Fadly segera mundur menjauh setelah membuka pintu tenda. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat. Ibnu benar-benar bersikap aneh. Padahal sebelumnya, ia terbaring sakit akibat alergi racun jelatang api."Bang Alit, tutup aja lagi tendanya. Sumpah, saya takut, Bang," pinta Diah dari balik punggung Fadly.Saat Alit hendak menutup tenda, terdengar suara erangan dari mulut Ibnu dan matanya melotot tepat ke arah Alit. Padahal, sebelumnya sepasang mata itu tertutup kelopak mata yang membengkak.Dengan ragu, Alit menarik resleting pintu tenda perlahan. Namun, belum sampai setengah, resleting itu macet tersangkut lipatan kain. Ia terus mencoba menutupnya dengan perasaan khawatir, tetapi sayang, resleting itu copot dari tempatnya."Astaga!" Alit melihat resleting yang terlepas itu di tangannya.Ibnu semakin menancapkan pandangan matanya jauh ke dalam mata Alit. Lalu, perlahan ia bangkit dan mulai mendekat ke arah pintu tenda. Ibnu benar-benar tak sadar dan bertingkah sangat aneh.Ali
Suara gong, gamelan, dan suling itu seperti irama sebuah harapan untuk Alit dan kawan-kawan. Alunannya terus menggema seakan merayu mereka untuk mendekat."Fadly, kamu bener-bener denger, 'kan, kalau suaranya datang dari arah sana?" tanya Alit memastikan sambil menunjuk arah barat, titik dari mana suara itu berasal."Iya, aku juga dengar, Lit. Cukup jelas, kok, suaranya. Bunyinya kayak gak jauh, deh, kayak di belakang hutan cemara sana, Lit," jawab Fadly. "Tapi, Bang, kali aja suara itu terbawa angin, apalagi di hutan gunung kayak gini, kan, sunyi," sambung Diah, ia memeluk kedua lututnya di depan api unggun. Di samping Diah, Zahra sesekali mengusap matanya yang sembab dengan kaos lengan panjangnya. Hampir tiap waktu ia meneteskan air mata. Wajahnya benar-benar kusut. Dua perempuan itu pasti syok berat, apalagi itu adalah pendakian pertama bagi mereka. Alit menatap dua teman perempuannya itu. Tergambar raut wajah tak tega saat melihat Diah dan Zahra yang menghadapi kondisi buruk da
Deras keringat membasahi wajah serta pundak. Angin berembus sunyi. Hanya terdengar engahan napas berulang-ulang. Alit dan Fadly tiba di lokasi kemah pukul 04.14 WITA. Mereka mendapati Diah dan Zahra tengah terlelap dalam dekapan hangat api unggun yang masih menyala dengan asap tipis mengudara. "Hah, ternyata mereka baik-baik saja. Alhamdulillah," ucap Alit dengan napas tersengal."Jadi, siapa yang kasih kita tanda darurat tadi, Lit?" tanya Fadly."Nggak tahu, Bro. Tolong cek tenda, ada Ibnu, nggak?" pinta Alit pada Fadly untuk memastikan. Fadly menuruti perintah Alit dan segera menarik resleting tenda dengan kasar. Tak ada keanehan yang ia temukan. Ibnu masih terbaring di dalam.Seketika, rasa penasaran deras melanda. Entah siapa yang memberi mereka tanda. Beruntung, semua baik-baik saja.Sayup-sayup di kejauhan, terdengar suara ayam hutan berkokok seolah membisiki bahwa fajar di timur akan segera tiba. Tenaga Alit dan Fadly benar-benar terkuras. Segera, mereka mencari posisi untuk
"Zahra ... Diaah!" teriak Alit memanggil teman-temannya.Ia terus berjalan sambil memperhatikan ke segala arah. Karena jalan setapak yang landai, Alit mempercepat langkahnya. Ia yakin, tidak mungkin salah jalur karena itu satu-satunya jalur yang harus dilewati.Alit semakin bingung dan mulai bertanya pada diri sendiri. "Saya berjalan paling depan atau saya paling belakang?""Fadly ... Ibnu! Di mana kalian?" Alit kembali berteriak mencari keberadaan mereka."Apa iya, mereka jalan terus dan gak nungguin?" gumam Alit mengingat sudah lima belas menit ia berjalan menyusul Fadly dan yang lainnya, tetapi tak kunjung bertemu.Alit membalikkan badan, berputar, dan melangkah ragu. Tak ada siapa pun yg ia lihat. Hanya jalan setapak, ilalang, dan kabut tebal yang mengiringi langkahnya. Alit benar-benar sendiri. Ia berhenti karena bimbang apakah harus terus berjalan, menunggu, atau harus kembali ke tempat semula yang berjarak lebih dari satu kilometer. Sedangkan, jalur tebing di atas danau untuk
