"Ayah akan mengizinkanmu, tapi aku harus bicara sama ibumu dulu," kata Jeremy. Jeremy kemudian keluar dari kamar Tony. Dia kemudian berjalan menuju taman di depan rumah. Di sore hari seperti ini, biasanya istrinya menyiram tanaman. Tebakan Jeremy benar. Istrinya sedang merapikan tanaman. Wanita itu memotong beberapa pucuk tanaman yang tidak rata. "Sayang, bisakah kamu berhenti sejenak dari aktivitasmu," ucap Jeremy saat langkahnya terhenti di belakang Sofia. Sofia berbalik. “Iya,” katanya, “apa ada hal yang penting yang ingin kamu bicarakan?” Jeremy mengangguk. "Ya," katanya, "ayo kita duduk di sana dulu." Dia menunjuk ke sebuah kursi panjang di tepi taman. "Mau bicara apa?" tanya Sofia setelah dia duduk, "sepertinya masalahnya penting sekali." “Ya,” jawab Jeremy, “ini menyangkut nyawa anak kita. Sofia membelalakkan matanya. "Ada apa dengan Tony?" tanyanya."Tony bilang dia pengen meditasi lagi kayak dulu," jawab Jeremy, "dia pengen berkomunikasi sama makhluk astral untuk bant
"Kenapa dengan dia?" Sofia bertanya, penasaran. "Dia ingin Emma ikut bersamanya ke dunianya," jawab Tony. Sofia membelalakkan matanya, "Nggak bisa dibiarkan," katanya, "Emma mungkin sudah melakukan kesalahan fatal." Tony mengangguk. "Memang," katanya, "tapi aku yakin aku bisa membuat makhluk astral itu ngelepasin Emma." Tony kemudian meninggalkan ibu dan ayahnya. Dia berjalan dengan langkah cepat. “Hei, mau pergi kemana, Nak?” Jeremy berteriak. "Aku mau ke rumah Emma," kata Tony tanpa berbalik, "Aku harus bicara sama orang tuanya." *** Tony mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Dia ngebut. Dia menyalip setiap kendaraan di depannya seperti seorang pembalap. Dia tidak sabar untuk berbicara dengan Emma dan orangtuanya. Karena ngebut, perjalanan menuju rumah Emma yang biasanya memakan waktu sepuluh menit, menjadi sekitar lima menit. Tony sendiri bahkan tidak menyangka akan bisa sampai ke rumah Emma dengan selamat setela
Wajah Emma berubah. Hidung, mata, dan mulut gadis itu tidak terlihat jelas. Berkerut-kerut. Ada bercak merah di wajahnya. Seperti darah kering. Di tangannya, dia membawa sebuah ranting besar. "Tinggalin aku sendiri," katanya sambil melambaikan tongkatnya pada Tony. Suaranya dalam, seolah itu bukan suara Emma biasanya. "Emma sadar," kata Tony. Dia berusaha menghindari pukulan Emma. Tapi Emma mengabaikan Tony. Dia terus mengayunkan dahan. Dia terlihat sangat berambisi untuk memukul Tony. Melihat hal itu tentu saja Jeremy tak tinggal diam. Dia mencoba menghentikan Emma. Dia mengunci gerakan gadis itu dengan menarik tangannya ke belakang. Emma memberontak, “lepasin aku,” katanya. Suaranya keras dan berat. Tony membantu Jeremy. Ia pun memegang tangan Emma. "Biarin aku pergi," kata Emma lagi. Suaranya lebih pelan. Beberapa detik kemudian, tubuh gadis itu terjatuh dan pingsan. "Ayo kita bawa dia ke mobil," kata Jeremy. Tony mengangguk. Dia kemudian mengangkat tubuh Emma bersama Jerem
Emma melotot. Dia mendekatkan kedua tangannya ke leher Petrus. Dia mencoba mencekik Petrus. Seluruh wajahnya berubah, seperti terbakar. "Aku nggak mau," kata Emma, "aku mau mainanku kembali atau gadis ini menemaniku biar aku nggak kesepian." Peter tidak bisa menahan kekuatan Emma. Kedua orang tua Emma ikut membantu mengendalikan gadis itu. Lily memegang tangan Emma, sedangkan Robin memegang tubuh Emma dan menariknya menjauh dari Petrus. Setelah tubuhnya berhasil ditarik, beberapa detik kemudian Emma pingsan. “Kita mohon maaf atas kejadian ini,” kata Lily. Petrus mengangguk. “Tidak masalah,” katanya, “Aku sering diserang oleh mereka. Mereka memang pengganggu." "Kita akan mengantar Emma pulang," kata Robin. “Baiklah,” kata Petrus, “kalau kalian ada waktu lagi, kalian bisa kembali ke sini. Aku akan mengumpulkan kekuatan untuk melawan makhluk astral itu.” Robin dan Lily mengangguk hampir bersamaan. Lily kemudian memberikan Petrus sebuah amplop berisi uang tunai. “Terima kasih
