Masih di hari yang sama.Itu menjelang petang saat Elara dan Jeanne menuju satu restoran di perbatasan San Francisco.Dua jam lalu, Jeanne baru saja mendapat panggilan dari pihak restoran tersebut, setelah sejak satu bulan lalu ia mengirimkan lamarannya ke sana.“Bukankah ini aneh?” Elara berdecak. “Kau seharusnya melamar posisi yang masih sesuai dengan jurusan atau gelarmu. Mungkin di bagian manajerial? Tapi kau malah melamar di bagian dapur. Apa itu masuk akal?”Omelan Elara bukan menjadi hal aneh dan mengagetkan di telinga Jeanne.Itu sudah bisa ditebak oleh sahabat Elara tersebut. Karenanya, Jeanne tutup mulut saat meminta Elara menemaninya datang ke restoran dan baru mengatakan posisi yang ia ambil, setelah mereka tiba di pelataran parkir.Jeanne benar-benar membiarkan Elara berpikir bahwa dirinya melamar untuk posisi marketing ataupun sekretaris.Dan jawaban ringan Jeanne, membuat Elara kian meradang karena kesal.“Kelak aku akan menjadi seorang istri. Karena itu, bekerja di bag
Tidak mudah.Sungguh tidak mudah.Mendengar apa yang Elara dengar, dengan telinganya sendiri. Melihat dengan matanya sendiri. Kalimat itu benar keluar dari pria itu.Pria bermanik kelabu yang kejam dan tak berperikemanusiaan --namun juga hangat dan mulai membuat diri Elara nyaman, dan kini ternyata semua itu adalah palsu.Semua hanya permainan pria itu.Ada satu sudut hati yang menyesali, mengapa ia harus menoleh ke arah ruangan itu dan tanpa sengaja melihat sosok yang sangat ia kenali itu --di dalam sana.Entah berbicara dengan siapa --Elara tidak mengenal lawan bicara Arion, karena lelaki itu duduk membelakangi.Namun ia merasa suara itu cukup familiar.Tapi….Apa gunanya?Semua penyesalan dan pikiran-pikiran itu.Apa gunanya?Elara hanya serupa mainan yang sedang disukai pria itu.Tentu saja.Memang dirinya siapa?Bahkan bagi pria yang tanpa pekerjaan tetap seperti Ario
Elara bergerak aktif --sangat aktif malah. Seperti menyibukkan diri dengan mondar mandir kesana kemari.Mengambil piring, cangkir, meletakkannya. Lalu beredar lagi, seperti ada yang terlupa dan bahkan menuju laci kitchen set, membukanya, namun tidak mengambil apa-apa dari sana.Arion bergeming dengan kening mengernyit. Tapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi dalam diam semua yang dilakukan gadis itu.Rambutnya yang diikat di belakang, bergoyang cepat. Menandakan si pemilik tubuh menggerakkan badannya dengan berlebih.“Ada apa denganmu?” Arion tak tahan untuk diam lebih lama.“Membuat pancake,” jawab singkat Elara.“Aku tidak bertanya kau lagi apa.” Pria itu lalu bergerak mendekat.Ia menangkap lengan Elara dan membalikkan tubuhnya agar menghadap dirinya. Menatap tepat di matanya.Karena sedari tadi, Elara menjawab Arion tanpa mengangkat kepala --seolah enggan melihat waja
Elara mengangkat wajahnya, melihat bangunan yang meninggalkan kenangan.Bukan kenangan manis, melainkan kenangan yang buruk.Bahkan terakhir ia dikeluarkan dari sana tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri.Sebelah tangan Elara mengepal, ia menguatkan diri lalu masuk ke dalam kediaman White di depannya.“Nyonya White,” Elara menyapa wanita tua yang menunggunya di ruang tengah.Wanita itu tampak jauh lebih tua dan terlihat tidak terlalu sehat.Benar saja, ia terbatuk-batuk beberapa kali, sebelum menjawab sapaan Elara.“Duduklah, Elara.”Elara mengambil tempat di sofa seberang Nyonya Besar White. Matanya sempat memindai ke seluruh ruangan.Itu benar-benar berbeda sekarang.Kediaman White ini sungguh terlihat kusam dan tidak terawat.“Kami tidak memiliki dana untuk menggaji pelayan,” ujar Nyonya Besar White tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah ada dalam pikiran Elara
