"Apa?" kata Tony.
Sebenarnya Tony sudah curiga sejak awal Emma menyerangnya. Dia tahu bahwa Emma dirasuki hantu. Dia semakin yakin setelah mengetahui kalau gadis itu juga membuat Dakota takut. Jadi, kini dia tidak perlu takut. Sebab, semasa kecilnya ia sering bermeditasi untuk berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan mahluk halus.“Kamu juga harus dimusnahkan,” kata Emma. Matanya melotot.Tony tidak peduli, dia berjalan cepat meninggalkan Emma dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menghubungi orang tua Emma. Setelah menunggu beberapa detik, Robin mengangkat teleponnya."Ada apa, Tony?" tanya Robin, "apa terjadi sesuatu yang buruk sama Emma? Apa dia sakit?"“Nggak,” jawab Tony, “Dia cuma ….”"Cuma apa?" tanya Tony. Dia tidak sabar."Emma... kayaknya dia kerasukan, Pak Robin," jawab Tony."Apa maksudmu?" Robin bertanya. Bukannya dia tidak percaya hantu, dia hanya tidak menyangka dan ingin memastikannya.Sambil terus berjalan cepat menjauhi Emma yang juga berjalan cepat ke arahnya, Tony menceritakan semua yang terjadi. Dari awal gadis itu mencari ranting hingga kembali dalam kondisi aneh lalu mulai menyerang teman-temannya.“Kedengarannya buruk,” kata Robin, “sebelum keadaan jadi makin buruk lagi, aku akan menjemputnya pulang.”Setelah menutup telepon, Tony menoleh ke belakang karena tidak mendengar langkah kaki lagi. Rupanya Emma pingsan. Tony kemudian memanggil beberapa siswa laki-laki yang dikenalnya untuk mengantar Emma ke tenda.***Robin datang sekitar dua jam setelah Tony menelepon. Dia bertemu dengan salah satu dosen pendamping perkemahan setelah menelepon. Dosen itu kemudian membawanya ke tenda Emma."Emma, Ayah sangat khawatir," ucap Robin saat melihat Emma duduk di tenda ditemani Tony. Dia kemudian memeluk putrinya."Apa yang kamu bilang ke ayahku?" Emma bertanya pada Tony setelah Robin melepaskan pelukannya.Sebelum Tony sempat menjawab, Emma berbicara lagi. “Kamu pasti terlalu banyak cerita yang nggak-nggak ke ayahku sampe dia dateng ke sini,” katanya, “aku cuma pingsan. Aku bukan anak SD yang harus terlalu dikhawatirkan.”“Emma, Tony cuma peduli sama kamu,” kata Robin, “Ayah juga. Aku tidak ingin hal buruk terjadi ke kamu, makanya Ayah datang untuk jemput kamu pulang.""Tapi perkemahannya baru selesai sore ini, Ayah," kata Emma, "dan lagian kalau aku pulang, aku nggak bisa naik bus lagi bareng temen-temen yang lain kayak pas aku berangkat.""Tidak apa-apa kalau kamu pulang dulu, Emma," kata dosen itu, "istirahatlah dulu di rumah agar kondisimu membaik."Emma sebenarnya tidak ingin pulang. ia belum menemukan batu tersebut. Dia sangat ingin mencari dan menemukan batu itu. Tapi pulang ke rumah adalah pilihan terbaik. Apalagi mengingat tubuhnya terasa sangat lemas setiap kali pingsan. Dengan enggan, dia akhirnya mengikuti Robin pulang.***Lily sedang menyiapkan makan siang ketika Emma dan Robin tiba di rumah. Wanita itu berjalan cepat menuju pintu untuk menyambut putrinya dan suaminya."Apa yang terjadi, Sayang?" katanya. Dia kemudian memeluk Emma, "kamu baik-baik saja kan, Nak?" ucapnya lagi setelah melepaskan pelukannya. “Aku baik-baik saja, Bu,” kata Emma. Dia kemudian duduk di salah satu kursi.