“Kau dari mana? Lama sekali kau keluar. Ibuku sudah selesai menyiapkan makan malam untuk kita. Ayo,” Jeanne menarik tangan Elara begitu melihat sahabatnya itu masuk ke dalam rumah. Namun Elara menahan tarikan Jeanne dan bertahan di tempat. “El?” “Emm… J, aku harus pergi sekarang,” ucap Elara pelan. “Apa? Tapi.. kenapa?” “Sesuatu terjadi. Aku akan menyelesaikan sesuatu dulu. Boleh aku titip koperku di sini? Sementara?” Elara menatap penuh permohonan pada sahabatnya itu. “Kau ngomong apa! Tentu saja boleh.” Jeanne menghela napas. “Paling tidak makan dulu, El.” “Maaf, ini benar-benar tidak bisa ditunda. Nanti aku cerita,” sergah Elara segera, tatkala melihat mulut Jeanne yang terbuka hendak bertanya. “Aku belum bisa menceritakan apapun padamu saat ini. Tapi percayalah, semua baik-baik saja.” Atas kalimat terakhir Elara itu, Jeanne menolak tetap bungkam. “Baik-baik bagaimana? Kau baru saja diusir oleh ayah tirimu! Dan kau masih belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi!” “Ak
Pagi hari berikutnya, Elara terbangun di dalam kamar asing. Terlalu lelap semalam, sepertinya Arion membawa dirinya hingga ke dalam kamar. Elara terkesiap, membayangkan pria bermanik kelabu itu menggendongnya masuk ke dalam kamar ini dan bergegas memeriksa seluruh tubuh. “Pakaianku masih sama.” Ia membuang napas lega. “Dia sepertinya tidak melakukan sesuatu yang aneh.” Setelah berangsur menjadi tenang, Elara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kamar ini tidak luas, tapi juga tidak terlalu sempit. Kasur yang ia tempati berukuran lebar seratus delapan puluh meter dan cukup empuk. Terdapat meja rias kecil bergaya minimalis dengan dua jenis sisir yang tersimpan vertikal di satu wadah tinggi. Cukup rapi. Perabot lain yang ada di dalam kamar itu, semua serba minimalis. Puas menelisik seluruh isi kamar itu, Elara segera turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari Arion. “Mister…” panggil gadis itu, namun ia tidak menemukan Arion di manapun. Kakinya terhenti di dapur mini
Pagi berikutnya Elara telah berada kembali di kampus, melakukan kembali kegiatan rutinnya seperti biasa.Ia baru saja hendak menuju kelasnya, ketika di koridor melihat satu sosok familiar seorang lelaki.“Elara White,” sapa lelaki itu.Di wajahnya tersungging senyuman yang mengembang lebar --mungkin maksud dia senyuman manis, namun bagi Elara itu senyuman licik.“Henry Wycliff,” balas Elara datar.Ia tidak menghentikan langkahnya dan berniat melewati lelaki itu, namun tangannya dicekal dengan cepat.“Bukankah tidak sopan melewati orang yang menyapamu?”Elara menoleh dan menjawab malas. “Bukankah tidak sopan mencekal lengan seseorang di luar keinginannya?” Mendengar itu, Henry melepas tangannya dari Elara. “Kalau begitu, kamu seharusnya berhenti dan menyapaku.”“Aku sudah menyapamu,” balas Elara tidak sabar. “Kalau ada sesuatu, cepat katakan. Aku harus mengejar kelasku.”Henry menyeringai. “Siang nanti aku traktir kau makan.”“Tidak, terima kasih. Aku tidak–”“Aku akan menjemput ke ke
Henry Wycliff berjalan mendekati kedua gadis itu.Elara dan Jeanne terkesiap.Bukan karena Henry, melainkan tiga pemuda lain di belakang Henry yang ikut masuk dan mendekati mereka berdua.Alasan lain Elara senantiasa bersikap cukup sopan pada Henry adalah, karena pemuda itu adalah pemuda manja yang berpikiran pendek.Henry berasal dari keluarga Wycliff yang kaya dan berkuasa di kota Hillsborough ini.Kehadirannya di kampus selalu dikelilingi gadis-gadis yang menginginkan barang mewah dengan cara mudah.Menarik perhatian Henry, adalah salah satu yang diimpikan gadis-gadis itu.“Apakah ada yang Tuan Muda Wycliff butuhkan?” Jeanne tersenyum manis –menutupi kegugupan saat melihat tiga pemuda lainnya di belakang Henry yang mengawasi dirinya dan Elara dengan tatapan tak ramah.“Aku menjemput Elara untuk makan siang,” jawab Henry tak acuh. Ia lalu mengulurkan tangan pada Elara yang langsung mengerutkan keningnya dengan kesal.“Aku tidak ingat menyetujui itu,” ujar Elara. “Aku akan makan denga