Saat melihat wajah Emma, Desy dan Anne pun ikut berteriak. “Nggak mungkin,” kata Anne. Dia berjalan mundur perlahan. “Kenapa nggak mungkin?” kata Emma. Suaranya dalam, “kamu mau ke mana? Permainan kita sangat seru. Ayo lanjutkan." "TIDAK!" teriak Anne. Dia kemudian berlari. Sabrina dan Desy mengikutinya dari belakang. Karena si pengganggu sudah pergi, Emma kembali duduk di kursinya. Dia terus makan. Beberapa menit kemudian Tony datang. "Hei, Emma," kata Tony. Dia kemudian duduk di kursi yang paling dekat dengan kursi Emma. "Hei, Tony," sapa Emma sambil mengunyah kentang goreng, "dari mana aja kamu?" "Aku dari fakultas kedokteran, habis ketemu sama Jake," kata Tony, "kita ngebahas tema pesta ulang tahunnya yang akan diadain besok malam." “Kelihatannya menyenangkan,” kata Emma, “tapi dia pasti nggak akan ngundang aku karena aku bukan sahabatnya.” "Kamu mau dateng?" tanya Tony. Emma tersenyum. "Lupain aja," katanya. “Hei,
Emma melihat Jake ketika pintu terbuka. “Hei, kamu di sini?” kata Jaka. “I…iya,” kata Emma, “bajukku kena tumpahan minuman jadi aku membersihkannya. Maaf, aku akan keluar.” Emma lalu berjalan melewati Jake. “Buru-buru banget,” kata Jake. Dia melepaskan pintu lalu menoleh untuk melihat Emma yang sudah berjalan beberapa langkah. “Kita belum bicara.” Emma berhenti berjalan. Sepertinya dia tidak ingin mengobrol dengan Jake. Dia merasa tidak nyaman berada di dekat laki-laki itu. Dia hanya merasa tidak sopan meninggalkan tuan rumah begitu saja saat anak laki-laki itu sedang berbicara. Jake lalu menghampiri Emma. Dia menghentikan langkahnya tepat di depan Emma. "Kamu cantik banget," kata Jake, "Aku nggak percaya kamu sama Tony cuma temenan dari kecil. Apa kalian beneran nggak pernah pacaran?" “Bukannya kamu mau ke toilet?” ucap Emma mencoba mengalihkan pembicaraan. “Nggak lagi setelah ketemu sama kamu,” kata Jake. "T... tapi, aku
“Akhir-akhir ini, dia gangguin temn-temenku di sekolah,” kata Emma, “dan itu sangat merugikanku.”Robin dan Lily saling berpandangan. "Maksudmu akhir-akhir ini kamu jadi murid yang suka membuat onar di sekolah karena hantu itu?” tanya Lily.Emma menggelengkan kepalanya. "Nggak," jawabnya, "Dia merasukiku cuma kalau ada yang menggangguku."“Bukannya itu bagus?” kata Robin, “dengan begitu mereka nggak akan ganggu kamu lagi.”Emma menarik napas dalam-dalam. “Semuanya nggak kayak yang Ayah pikirin,” katanya, “dulu aku selalu diem dan cenderung menghindar kalau ada yang menyerang. Itu membuatku aman. Kalau pada akhirnya ada yang dihukum, pastinya yang dihukum adalah orang yang nyerang aku itu. Tapi sekarang nggak lagi. Karena aku melawan dan seranganku bisa dikatakan lebih parah, jadi kalau ada yang dihukum, aku juga bisa ikut dihukum.”Robin dan Lily tak membantah lagi. Keduanya bingung. Kalau dipikir-pikir keberadaan mahluk astral itu di dalam tubuh Emma tidak ada positifnya sama seka
“Kita akan paksa Tony buat nyuruh Emma kencan saama kamu," kata Ethan. Jake menjauhkan kepalanya dari Ethan. Dia kemudian duduk di tempat tidur. “Gimana kalau Tony nggak mau?" tanyanya. "Kita jangan temenin dia," kata Ethan, "kita nggak bisa biarin dia hidup tenang di kampus gitu aja. Kita akan musuhin dia biar dia nyerah dan akhirnya mau.” Sejujurnya, Jake tidak yakin dengan ide Ethan. Dia sangat mengenal Tony. Anak laki-laki itu tidak suka dipaksa melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Dia tidak suka dipaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pendiriannya. Namun meski begitu, Jake harus mencobanya. *** Tony menepati janjinya ketika hari Minggu tiba. Dia datang ke rumah Emma. Dia kemudian membawa gadis itu ke sebuah lapangan. Dengan sabar, ia kemudian mulai mengajari Emma mengemudi. “Apa aku perlu jelasin ke kamu bagian-bagian mobil?” tanya Tony. Emma menggelengkan kepalanya. “Nggak sih,” katanya. Tony mengangguk, "Oke," katanya, "kamu udah tahu yang mana setir, kun