“Gimana perkemahannya?” tanya Lily sambil membawakan sepiring spageti untuk Emma, "pasti menyenangkan ya?"Emma mengambil piring dari Lily lalu mulai memakan spagetinya. "Akan menyenangkan kalo Ayah nggak jemput aku pulang lebih awal," jawabnya."Ayah melakukan ini demi kebaikanmu, Emma," kata Robin. Dia menuangkan jus ke dalam gelas."Ayah, Ayah nggak lihat apa aku baik-baik aja?" kata Emma, “pengalaman berkemah kayak gitu sayang banget dilewatin.”"Kamu baik-baik saja, tapi temanmu nggak," kata Robin, "berapa banyak orang yang sudah coba kamu sakiti?"Emma membanting sendoknya ke piring. Dia kemudian berdiri dan berjalan cepat keluar kamar. Dia menuju ke kamarnya. Setelah menngunci pintu kamar, Emma berjalan cepat menuju wastafel. Dia melihat ke bawah dan menangis di sana. Emosi kesal karena tidak bisa menemukan batu dan disuruh pulang lebih awal berpadu membuat hatinya sangat sakit.Emma mendengar suara dari ponselnya setelah beberapa menit menangis di wastafel. Dia kemudian mengeluarkan benda itu dari saku celananya. Rupanya ada chat dari Tony.Antony:Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud buruk. Aku cuma khawatir sama keadaanmu. Menurutku kamu perlu menenangkan diri di rumah lebih dulu.Emma membalas chat Tony dengan cepat.Emma:Aku paham. Aku cuma kesel karena ada sesuatu yang belum aku selesaiin di sana.Tony membalas chat Emma dalam hitungan detik.Antony:Nggak apa-apa, Emma. Walaupun kamu nggak ikut nyelesaiin tugas ini, aku jamin nilai tim kita tetep akan bagus. Kamu nggak perlu khawatir.Emma tersenyum. Dia tahu Tony salah paham. Dia membalas chat Tony lagi.Emma:Bukan itu maksudku. Aku kehilangan sesuatu di sana dan aku harus nyariin itu. Tapi sebelum aku nemuin benda itu, Ayah udah jemput aku pulang.Tony menjawab lagi dengan cepat.Antony:Apa yang kamu cari? Apa benda itu berharga banget? Biar aku cariin. Mungkin jatuh di dalam tenda. Semoga sebelum aku pulang aku bisa nemuin buat kamu.Emma mengetik dengan cepat.Emma:Aku menemukan batu yang sangat indah di hutan. Kayak permata. Aku bakalan menghasilkan banyak uang kalo aku jual batu itu. Dengan uang itu, aku akan membeli barang-barang mahal biar nggak ada lagi yang bisa ngejek aku dan bully aku. Tapi batu itu hilang. Aku nggak tahu persis di mana batu itu jatohnya. Tapi kayaknya itu di tengah hutan.Tony membalas lagi beberapa detik kemudian.Antony:Astaga, Emma, hutan itu luas banget. Aku pikir barang-barang pribadmu yang hilang di tenda. Emangnya nggak bisa kamu ikhlasin aja? Kalo ada yang ngejek kamu di kampus, aku akan bela kamu. Kalau laki-laki, aku akan tendang pantatnya sampe dia nyungsep.Emma membalas lagi.Emma:Makasih.Emma kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Dia kemudian melihat ke cermin wastafel. Dia bermaksud untuk mencuci wajahnya. Bersamaan dengan itu, dia menjerit keras.Emma takut melihat wajahnya sendiri di cermin. Hidung, mata dan mulutnya berkerut-kerut, tidak terlihat jelas. Bentuknya tidak jelas dan seperti ada titik-titik bekas darah mengering. Dia sangat merinding dan tubuhnya gemetar. Sambil menangis, dia menyentuh wajahnya yang bentuknya sangat mengerikan. Kaget mendengar suara Emma, orangtua Emma berlari menuju kamar gadis itu. Mereka berusaha membuka pintu dan menggedor pintu dengan harapan Emma akan membukakannya. Karena dalam beberapa menit pintu tidak dibuka juga dari dalam, Robin kemudian berlari mencari kunci cadangan. “Biar aku cari kunci cadangan,” kata Robin, “kamu tunggu, aku akan cepet balik.” Lily mengangguk. Dia kemudian mengetuk pintu kamar Emma lagi. “Emma, buka pintunya, Sayang,” katanya, “ada apa? Kamu kenapa?” "Emma, maafkan kita kalau kita mengecewakan kamu, Nak," kata Lily lagi, "tolong buka pintunya." Robin kembali setelah pergi selama beberapa menit. Dia datang dengan membawa kunci cadangan. Dia segera membu
