Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Emma memeriksa kembali semua keperluan yang perlu dibawanya. Dia membuka tasnya dan memastikan semua pakaian yang dibutuhkannya sudah lengkap. Dia juga memastikan membawa tenda, makanan, dan air minum yang cukup. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Emma membawa ranselnya dan berjalan menuju ruang makan. "Pagi semuanya," kata Emma sambil menyeret salah satu kursi. Dia kemudian duduk. "Pagi, Sayang," sapa kedua orang tua Emma hampir bersamaan. “Gimana tidurnya semalem?” tanya Lily, ibu Emma sambil mengoles selai di atas roti. "Aku bisa ngolesin roti sendiri, Bu," kata Emma. Dia tidak ingin diperlakukan seperti siswa sekolah dasar lagi karena dia sudah masuk universitas. Lily geleng-geleng kepala mendengar protes anak gadisnya. Dia lalu meletakkan roti itu di depan Emma. Wanita itu kemudian menuangkan jusnya dan menaruhnya di hadapan Emma juga. "Aku yakin putrimu ini tidak bisa tidur tadi malam," kata Robin, ayah Emma. Emma tertawa. “Sok tahu banget, Ayah, kayak cenayan
Emma menoleh ke belakang. Dia melihat Dakota berdiri dengan wajah penasaran. Dengan tergesa-gesa, Emma lalu berdiri. “Kamu udah dapet rantingnya kah?” tanya Ema. Dia berharap Dakota tidak melihat apa yang dia temukan. "Kamu ngapain di sini?" tanya Dakota, dia terlihat kesal. “Kita diberi tugas buat cari ranting, bukan duduk diam di tengah hutan.” "Ini ranting-rantingnya. Aku udah dapet kok," kata Emma sambil menunjuk ranting-ranting yang tadi dia letakkan di tanah. "Kalau kamu udah dapet, kenapa kamu nggak nemuin aku di tempat yang tadi?" tanya Dakota, "aku kayak orang gila nyariin kamu di seluruh hutan." Emma tersenyum canggung, dia merasa bersalah. “Maaf, aku tiba-tiba capek banget,” jawabnya, “jadi aku mutusin buat duduk sebentar. Sekarang badan aku udah entengan sih. Ayo balik ke perkemahan." Dakota mengangguk. Setelah Emma mengambil ranting-ranting yang dikumpulkannya, keduanya berjalan beriringan menuju lokasi perkemahan. Di tengah perjalanan, Emma melihat seorang dosen d
Emma menarik tubuhnya ke belakang, menciptakan jarak antara tubuhnya dan Tony. Dia mendengar suara Dakota dan tidak ingin gadis itu berpikiran buruk. Tony juga melakukan hal yang sama. "Sori, aku gangggu kah?" tanya Dakota. Emma menggelengkan kepalanya. “Enggak kok,” katanya. "Aku cuma mau ngasih tau kalo makanannya udah siap," kata Dakota, "kalau Emma udah baikan, kalian boleh makan bareng kita bertiga di luar. Tapi kalau Emma masih pengen istirahat, aku bisa bawain makanan buat kalian ke sini." “Nggak usah,” kata Emma, “aku udah baik-baik aja kok. Ayo keluar, Tony.” Tony mengangguk. Dia kemudian berdiri dan berjalan menyusul Emma yang sudah berjalan di depannya. Di luar tenda suasana sangat meriah. Hampir semua siswa sedang makan malam. Terdengar suara yang merdu di depan tenda. Suara itu berasal dari sekelompok siswa yang sedang bermain musik dan bernyanyi. Salah satu siswa laki-laki di antara kerumunan itu bermain gitar. Beberapa orang lainnya bernyanyi bersama. Emma dudu
Emma berteriak ketakutan ketika gadis itu berbalik. Wajah gadis itu tidak jelas mana yang termasuk mata dan hidung. Sebagian mulutnya rusak. Kulit wajahnya berkerut seperti habis terbakar. Warna kulitnya coklat gelap, seperti gosong. Kalau diperhatikan dengan jelas, ada juga beberapa warna kemerahan seperti bekas darah kering di sana. Emma semakin ketakutan ketika anak kecil juga ikut berbalik. Wajah anak kecil itu juga rusak. Bahkan warnanya hitam pekat. Gosongnya seperti lebih parah dari wajah anak perempuan. “Di mana mainanku?” tanya anak kecil itu. Suaranya berat dan penuh tekanan. "Aku tidak tahu!" teriak Emma. Dia kemudian berlari dengan sangat cepat. Karena kakinya terbentur batu, Emma terjatuh. Di saat yang sama, seseorang menarik kakinya dengan sangat kuat. Emma lalu berteriak. Dia berusaha menarik kakinya sekuat tenaga. Di saat yang sama, Emma mendengar suara Tony memanggil namanya. Dalam beberapa detik, dia bangun. Nafas Emma tidak teratur. Keringat dingin keluar dari
Emma berjalan ke arah Dakota. Gadis itu menyeringai. Wajah Emma tidak berubah. Tetap seperti biasa. Tapi, matanya terus melotot. Seperti orang kesurupan. Semakin dia memandang Emma, Dakota semakin ketakutan. Dia kemudian berlari cepat ke dalam tenda. "Teman-teman, bangun," kata Dakota sambil menggoyangkan kaki ketiga anak lelaki yang sedang tidur itu. Anak laki-laki berambut keriting yang bangun lebih dulu. Dia kemudian membangunkan Tony dan siswa laki-laki lainnya yang berponi. "Ada apa?" tanya Ben, laki-laki berambut keriting. “Emma … dia,” jawab Dakota. Nafasnya tersengal-sengal. Tony melihat sekeliling tenda. Dia baru menyadari kalau Emma tidak ada di sana. "Kenapa Emma?" dia bertanya, “Di mana kamu ngeliat dia?” "Aku...," kata Dakota. Tak sabar menunggu jawaban Dakota, Tony lalu bergegas keluar tenda. Dia terkejut saat melihat Emma berdiri tak jauh darinya dengan mata melotot. Gadis itu berjalan ke arahnya dengan langkah yang sangat cepat. "Emma, ada apa?" tanya Tony.
Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh. Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur. Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu. Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus. Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan.