Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh.
Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur.Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu.Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus.Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan. Dia memutuskan untuk beristirahat. Saat itulah dia melihat seorang siswi dari tim lain sedang meneliti tanaman. Tak ingin ketahuan, Emma pun berdiri. Dia harus pergi dan melarikan diri.Sayangnya rencana Emma tidak berjalan mulus. Gadis itu memergokinya.“Hai, Emma si bocah culun,” kata gadis pirang itu, “waktu dosen bilang kamu sakit, aku tahu kamu bohong. Kamu nggak ikut tugas karena pengen jalan-jalan, kan?”“Aku nggak bohong,” bantah Emma, “aku beneran sakit. Aku lagi nyari sumber air sekarang. Timku kehabisan air minum.”Gadis pirang itu tertawa. “Bohong,” katanya, “lihat aja, aku akan laporkin kamu ke dosen.”Gadis pirang itu kemudian mengambil ponselnya dari saku celananya. Namun sebelum sempat menelpon, Emma berhasil merebut ponselnya. Emma kemudian melempar ponsel gadis itu."Kamu apaan sih?!" kata gadis pirang itu, “hapeku mahal. Nggak kayak hapemu yang sampah. Kalo rusak, emaangnya kamu bisa ganti?”"Siapa yang peduli?" kata Emma. Suaranya menjadi lebih dalam, “Kamu yang pertama gangguin aku.”“Kenapa kamu ngomong gitu kayak aku yang nakal?” ucap gadis pirang itu, "Kamu yang bolos kegiatan. Wajar kalo aku laporin kamu ke dosen."“Aku nggak suka orang yang terlalu banyak ngomong,” kata Emma. Dia kemudian meraih rambut gadis pirang itu.Gadis pirang itu menjerit kesakitan. Tangan Emma sangat kuat menarik rambutnya. Kulit kepalanya terasa sakit seolah-olah akan mengelupas.“Lepasin tangan kamu,” kata gadis pirang itu.Tapi Emma mengabaikannya. Dia malah menggunakan tangannya yang lain untuk menarik rambut gadis itu. Melihat gadis di depannya semakin kesakitan, Emma pun tertawa terbahak-bahak. Suaranya menjadi lebih berat. Seperti suara orang lain.Gadis pirang itu tidak kehilangan akalnya. Dia meludah tepat ke mata Emma untuk membuat gadis itu berhenti. Usahanya berhasil. Emma melepaskan tangannya lalu menyeka air liur gadis pirang yang ada di matanya yang menetes ke pipinya.Saat Emma lengah, gadis pirang itu berlari menjauh. Dia mencoba melarikan diri. Namun usahanya tidak membuahkan hasil dalam jangka waktu lama. Dalam hitungan detik, Emma menyusulnya. Emma menarik dan mencengkeram tangan kanan gadis pirang itu dengan sangat erat.Gadis pirang itu ketakutan. Apalagi saat melihat wajah Emma berubah. Bukan wajah Emma yang dia kenali. Saat melihat mata Emma melotot, gadis pirang itu menarik tangannya kuat-kuat.“Aduh, sakit!” kata gadis pirang itu, “tolong.”Emma tidak peduli dengan permintaan gadis itu. Dia menyeringai. Tangannya yang lain mencakar pipi gadis pirang itu.“Arrgh!” gadis pirang itu berteriak. Pipinya terasa panas karena kulitnya mengelupas. Dalam hitungan detik kulitnya berdarah.Melihat itu, Emma tertawa puas. Ia kemudian mencoba mencakar sisi lain wajah gadis pirang itu. "Tidak ada yang bisa menindas saya," katanya. Suaranya masih berat dan semakin menakutkan.“Lepasin aku,” kata gadis pirang itu, “aku janji nggak akan ngasih tau siapa pun kalo kamu bohong.”“Nggak,” kata Emma, “aku akan bikin kamu nyesel karena sudah gngguin aku.”"Hei, ada apa?!"Itu adalah suara Tony yang tidak sengaja lewat. Tak ingin terjadi hal yang lebih buruk, ia kemudian berlari menghampiri Emma dan gadis pirang itu. Dengan sekuat tenaga ia meraih tangan Emma. “Hentikan bodoh,” katanya. Dia mengatakan itu untuk mengalihkan perhatian Emma.Emma melepaskan tangannya dan menoleh ke Tony. "Apa katamu?""Kamu bodoh," ulang Tony. Tangannya melambai, memberi isyarat agar gadis pirang itu pergi.Emma melotot. Dia menyeringai dan menatap Tony dengan penuh kebencian. "Kamu ....""Apa?" kata Tony. Sebenarnya Tony sudah curiga sejak awal Emma menyerangnya. Dia tahu bahwa Emma dirasuki hantu. Dia semakin yakin setelah mengetahui kalau gadis itu juga membuat Dakota takut. Jadi, kini dia tidak perlu takut. Sebab, semasa kecilnya ia sering bermeditasi untuk berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan mahluk halus. “Kamu juga harus dimusnahkan,” kata Emma. Matanya melotot. Tony tidak peduli, dia berjalan cepat meninggalkan Emma dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menghubungi orang tua Emma. Setelah menunggu beberapa detik, Robin mengangkat teleponnya. "Ada apa, Tony?" tanya Robin, "apa terjadi sesuatu yang buruk sama Emma? Apa dia sakit?" “Nggak,” jawab Tony, “Dia cuma ….” "Cuma apa?" tanya Tony. Dia tidak sabar. "Emma... kayaknya dia kerasukan, Pak Robin," jawab Tony. "Apa maksudmu?" Robin bertanya. Bukannya dia tidak percaya hantu, dia hanya tidak menyangka dan ingin memastikannya. Sambil terus berjalan cepat menjauhi Emma yang juga berjalan cepat ke
Emma takut melihat wajahnya sendiri di cermin. Hidung, mata dan mulutnya berkerut-kerut, tidak terlihat jelas. Bentuknya tidak jelas dan seperti ada titik-titik bekas darah mengering. Dia sangat merinding dan tubuhnya gemetar. Sambil menangis, dia menyentuh wajahnya yang bentuknya sangat mengerikan. Kaget mendengar suara Emma, orangtua Emma berlari menuju kamar gadis itu. Mereka berusaha membuka pintu dan menggedor pintu dengan harapan Emma akan membukakannya. Karena dalam beberapa menit pintu tidak dibuka juga dari dalam, Robin kemudian berlari mencari kunci cadangan. “Biar aku cari kunci cadangan,” kata Robin, “kamu tunggu, aku akan cepet balik.” Lily mengangguk. Dia kemudian mengetuk pintu kamar Emma lagi. “Emma, buka pintunya, Sayang,” katanya, “ada apa? Kamu kenapa?” "Emma, maafkan kita kalau kita mengecewakan kamu, Nak," kata Lily lagi, "tolong buka pintunya." Robin kembali setelah pergi selama beberapa menit. Dia datang dengan membawa kunci cadangan. Dia segera membu
"Kenapa sama anak kita?" Lily bertanya, tidak sabar. "Gimana kalau anak kita nggak sengaja ganggu mereka dan mereka pun marah," jawab Robin. Lily tertawa. "Nggak mungkin itu Emma ngelakuin itu," katanya setelah selesai tertawa, "anak kita bukan anak nakal yang suka membuat onar." “Dunia mereka berbeda dengan dunia kita, Lily,” kata Robin, “Mereka nggak kelihatan. Emma bisa aja melakukan sesuatu secara nggak sengaja." Lily menghela napas dengan kasar. “Aku beneran nggak ngerti maksud kamu,” katanya, “tapi kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat Emma normal kembali, aku akan melakukannya. Apapun itu." *** Tony lega melihat Emma di kelas. Dengan begitu dia yakin kondisi gadis itu sudah membaik. Namun rasa penasarannya terhadap apa yang terjadi pada Emma belumlah tuntas. Dia kemudian berjalan ke kursi gadis itu. Dia bermaksud menanyakan apa yang terjadi pada Emma selama berada di hutan. “Emma, kalau kamu nggak keberatan, aku pengen tahu apa yang terjadi sama kamu pas pert
"Ayah akan mengizinkanmu, tapi aku harus bicara sama ibumu dulu," kata Jeremy. Jeremy kemudian keluar dari kamar Tony. Dia kemudian berjalan menuju taman di depan rumah. Di sore hari seperti ini, biasanya istrinya menyiram tanaman. Tebakan Jeremy benar. Istrinya sedang merapikan tanaman. Wanita itu memotong beberapa pucuk tanaman yang tidak rata. "Sayang, bisakah kamu berhenti sejenak dari aktivitasmu," ucap Jeremy saat langkahnya terhenti di belakang Sofia. Sofia berbalik. “Iya,” katanya, “apa ada hal yang penting yang ingin kamu bicarakan?” Jeremy mengangguk. "Ya," katanya, "ayo kita duduk di sana dulu." Dia menunjuk ke sebuah kursi panjang di tepi taman. "Mau bicara apa?" tanya Sofia setelah dia duduk, "sepertinya masalahnya penting sekali." “Ya,” jawab Jeremy, “ini menyangkut nyawa anak kita. Sofia membelalakkan matanya. "Ada apa dengan Tony?" tanyanya."Tony bilang dia pengen meditasi lagi kayak dulu," jawab Jeremy, "dia pengen berkomunikasi sama makhluk astral untuk bant