Dari waktu ke waktu, warna kulit jenazah semakin gelap karena lebam dan baunya pun semakin menguar. Posisi Bang Ron berada sekitar tiga meter di atas area perkemahan."Kita bangun tenda di sini saja. Arum, bangun tenda, ya," suruh Bang Ipul lembut kepada istrinya."Ayo, kita taruh barang di sini, kita harus pindahkan jenazah ke tempat yang landai, khawatir kesorean," lanjut Bang Ipul kepada timnya sambil melepas carrier yang melekat di punggungnya. Posisi mereka akan membangun tenda, sama persis dengan tempat Alit dan teman-temannya berkemah.Bang Ipul bersama timnya mulai melapisi tangan mereka dengan plastik keresek untuk menghindari tangannya bersentuhan langsung dengan jenazah. Begitu juga dengan Alit dan Fadly, mereka mengikuti apa yang Bang Ipul lakukan.Sepertinya, tim Bang Ipul cukup terlatih. Tanpa diberi perintah pun, mereka telah tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari mereka membangun tenda, sebagian lagi mencari kayu bakar."Jadi, jenazahnya sudah dua hari, ya?" tan
Pada dahan cemara yang berlumut, celepuk rinjani mengibas-ngibaskan sayap dan bulu ekor, lalu ia merendahkan kepalanya seakan memantau pergerakan Alit dan kawan-kawan. Sesekali, ia memutar kepalanya 180 derajat, mengawasi setiap sudut lembah Gunung Baru Jari. Suaranya yang khas membuat suasana malam di tempat itu semakin menakutkan. Mata besar dan bulat itu terus memperhatikan dengan tatapan tajam. Keberadaan burung malam itu seakan diutus hanya untuk memata-matai sekelompok orang yang terjebak di lembah misterius itu.Betapa khawatirnya Arum, putri kecilnya berjalan entah ke mana dan tanpa pengawasan. Di tengah alam gunung Rinjani yang liar dan dilingkupi gelap, bocah perempuan itu tak terpantau sama sekali. Kejadian itu menjadi pengingat bahwa seseorang yang sudah terbiasa di alam bebas pun bisa lalai terhadap apa yang ada di sekitarnya. Lalu, bagaimana dengan pendaki minim pengetahuan dan pengalaman yang hanya bermodal menonton film?Alit terus mengarahkan cahaya headlamp ke arah
Sehari sebelumnya di Pintu Hutan Jalur Selatan Rinjani.Unyil bejalan gontai menuju pos pengawasan pendakian taman nasional untuk melaporkan insiden yang terjadi di atas sana. Setiba di pos pengawasan, ternyata warga sudah berkerumun membicarakan kejadian yang akan Unyil laporkan. Mereka sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dugaan-dugaan begitu santer terdengar.Tanpa menunggu lama, Unyil segera membuat laporan. Di pos pengawasan, laporannya dicatat dan direkam oleh seorang petugas Balai Taman Nasional Gunung Rinjani bernama Pak Yamin.Kepada Pak Yamin, Unyil memberikan keterangan bahwa dua hari lalu, tepatnya menjelang magrib ada rombongan pendaki hendak kembali melalui jalur selatan, tetapi leader-nya terjatuh dari tebing saat menuju pelawangan. Ia juga menambahkan bahwa mereka turun bertiga, tetapi salah satu penyintas yang ia dampingi mengalami patah kaki. "Kalian satu tim?" tanya Pak Yamin."Bukan, Pak. Tim saya masih di atas, di pelawangan. Kalau tim yang patah
Mereka berhenti sejenak sambil memastikan penyebab hal aneh itu. Unyil mendongak menyapukan pandangan pada siluet-siluet pohon raksasa. Begitu pun dengan Pak Junet dan timnya, cahaya-cahaya senter dan lampu sorot diarahkan ke setiap sudut hutan dan sumber suara-suara itu, tetapi mereka tak mendapati sesuatu yang janggal sama sekali.Unyil merapatkan diri karena ada rasa khawatir pada dirinya. Begitu juga dengan beberapa orang lainnya yang terlibat dalam misi evakuasi itu. Mereka seakan diawasi.Suara pepohonan tumbang dan kayu-kayu yang patah bergemuruh dalam gelapnya hutan. Kejadian demi kejadian aneh terus mengiringi perjalanan mereka, seolah tim itu tak diberikan jalan untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang ada di dasar kawah. Sekali lagi mereka memastikan, tetapi tetap saja tak ada satu pohon pun yang tumbang atau patah, terlebih angin berembus cukup tenang."Tetap tenang, fokus pada tujuan kita!" tegas Pak Junet mengarahkan timnya.Mereka tetap melanjutkan perjalanan den