"Kenapa sama anak kita?" Lily bertanya, tidak sabar. "Gimana kalau anak kita nggak sengaja ganggu mereka dan mereka pun marah," jawab Robin. Lily tertawa. "Nggak mungkin itu Emma ngelakuin itu," katanya setelah selesai tertawa, "anak kita bukan anak nakal yang suka membuat onar." “Dunia mereka berbeda dengan dunia kita, Lily,” kata Robin, “Mereka nggak kelihatan. Emma bisa aja melakukan sesuatu secara nggak sengaja." Lily menghela napas dengan kasar. “Aku beneran nggak ngerti maksud kamu,” katanya, “tapi kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat Emma normal kembali, aku akan melakukannya. Apapun itu." *** Tony lega melihat Emma di kelas. Dengan begitu dia yakin kondisi gadis itu sudah membaik. Namun rasa penasarannya terhadap apa yang terjadi pada Emma belumlah tuntas. Dia kemudian berjalan ke kursi gadis itu. Dia bermaksud menanyakan apa yang terjadi pada Emma selama berada di hutan. “Emma, kalau kamu nggak keberatan, aku pengen tahu apa yang terjadi sama kamu pas pert
"Ayah akan mengizinkanmu, tapi aku harus bicara sama ibumu dulu," kata Jeremy. Jeremy kemudian keluar dari kamar Tony. Dia kemudian berjalan menuju taman di depan rumah. Di sore hari seperti ini, biasanya istrinya menyiram tanaman. Tebakan Jeremy benar. Istrinya sedang merapikan tanaman. Wanita itu memotong beberapa pucuk tanaman yang tidak rata. "Sayang, bisakah kamu berhenti sejenak dari aktivitasmu," ucap Jeremy saat langkahnya terhenti di belakang Sofia. Sofia berbalik. “Iya,” katanya, “apa ada hal yang penting yang ingin kamu bicarakan?” Jeremy mengangguk. "Ya," katanya, "ayo kita duduk di sana dulu." Dia menunjuk ke sebuah kursi panjang di tepi taman. "Mau bicara apa?" tanya Sofia setelah dia duduk, "sepertinya masalahnya penting sekali." “Ya,” jawab Jeremy, “ini menyangkut nyawa anak kita. Sofia membelalakkan matanya. "Ada apa dengan Tony?" tanyanya."Tony bilang dia pengen meditasi lagi kayak dulu," jawab Jeremy, "dia pengen berkomunikasi sama makhluk astral untuk bant
"Kenapa dengan dia?" Sofia bertanya, penasaran. "Dia ingin Emma ikut bersamanya ke dunianya," jawab Tony. Sofia membelalakkan matanya, "Nggak bisa dibiarkan," katanya, "Emma mungkin sudah melakukan kesalahan fatal." Tony mengangguk. "Memang," katanya, "tapi aku yakin aku bisa membuat makhluk astral itu ngelepasin Emma." Tony kemudian meninggalkan ibu dan ayahnya. Dia berjalan dengan langkah cepat. “Hei, mau pergi kemana, Nak?” Jeremy berteriak. "Aku mau ke rumah Emma," kata Tony tanpa berbalik, "Aku harus bicara sama orang tuanya." *** Tony mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Dia ngebut. Dia menyalip setiap kendaraan di depannya seperti seorang pembalap. Dia tidak sabar untuk berbicara dengan Emma dan orangtuanya. Karena ngebut, perjalanan menuju rumah Emma yang biasanya memakan waktu sepuluh menit, menjadi sekitar lima menit. Tony sendiri bahkan tidak menyangka akan bisa sampai ke rumah Emma dengan selamat setela
