Emma berteriak ketakutan ketika gadis itu berbalik. Wajah gadis itu tidak jelas mana yang termasuk mata dan hidung. Sebagian mulutnya rusak. Kulit wajahnya berkerut seperti habis terbakar. Warna kulitnya coklat gelap, seperti gosong. Kalau diperhatikan dengan jelas, ada juga beberapa warna kemerahan seperti bekas darah kering di sana.
Emma semakin ketakutan ketika anak kecil juga ikut berbalik. Wajah anak kecil itu juga rusak. Bahkan warnanya hitam pekat. Gosongnya seperti lebih parah dari wajah anak perempuan.“Di mana mainanku?” tanya anak kecil itu. Suaranya berat dan penuh tekanan."Aku tidak tahu!" teriak Emma. Dia kemudian berlari dengan sangat cepat.Karena kakinya terbentur batu, Emma terjatuh. Di saat yang sama, seseorang menarik kakinya dengan sangat kuat. Emma lalu berteriak. Dia berusaha menarik kakinya sekuat tenaga. Di saat yang sama, Emma mendengar suara Tony memanggil namanya. Dalam beberapa detik, dia bangun.Nafas Emma tidak teratur. Keringat dingin keluar dari tubuhnya.“Tolong ambilin air dong,” kata Tony kepada anggota tim yang semuanya sudah bangun.Setelah mengambil segelas air, Tony kemudian memberikannya pada Emma."Kamu pasti mimpi buruk kan?” tebak Tony setelah Emma meminum air tersebut.Emma mengangguk.“Apa yang terjadi di dalam mimpimu?” Dakota bertanya.“Aku ngeliat ada anak kecil lagi main. Dia ditemenin sama saudara perempuannya. Aku pengen gabung sama mereka. "Tapi pas mereka berbalik, wajah mereka serem banget," jawab Emma.“Kamu pasti nggak doa dulu sebelum tidur,” kata Dakota.“Kok kamu jadi kayak nyalahin aku?” kata Emma, "sebelumnya aku juga jarang berdoa kalau mau tidur, tapi belum pernah ada kejadian kayak gini."“Santai aja, Emma,” kata Dakota, “nggak ada yang nyalahin kamu. Aku cuma nebak. Soalnya kata orang tuaku, berdoa tuh bisa mencegah mimpi buruk.”"Cukup," sela Tony, "mendingan kita tidur. "Besok pagi kita ada tugas untuk neliti beberapa tumbuhan di hutan, kan?"Dakota kemudian kembali ke posisi semula. Dia kemudian berbaring. Sementara itu, Tony tidak langsung kembali tidur. Ia masih memperhatikan Emma yang masih belum terlihat tenang."Sejak kapan kamu sering mimpi kayak gitu?" tanya Tony. Dia sangat khawatir dengan apa yang terjadi pada Emma.“Belum pernah sih,” jawab Emma, “ini pertama kalinya.”"Sekarang sudah ngerasa lebih baik belom?" Tony bertanya, "perlu aku ambilin minuman lagi?"Emma menggelengkan kepalanya, “Nggak,” katanya, “tidur sana. Aku baik-baik saja kok."Tony melihat arloji di tangannya. Sudah jam satu malam. Dia kemudian berbaring. Dia berusaha memejamkan matanya meski masih mengkhawatirkan Emma. Bagaimanapun juga dia harus bangun pagi-pagi besok.Sementara itu, meski keempat temannya sudah kembali tertidur lelap, Emma masih belum bisa memejamkan matanya. Merasa bosan di dalam tenda, dia lalu berjalan keluar.Emma mendongak ketika dia berada di luar tenda. Langit terlihat gelap. Tidak ada satu pun bintang yang terlihat. Udaranya sangat dingin. Api unggun di tengah rombongan tenda sudah mulai redup. Merasa sangat kedinginan, Emma lalu berjalan mendekati api unggun itu. Dia kemudian duduk di samping api unggun. Meski kecil, apinya tetap mampu menghangatkan tubuh Emma.Setelah beberapa menit, Emma melihat salah satu dosen pendamping perkemahan berjalan ke arahnya. Dosen wanita itu mengenakan baju tidur berwarna putih. Rambutnya tergerai. Dia kemudian duduk di sebelah Emma."Sudah lama kamu di sini?" tanya dosen itu."Baru aja," jawab Emma."Kenapa nggak tidur?" tanya sang dosen, “di malam hari kayak gini, kamu nggak takut hantu?”Emma merasa suara dosen itu agak aneh. "Ibu bicara kayak itu seolah aku ini anak SD," jawab Emma.Dosen itu tertawa keras, melengking. Tiba-tiba Emma merinding. “Jangan bilang kalau kamu nggak percaya hantu,” ucapnya setelah selesai tertawa."Tentu aja nggak," bantah Emma. Sebenarnya, dia berbohong. Dia percaya pada hantu. Dan juga takut. Tapi, tentu saja dia tidak ingin terlihat malu-malu di hadapan dosennya.Si dosen kemudian berdiri. "Yah," katanya, "kalo kamu nggak takut, nggak apa-apa kan kalo Ibu meninggalkanmu sendirian?"