu berusaha bangkit duduk dan mengamati sekitar. Sebuah kamar sederhana tampak begitu asing baginya. Tiba-tiba seorang perempuan mudamasuk. Ia sangat terkejut saat melihat lelaki yang ditolongnya sudah sadarkan diri. Perempuan itu mengenakan kerudung yang terjulur hingga menutupi dada berwarna hitam dengan gamis warna abu tua. Penampilannya memang sangat sederhana tapi tampak menyejukkan m
Abah Husein langsung memeriksa kondisi pria malang itu. Kebetulan dia adalah tukang urut di desa itu. "Sepertinya ini korban kecelakaan dan hanyut ke sungai. Zahra, tolong panggilkan Bu Bidan kesini ya, kasihan laki-laki ini. Dia butuh pertolongan.""Baik, Bah," jawab gadis muda itu sambil mengangguk.Gegas Zahra berlari dan menuju ke polindes dimana bu bidan berada. Bu Bidan memeriksa keadaan Reyhan. Lalu memberikan obat serta perlengkapan seperti perban kain kasa, betadine dan lain sebagainya untuk mengobati luka di tangannya yang cukup parah. Mungkin karena tergores batu.Karena tak ada biaya alias keterbatasan ekonomi, Zahra dan abahnya hanya mampu merawat pria itu di rumah."Saya pingsan berapa hari, Pak?" tanya Reyhan. "Dua hari. Maaf, Nak, kami hanya bisa merawatmu seadanya. Alhamdulillah berkat keajaiban Allah, akhirnya kamu sadar. Coba gerakkan anggota tubuhmu pelan-pelan, Nak," tukas Abah Husein. Reyhan mengangguk dan mulai menggerakkan semua tubuhnya, meski terasa kaku
Part 69Risna hanya menghela napas dalam. "Tapi sepertinya aku mencurigai ibu tiriku itu. Apa semua ini ada sangkut pautnya dengan dia, Mas?"Dewangga menggenggam tangan istrinya dengan hangat dan lembut. "Kau benar, kita memang harus waspada. Apa aku boleh tahu siapa lagi orang kepercayaan kakakmu selain Pak Kamal?" Risna hanya terdiam karena selama ini hanya Pak Kamal orang kepercayaannya. "Aku tidak tahu, Mas. Karena selebihnya hanya bekerja sesuai perintah saja.""Ya sudah, aku akan cari orang baru untuk mengawasi gerak-gerik Bu Martha. Semoga bisa ketemu yang cocok dan mau dengan pekerjaan ini."Selepas mengatakan hal itu, Dewangga pun pergi menemui Beni, sang asistennya untuk merekrut seseorang yang ingin bekerja dengannya.***"Dek, aku berangkat sekarang ya! Kamu hati-hati di rumah dan jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa hubungi Mas ya," ujar Dewangga berpamitan pada Risna. Lelaki itu mencium kening istrinya dengan lembut."Iya, Mas juga hati-hati di jalan, tolong sering
"Dugaan aku pelakunya mungkin orang dalam. Siapa saja hari ini yang bekerja?" tanya Dewangga."Bik Sawi, Pak Herman dan Pak Doni, Mas," jawab Risna. Nama-nama yang disebutkan Risna, bekerja sebagai ART, security dan juga sopir. Biasanya ada dua orang lagi tapi mereka sedang libur."Tapi kalau itu benar, kenapa mereka lakukan itu, Mas? Mereka sudah lama bekerja di sini.""Mungkin mereka kepepet butuh uang, Dek," ujar Dewangga lagi."Mas akan pulang lagi sekarang, Dek. Mas gak tenang ninggalin kalian dalam ketakutan begitu," ujarnya khawatir. Meski ia pun bimbang karena sudah perjalanan jauh."Tapi, kamu pasti sudah sangat jauh, Mas.""Tidak apa-apa, aku akan pergi lagi setelah kondisi di rumah stabil dan aman.""Baiklah, Mas. Kita memang harus membuat rencana dengan matang."Panggilan telepon itupun berakhir. Risna bergegas ke kamar sang ibunda. Tampak Bik Sawi yang mengobrol dengan mamanya. Bik Sawi tengah membersihkan kamar sang ibunda seperti biasanya, dia pula yang menyiapkan sara
Part 70"Ada apa, Neng? Apa yang terjadi?" Abah berjalan tergesa-gesa menghampiri putrinya."Tadi Bang Lemu kesini, Bah," jawab Zahra sembari tertunduk lesu.Begitu pula dengan Abah Husein, seketika terdiam. Tampak jelas mereka tengah memikirkan masalahnya yang begitu nyata."Maaf, kalau saya lancang, sebenarnya ada hutang apa antara kalian dengan pria tadi? tanya Reyhan."Sebenarnya ibuku yang hutang pada juragan Andi, Mas. Tapi setelah mendapatkan uang itu, ibu justru pergi meninggalkan kami begitu saja tanpa apapun. Ibu juga gak pernah pamit, ya istilahnya ibu kabur justru meninggalkan hutang pada kami. Jadi, kami lah yang dituntut untuk melunasi hutang ibu," jawab Zahra lirih. Pandangan matanya tampak berkabut. Ia memang berusaha kuat untuk menjalani hidup meski dalam keterbatasan ekonomi."Sebenarnya kami sudah mencicilnya tiap bulan. Tapi kami merasa hutang itu semakin hari makin mencekik, juragan bilang kalau kami hanya mencicil bunganya saja, sedangkan pokok hutangnya belum