Tina melangkah masuk diikuti Dianne di belakangnya.“Bagaimana bisa ibu memberikannya begitu saja?” Tina bergegas mendekati Nyonya Besar White lalu merebut kotak kayu itu dari tangan ibunya.“Tina!” tegur Nyonya Besar White.“Kondisi kita sudah seperti ini Bu. Jangan bilang ibu akan memberikan ini dengan cuma-cuma padanya!” Tina mundur --mengambil jarak sedikit jauh dari Nyonya Besar White dan Elara.“Itu peninggalan Annie. Elara adalah putri kandung Annie. Berikan padanya, Tina.” Mata Nyonya Besar White menyipit.Meskipun ia begitu memanjakan Tina, namun mendapat Tina yang bersikap kurang ajar pada dirinya, tentu membuat wanita tua itu tidak senang.“Kita punya kesepakatan dengan gadis sial ini, Bu!”Elara tertawa mencemooh. “Mrs. Palmer. Jangan lupa, gadis yang kau sebut ‘sial’ ini, memiliki uang lebih banyak darimu.”Tina mendelik. “Kau--”“Kau merebut barang yang seharusnya milikku, karena takut tidak bisa menikmati uangku, bukan?” Elara menatap tajam Tina.“Awalnya, aku memang ing
‘Tidak Sir. Nona tidak pergi ke terminal. Ia hanya mendatangi rumah keluarga White tidak lama.’Max menyimak penjelasan seseorang di seberang sana yang tengah melaporkan pantauan terhadap Elara, melalui telepon.Max kemudian melirik Arion yang hanya memberikan anggukan kecil pada Max.“Lanjutkan tugasmu,” kata Max pada lawan bicaranya, lalu menutup telepon.“Nona Willow tidak terlihat berniat pergi jauh, Tuan.” Max langsung memberikan laporan itu pada Arion.“Hm.” Pria itu hanya bergumam kecil dengan wajah datar.Sebelah tangannya menopang dagu, lalu ia berkata dingin pada Max. “Rubah panggilanmu padanya.”Max mengangguk dengan wajah menyesal. “Maaf Tuan. Maksud saya, Nyonya Muda Ellworth.”Entah bagaimana menjelaskannya, namun Arion merasakan satu kepuasan tersendiri saat telinganya mendengar itu dari Max.Sebelumnya ia tidak peduli Elara dipanggil dengan Nona Willow dan merasa memang seharusnya demikian. Karena untuk menyandang nama Ellworth, haruslah benar-benar layak.Sementara Ari
‘Apa sudah kau lakukan sesuai petunjuk ku?’“Sudah Nona. Aku sudah mengatakan pada Elara, ada yang mengikutinya dan agar Elara jangan mempercayai orang yang dekat dengannya,” jawab Dianne sambil mengangguk.Padahal lawan bicaranya di ujung telepon sana tidak akan melihat, namun sikap tubuh Dianne terlihat begitu menghormati.Gadis berambut pirang itu tengah berdiri di dalam mini market yang tidak jauh dari kafe tempat ia bertemu Elara sebelumnya.Sebelah tangannya memegang ponsel, sementara matanya tertuju beberapa kali ke seberang jalan sana. Tempat cafe itu berada.‘Bagus,’ ujar suara dari seberang telepon.Dianne berbalik, lalu berpura-pura memilih dan mengambil snack kemasan --petugas mini market sejak tadi memerhatikan dirinya dan menatap dengan pandangan tidak mengenakkan.“Apa ada lagi yang harus kulakukan, Nona?” Dianne setengah berbisik saat menanyakan itu.‘Tidak.
“Aku menunggumu,” ujar pria itu dengan suara rendah-nya yang sensual. Pria itu menatap lekat pada gadis yang baru saja masuk ke unit mereka.Sementara Elara, berulang kali menyadarkan dirinya agar tidak terpengaruh apalagi tenggelam oleh tatapan dalam di kedua manik mata Arion.Ia mengingatkan dirinya, apapun yang tumbuh di dalam hatinya, harus segera ia matikan.Selagi itu masih kecil.Masih dini.Masih belum terlalu sulit untuk ia singkirkan dan enyahkan.Tidak boleh ada cinta bagi pria manipulatif itu. Atau, dirinya yang akan mati dalam jurang derita nanti.“Kita lanjutkan pembahasan kita sebelumnya, Mister Arion.” Elara bersuara dengan mengetatkan kepalan tangan pada tali tas selempang miliknya.Kening Arion berkerut mendengar nada dingin Elara disertai tatapan datar seakan tanpa emosi itu.“Pembicaraan apa?” tanya pria itu. Tatapannya bergeser --mengikuti gerak Elara yang menuju area pantri.Meja makan menjadi tujuan gadis itu yang langsung menarik satu kursi dan duduk dengan sika