Begitu berbalik, Henry mendapati seorang pria bertubuh tinggi dan atletis berdiri menatapnya dingin. “Si-siapa kamu hah?!” Suara gentar Henry terdengar. Pria itu memiliki manik kelabu yang menyorot suram. Tubuh tingginya menguarkan aura yang menghancurkan mental dalam waktu sekejap. “Sini.” Tatapan pria itu terpancang pada Henry, namun perkataannya ditujukan pada Elara. Tentu saja Elara bergerak, hendak menuju pria itu. Namun tangan Henry dengan cepat menahan lalu mencengkeram pergelangan tangan Elara. “Isshh..” Elara meringis, karena cengkeraman Henry terlalu kuat. Pria itu melangkah mendekat, tatapannya terhujam penuh pada sosok Henry --membuat pemuda manja itu tanpa sadar bergerak mundur. “Hajar dia!” perintah Henry pada ketiga kawannya yang langsung bergerak maju. Henry menyeringai. “Kau akan menyesal mengganggu urusanku, Gembel!” serunya sambil menatap penuh cemoohan pada pria tersebut. Sama sekali tidak terganggu dengan hinaan Henry, pria itu tetap berjalan mendekat dan
“Nona White, masuklah.” Nada tegas muncul dari dekan yang duduk di sofa tengah ruang.Di sebelahnya terlihat seorang lelaki paruh baya berpenampilan bermartabat dan terlihat berkelas. Dengan patuh Elara melangkah mendekat.“Silakan duduk,” ujar dekan itu lagi.Elara mengangguk, lalu mengambil tempat berseberangan dengan lelaki paruh baya yang berpakaian mahal itu.`“Tuan Wycliff, ini Elara White.”Elara menahan kegugupannya lalu mengulurkan tangannya pada Tuan Wycliff, namun lelaki berpenampilan mewah itu tidak menyambut uluran tangan Elara dan membiarkannya tergantung.Dengan canggung Elara menarik tangannya kembali.“Saya sudah memanggil Nona White ke kantor. Apakah Tuan memiliki keperluan khusus dengan salah satu mahasiswi kami yang cemerlang ini, hingga membuat Tuan datang sendiri ke sini?” Dekan bertanya sopan pada Tuan Wycliff.Punggungnya tegak --merasa yakin
“Apa?!” Jeanne mengguncang bahu Elara. “Bagaimana bisa mereka semena-mena mengeluarkanmu di akhir tahun kamu seperti ini?!” “Sudahlah J, aku sudah memperkirakan ini akan terjadi,” ujar Elara --terlihat tenang memang, namun pancaran muram terlihat jelas dari kedua manik zamrud miliknya. “Henry sialan itu!” Jeanne memaki kesal. “Biar kudatangi saja laki-laki pengecut itu ke rumah mereka!” Elara terkekeh. “Ya-ya-ya. Datang dan buatlah keributan. Besok, kau menyusulku dikeluarkan dari Bridgeston.” Ia lalu mengangkat tangan dan menepuk pelan lengan Jeanne. “Sudah, jangan pikirkan hal ini. Fokus saja studi mu sendiri. Ok?” Jeanne ingin berkata-kata lebih banyak, namun melihat raut wajah muram dan menyendiri Elara, ia tahu, saat ini Elara tidak ingin diganggu. Siang harinya, Elara telah berada di apartemen yang ia tempati sementara dengan Arion. Setidaknya, itulah rencana Elara. Tinggal sementara. Elara menatap bingung, melihat Arion yang berada di dalam apartemen --alih-alih keluar b
Keesokan harinya, Elara masih datang ke kampus.Meskipun ia tahu ia akan segera dikeluarkan dari sana, ia memanfaatkan hari yang ada untuk menyelesaikan beberapa hal.Elara cukup dipandang baik oleh para dosen di sana, gadis itu cukup dekat dengan beberapa dosen karena sering membantu mereka dalam beberapa proyek mata kuliah.Selain itu ia memanfaatkan hari-hari terakhir sebelum dirinya benar-benar dikeluarkan dari sana.Elara baru saja tiba di taman belakang gedung fakultas, ketika empat gadis menghadangnya.“Oh, astaga lihat ini siapa yang datang?” ujar seorang gadis berambut merah.Tubuhnya tinggi semampai. Terutama ia mengenakan rok mini setengah paha, hingga menampakkan kaki jenjangnya yang mulus dan mengundang.Wajahnya cantik, ia memulasnya dengan baik.“Ck! Sungguh bermuka tebal, masih berani menunjukkan diri ke sini setelah perbuatan hina yang ia lakukan!” Sindiran itu berasal dari gadis sebelahnya yang memiliki rambut hitam keriting.“Apa kau tersesat, nona White? Gerbang kel