“Nggak apa-apa kok,” kata Emma. Dia melihat ke arah api, "Ibu istirahat aja."Beberapa detik kemudian, Emma berbalik. Dia ingin memastikan dosen tersebut kembali ke tenda dengan selamat. Namun dosen tersebut sudah tidak terlihat lagi. Dia menghilang dengan sangat cepat. Padahal, jika diperkirakan, waktu tempuh tenda yang paling dekat dengan tempat Emma duduk saat ini adalah sekitar tiga menit dengan berjalan kaki.Karena merasa tidak nyaman, Emma kemudian berjalan kembali ke dalam tenda. Matanya terasa panas. Dia mulai mengantuk. Dia harus tidur jika dia tidak ingin bangun terlambat besok dan dihukum.Saat mendekati tenda, Emma terjatuh karena kakinya membentur dahan pohon besar. Lututnya berdarah. Emma kesakitan, tapi dia tidak mengeluh. Sebaliknya, dia justru terdiam. Dia melihat lututnya yang terus mengeluarkan darah. Setelah beberapa saat, dia bahkan tersenyum. Dia menikmati melihat cairan merah kental yang terus mengalir.Beberapa detik kemudian, Emma mendengar suara Dakota memanggil namanya. Saat melihatnya, Dakota berteriak histeris.Emma berjalan ke arah Dakota. Gadis itu menyeringai. Wajah Emma tidak berubah. Tetap seperti biasa. Tapi, matanya terus melotot. Seperti orang kesurupan. Semakin dia memandang Emma, Dakota semakin ketakutan. Dia kemudian berlari cepat ke dalam tenda. "Teman-teman, bangun," kata Dakota sambil menggoyangkan kaki ketiga anak lelaki yang sedang tidur itu. Anak laki-laki berambut keriting yang bangun lebih dulu. Dia kemudian membangunkan Tony dan siswa laki-laki lainnya yang berponi. "Ada apa?" tanya Ben, laki-laki berambut keriting. “Emma … dia,” jawab Dakota. Nafasnya tersengal-sengal. Tony melihat sekeliling tenda. Dia baru menyadari kalau Emma tidak ada di sana. "Kenapa Emma?" dia bertanya, “Di mana kamu ngeliat dia?” "Aku...," kata Dakota. Tak sabar menunggu jawaban Dakota, Tony lalu bergegas keluar tenda. Dia terkejut saat melihat Emma berdiri tak jauh darinya dengan mata melotot. Gadis itu berjalan ke arahnya dengan langkah yang sangat cepat. "Emma, ada apa?" tanya Tony.
Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh. Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur. Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu. Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus. Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan.
"Apa?" kata Tony. Sebenarnya Tony sudah curiga sejak awal Emma menyerangnya. Dia tahu bahwa Emma dirasuki hantu. Dia semakin yakin setelah mengetahui kalau gadis itu juga membuat Dakota takut. Jadi, kini dia tidak perlu takut. Sebab, semasa kecilnya ia sering bermeditasi untuk berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan mahluk halus. “Kamu juga harus dimusnahkan,” kata Emma. Matanya melotot. Tony tidak peduli, dia berjalan cepat meninggalkan Emma dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menghubungi orang tua Emma. Setelah menunggu beberapa detik, Robin mengangkat teleponnya. "Ada apa, Tony?" tanya Robin, "apa terjadi sesuatu yang buruk sama Emma? Apa dia sakit?" “Nggak,” jawab Tony, “Dia cuma ….” "Cuma apa?" tanya Tony. Dia tidak sabar. "Emma... kayaknya dia kerasukan, Pak Robin," jawab Tony. "Apa maksudmu?" Robin bertanya. Bukannya dia tidak percaya hantu, dia hanya tidak menyangka dan ingin memastikannya. Sambil terus berjalan cepat menjauhi Emma yang juga berjalan cepat ke
Emma takut melihat wajahnya sendiri di cermin. Hidung, mata dan mulutnya berkerut-kerut, tidak terlihat jelas. Bentuknya tidak jelas dan seperti ada titik-titik bekas darah mengering. Dia sangat merinding dan tubuhnya gemetar. Sambil menangis, dia menyentuh wajahnya yang bentuknya sangat mengerikan. Kaget mendengar suara Emma, orangtua Emma berlari menuju kamar gadis itu. Mereka berusaha membuka pintu dan menggedor pintu dengan harapan Emma akan membukakannya. Karena dalam beberapa menit pintu tidak dibuka juga dari dalam, Robin kemudian berlari mencari kunci cadangan. “Biar aku cari kunci cadangan,” kata Robin, “kamu tunggu, aku akan cepet balik.” Lily mengangguk. Dia kemudian mengetuk pintu kamar Emma lagi. “Emma, buka pintunya, Sayang,” katanya, “ada apa? Kamu kenapa?” "Emma, maafkan kita kalau kita mengecewakan kamu, Nak," kata Lily lagi, "tolong buka pintunya." Robin kembali setelah pergi selama beberapa menit. Dia datang dengan membawa kunci cadangan. Dia segera membu