Wajah Emma berubah. Hidung, mata, dan mulut gadis itu tidak terlihat jelas. Berkerut-kerut. Ada bercak merah di wajahnya. Seperti darah kering. Di tangannya, dia membawa sebuah ranting besar. "Tinggalin aku sendiri," katanya sambil melambaikan tongkatnya pada Tony. Suaranya dalam, seolah itu bukan suara Emma biasanya. "Emma sadar," kata Tony. Dia berusaha menghindari pukulan Emma. Tapi Emma mengabaikan Tony. Dia terus mengayunkan dahan. Dia terlihat sangat berambisi untuk memukul Tony. Melihat hal itu tentu saja Jeremy tak tinggal diam. Dia mencoba menghentikan Emma. Dia mengunci gerakan gadis itu dengan menarik tangannya ke belakang. Emma memberontak, “lepasin aku,” katanya. Suaranya keras dan berat. Tony membantu Jeremy. Ia pun memegang tangan Emma. "Biarin aku pergi," kata Emma lagi. Suaranya lebih pelan. Beberapa detik kemudian, tubuh gadis itu terjatuh dan pingsan. "Ayo kita bawa dia ke mobil," kata Jeremy. Tony mengangguk. Dia kemudian mengangkat tubuh Emma bersama Jerem
Emma melotot. Dia mendekatkan kedua tangannya ke leher Petrus. Dia mencoba mencekik Petrus. Seluruh wajahnya berubah, seperti terbakar. "Aku nggak mau," kata Emma, "aku mau mainanku kembali atau gadis ini menemaniku biar aku nggak kesepian." Peter tidak bisa menahan kekuatan Emma. Kedua orang tua Emma ikut membantu mengendalikan gadis itu. Lily memegang tangan Emma, sedangkan Robin memegang tubuh Emma dan menariknya menjauh dari Petrus. Setelah tubuhnya berhasil ditarik, beberapa detik kemudian Emma pingsan. “Kita mohon maaf atas kejadian ini,” kata Lily. Petrus mengangguk. “Tidak masalah,” katanya, “Aku sering diserang oleh mereka. Mereka memang pengganggu." "Kita akan mengantar Emma pulang," kata Robin. “Baiklah,” kata Petrus, “kalau kalian ada waktu lagi, kalian bisa kembali ke sini. Aku akan mengumpulkan kekuatan untuk melawan makhluk astral itu.” Robin dan Lily mengangguk hampir bersamaan. Lily kemudian memberikan Petrus sebuah amplop berisi uang tunai. “Terima kasih
Saat melihat wajah Emma, Desy dan Anne pun ikut berteriak. “Nggak mungkin,” kata Anne. Dia berjalan mundur perlahan. “Kenapa nggak mungkin?” kata Emma. Suaranya dalam, “kamu mau ke mana? Permainan kita sangat seru. Ayo lanjutkan." "TIDAK!" teriak Anne. Dia kemudian berlari. Sabrina dan Desy mengikutinya dari belakang. Karena si pengganggu sudah pergi, Emma kembali duduk di kursinya. Dia terus makan. Beberapa menit kemudian Tony datang. "Hei, Emma," kata Tony. Dia kemudian duduk di kursi yang paling dekat dengan kursi Emma. "Hei, Tony," sapa Emma sambil mengunyah kentang goreng, "dari mana aja kamu?" "Aku dari fakultas kedokteran, habis ketemu sama Jake," kata Tony, "kita ngebahas tema pesta ulang tahunnya yang akan diadain besok malam." “Kelihatannya menyenangkan,” kata Emma, “tapi dia pasti nggak akan ngundang aku karena aku bukan sahabatnya.” "Kamu mau dateng?" tanya Tony. Emma tersenyum. "Lupain aja," katanya. “Hei,
Emma melihat Jake ketika pintu terbuka. “Hei, kamu di sini?” kata Jaka. “I…iya,” kata Emma, “bajukku kena tumpahan minuman jadi aku membersihkannya. Maaf, aku akan keluar.” Emma lalu berjalan melewati Jake. “Buru-buru banget,” kata Jake. Dia melepaskan pintu lalu menoleh untuk melihat Emma yang sudah berjalan beberapa langkah. “Kita belum bicara.” Emma berhenti berjalan. Sepertinya dia tidak ingin mengobrol dengan Jake. Dia merasa tidak nyaman berada di dekat laki-laki itu. Dia hanya merasa tidak sopan meninggalkan tuan rumah begitu saja saat anak laki-laki itu sedang berbicara. Jake lalu menghampiri Emma. Dia menghentikan langkahnya tepat di depan Emma. "Kamu cantik banget," kata Jake, "Aku nggak percaya kamu sama Tony cuma temenan dari kecil. Apa kalian beneran nggak pernah pacaran?" “Bukannya kamu mau ke toilet?” ucap Emma mencoba mengalihkan pembicaraan. “Nggak lagi setelah ketemu sama kamu,” kata Jake. "T... tapi, aku