"Kenapa dengan dia?" Sofia bertanya, penasaran. "Dia ingin Emma ikut bersamanya ke dunianya," jawab Tony. Sofia membelalakkan matanya, "Nggak bisa dibiarkan," katanya, "Emma mungkin sudah melakukan kesalahan fatal." Tony mengangguk. "Memang," katanya, "tapi aku yakin aku bisa membuat makhluk astral itu ngelepasin Emma." Tony kemudian meninggalkan ibu dan ayahnya. Dia berjalan dengan langkah cepat. “Hei, mau pergi kemana, Nak?” Jeremy berteriak. "Aku mau ke rumah Emma," kata Tony tanpa berbalik, "Aku harus bicara sama orang tuanya." *** Tony mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Dia ngebut. Dia menyalip setiap kendaraan di depannya seperti seorang pembalap. Dia tidak sabar untuk berbicara dengan Emma dan orangtuanya. Karena ngebut, perjalanan menuju rumah Emma yang biasanya memakan waktu sepuluh menit, menjadi sekitar lima menit. Tony sendiri bahkan tidak menyangka akan bisa sampai ke rumah Emma dengan selamat setela
Wajah Emma berubah. Hidung, mata, dan mulut gadis itu tidak terlihat jelas. Berkerut-kerut. Ada bercak merah di wajahnya. Seperti darah kering. Di tangannya, dia membawa sebuah ranting besar. "Tinggalin aku sendiri," katanya sambil melambaikan tongkatnya pada Tony. Suaranya dalam, seolah itu bukan suara Emma biasanya. "Emma sadar," kata Tony. Dia berusaha menghindari pukulan Emma. Tapi Emma mengabaikan Tony. Dia terus mengayunkan dahan. Dia terlihat sangat berambisi untuk memukul Tony. Melihat hal itu tentu saja Jeremy tak tinggal diam. Dia mencoba menghentikan Emma. Dia mengunci gerakan gadis itu dengan menarik tangannya ke belakang. Emma memberontak, “lepasin aku,” katanya. Suaranya keras dan berat. Tony membantu Jeremy. Ia pun memegang tangan Emma. "Biarin aku pergi," kata Emma lagi. Suaranya lebih pelan. Beberapa detik kemudian, tubuh gadis itu terjatuh dan pingsan. "Ayo kita bawa dia ke mobil," kata Jeremy. Tony mengangguk. Dia kemudian mengangkat tubuh Emma bersama Jerem
Emma melotot. Dia mendekatkan kedua tangannya ke leher Petrus. Dia mencoba mencekik Petrus. Seluruh wajahnya berubah, seperti terbakar. "Aku nggak mau," kata Emma, "aku mau mainanku kembali atau gadis ini menemaniku biar aku nggak kesepian." Peter tidak bisa menahan kekuatan Emma. Kedua orang tua Emma ikut membantu mengendalikan gadis itu. Lily memegang tangan Emma, sedangkan Robin memegang tubuh Emma dan menariknya menjauh dari Petrus. Setelah tubuhnya berhasil ditarik, beberapa detik kemudian Emma pingsan. “Kita mohon maaf atas kejadian ini,” kata Lily. Petrus mengangguk. “Tidak masalah,” katanya, “Aku sering diserang oleh mereka. Mereka memang pengganggu." "Kita akan mengantar Emma pulang," kata Robin. “Baiklah,” kata Petrus, “kalau kalian ada waktu lagi, kalian bisa kembali ke sini. Aku akan mengumpulkan kekuatan untuk melawan makhluk astral itu.” Robin dan Lily mengangguk hampir bersamaan. Lily kemudian memberikan Petrus sebuah amplop berisi uang tunai. “Terima kasih
Saat melihat wajah Emma, Desy dan Anne pun ikut berteriak. “Nggak mungkin,” kata Anne. Dia berjalan mundur perlahan. “Kenapa nggak mungkin?” kata Emma. Suaranya dalam, “kamu mau ke mana? Permainan kita sangat seru. Ayo lanjutkan." "TIDAK!" teriak Anne. Dia kemudian berlari. Sabrina dan Desy mengikutinya dari belakang. Karena si pengganggu sudah pergi, Emma kembali duduk di kursinya. Dia terus makan. Beberapa menit kemudian Tony datang. "Hei, Emma," kata Tony. Dia kemudian duduk di kursi yang paling dekat dengan kursi Emma. "Hei, Tony," sapa Emma sambil mengunyah kentang goreng, "dari mana aja kamu?" "Aku dari fakultas kedokteran, habis ketemu sama Jake," kata Tony, "kita ngebahas tema pesta ulang tahunnya yang akan diadain besok malam." “Kelihatannya menyenangkan,” kata Emma, “tapi dia pasti nggak akan ngundang aku karena aku bukan sahabatnya.” "Kamu mau dateng?" tanya Tony. Emma tersenyum. "Lupain aja," katanya. “Hei,