"Kenapa sama anak kita?" Lily bertanya, tidak sabar. "Gimana kalau anak kita nggak sengaja ganggu mereka dan mereka pun marah," jawab Robin. Lily tertawa. "Nggak mungkin itu Emma ngelakuin itu," katanya setelah selesai tertawa, "anak kita bukan anak nakal yang suka membuat onar." “Dunia mereka berbeda dengan dunia kita, Lily,” kata Robin, “Mereka nggak kelihatan. Emma bisa aja melakukan sesuatu secara nggak sengaja." Lily menghela napas dengan kasar. “Aku beneran nggak ngerti maksud kamu,” katanya, “tapi kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat Emma normal kembali, aku akan melakukannya. Apapun itu." *** Tony lega melihat Emma di kelas. Dengan begitu dia yakin kondisi gadis itu sudah membaik. Namun rasa penasarannya terhadap apa yang terjadi pada Emma belumlah tuntas. Dia kemudian berjalan ke kursi gadis itu. Dia bermaksud menanyakan apa yang terjadi pada Emma selama berada di hutan. “Emma, kalau kamu nggak keberatan, aku pengen tahu apa yang terjadi sama kamu pas pert
"Ayah akan mengizinkanmu, tapi aku harus bicara sama ibumu dulu," kata Jeremy. Jeremy kemudian keluar dari kamar Tony. Dia kemudian berjalan menuju taman di depan rumah. Di sore hari seperti ini, biasanya istrinya menyiram tanaman. Tebakan Jeremy benar. Istrinya sedang merapikan tanaman. Wanita itu memotong beberapa pucuk tanaman yang tidak rata. "Sayang, bisakah kamu berhenti sejenak dari aktivitasmu," ucap Jeremy saat langkahnya terhenti di belakang Sofia. Sofia berbalik. “Iya,” katanya, “apa ada hal yang penting yang ingin kamu bicarakan?” Jeremy mengangguk. "Ya," katanya, "ayo kita duduk di sana dulu." Dia menunjuk ke sebuah kursi panjang di tepi taman. "Mau bicara apa?" tanya Sofia setelah dia duduk, "sepertinya masalahnya penting sekali." “Ya,” jawab Jeremy, “ini menyangkut nyawa anak kita. Sofia membelalakkan matanya. "Ada apa dengan Tony?" tanyanya."Tony bilang dia pengen meditasi lagi kayak dulu," jawab Jeremy, "dia pengen berkomunikasi sama makhluk astral untuk bant
"Kenapa dengan dia?" Sofia bertanya, penasaran. "Dia ingin Emma ikut bersamanya ke dunianya," jawab Tony. Sofia membelalakkan matanya, "Nggak bisa dibiarkan," katanya, "Emma mungkin sudah melakukan kesalahan fatal." Tony mengangguk. "Memang," katanya, "tapi aku yakin aku bisa membuat makhluk astral itu ngelepasin Emma." Tony kemudian meninggalkan ibu dan ayahnya. Dia berjalan dengan langkah cepat. “Hei, mau pergi kemana, Nak?” Jeremy berteriak. "Aku mau ke rumah Emma," kata Tony tanpa berbalik, "Aku harus bicara sama orang tuanya." *** Tony mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Dia ngebut. Dia menyalip setiap kendaraan di depannya seperti seorang pembalap. Dia tidak sabar untuk berbicara dengan Emma dan orangtuanya. Karena ngebut, perjalanan menuju rumah Emma yang biasanya memakan waktu sepuluh menit, menjadi sekitar lima menit. Tony sendiri bahkan tidak menyangka akan bisa sampai ke rumah Emma dengan selamat setela
Wajah Emma berubah. Hidung, mata, dan mulut gadis itu tidak terlihat jelas. Berkerut-kerut. Ada bercak merah di wajahnya. Seperti darah kering. Di tangannya, dia membawa sebuah ranting besar. "Tinggalin aku sendiri," katanya sambil melambaikan tongkatnya pada Tony. Suaranya dalam, seolah itu bukan suara Emma biasanya. "Emma sadar," kata Tony. Dia berusaha menghindari pukulan Emma. Tapi Emma mengabaikan Tony. Dia terus mengayunkan dahan. Dia terlihat sangat berambisi untuk memukul Tony. Melihat hal itu tentu saja Jeremy tak tinggal diam. Dia mencoba menghentikan Emma. Dia mengunci gerakan gadis itu dengan menarik tangannya ke belakang. Emma memberontak, “lepasin aku,” katanya. Suaranya keras dan berat. Tony membantu Jeremy. Ia pun memegang tangan Emma. "Biarin aku pergi," kata Emma lagi. Suaranya lebih pelan. Beberapa detik kemudian, tubuh gadis itu terjatuh dan pingsan. "Ayo kita bawa dia ke mobil," kata Jeremy. Tony mengangguk. Dia kemudian mengangkat tubuh Emma bersama Jerem